Peneliti: Pengelolaan Ketenagalistrikan Sarat Konflik Kepentingan
Penulis : Kennial Laia
Energi
Senin, 13 Februari 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pengelolaan sumber daya energi dan sektor ketenagalistrikan di Indonesia dinilai masih sarat kepentingan. Hal ini disebabkan oleh regulasi yang tidak mendukung, implementasi dan pengawasan yang tidak maksimal, dan transparansi yang tidak memadai.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lola Ester mengatakan, konflik kepentingan bagi pejabat publik tidak terhindarkan. Namun jika tidak dikelola, hal ini akan mendorong ke arah penyelewengan, penyalahgunaan jabatan, hingga tindak pidana korupsi. Terkait hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Berdasarkan peraturan tersebut, konflik kepentingan itu didefinisikan sebagai kondisi ketika pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk kepentingan sendiri atau orang lain sehingga memengaruhi keputusan yang akan dibuat atau dilakukannya,” kata Lola dalam peluncuran penelitian berjudul “Memperkuat Regulasi Anti Konflik Kepentingan” di Jakarta, Kamis, 2 Februari 2023.
Menurut Lola, undang-undang tersebut mengatur bahwa pejabat yang berpotensi memiliki konflik kepentingan dilarang mengambil keputusan, mengeluarkan kebijakan, atau hal lain yang berkaitan dengan jabatannya. Sebaliknya, keputusan atau tindakan ditetapkan oleh atasan pejabat atau pejabat lain sesuai dengan peraturan. Misalnya, seorang menteri yang memiliki konflik kepentingan maka Presiden yang bertugas mengambil keputusan. Sifatnya berjenjang hingga ke level pemerintahan daerah.
Namun, aturan tersebut masih sebatas formalitas. Implementasinya kurang memadai. “Pengaturan sudah ada tapi kami menemukan bahwa praktik konflik kepentingan tidak dikelola dengan baik. Artinya hanya sebatas formalitas,” kata Lola.
“Terlalu banyak temuan (kami) yang berkaitan dengan ketenagalistrikan, pertambangan, maupun sektor lainnya. Hal ini terlihat semakin terbuka saat pandemi Covid dengan fenomena staf milenial yang sebetulnya sarat kepentingan,” jelas Lola.
Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Grita Anindarini mengatakan terdapat lebih dari 15 lembaga yang terkait dalam sektor ketenagalistrikan. Di antaranya Kementerian ESDM, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dan sebagainya.
Dalam konteks proses bisnis ketenagalistrikan, terdapat berbagai tahapan seperti perencanaan RUPTL dan pengadaan. Dalam tahapan ini, ada langkah seperti proses penunjukan langsung atau pemilihan langsung.
“Menariknya proses penunjukan langsung ini, di mana ada satu proses PLN bisa menunjuk langsung kontraktor untuk mengembangkan satu pembangkit listrik yang minim pengawasan publik. Hal ini terjadi dengan kasus PLTU Riau-1,” tutur Grita.
Grita mengatakan, dari seluruh pemetaan yang dilakukan, DPR secara hukum tidak memiliki kewenangan langsung untuk proses ketenagalistrikan. Selain itu, tidak ada kewajiban untuk berkonsultasi dengan DPR dalam proses perencanaan, tender, dan perizinan.
Namun, ada kasus konflik kepentingan yang berujung korupsi melibatkan anggota DPR. “Dilihat dari tipologi kasus yang ada saat ini dalam konteks konflik kepentingan, misalnya PLTU Riau-1, ini dari DPR,” kata Grita.
Pada 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan terhadap mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham sekaligus Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar. Keduanya terbukti bersalah telah menerima suap dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd Johannes Budisutrisno Kotjo.
“Konflik kepentingan ini berdampak pada transisi energi. Skalanya luas dan bisa membuat pengembangan energi terbarukan semakin melambat, padahal saat ini kita membutuhkannya,” ujar Grita.
Grita menambahkan, selain masalah regulasi, lingkungan juga memungkinkan terjadinya konflik kepentingan di sektor ketenagalistrikan. Misalnya, perencanaan RUPTL yang tidak dibuka ke publik dan dianggap sebagai dokumen bisnis.
Menurut Grita, undang-undang memberi mandat kepada pemerintah untuk secara serius mengatur bagaimana proses ketenagalistrikan berjalan di Indonesia. Di berbagai negara, seperti Afrika Selatan, pemerintah menjadi pihak yang mengeluarkan daftar proyek pembangkit, lalu menugaskan instansi pemerintahan sebagai pelaksananya.
“Ini agak lacking (di Indonesia). Dan ini harus dibenahi karena ini bukan hanya masalah transparansi tapi juga masalah kesehatan,” kata Grita. Menurutnya, pemerintah memberikan kewenangan dan beban yang terlalu besar kepada PLN.
Proses perizinan dan pengadaan juga memiliki celah konflik kepentingan yang sangat besar, termasuk penunjukan langsung. “Ini cukup berbahaya. Sebab, ketika kita bicara soal penunjukan langsung, ini biasanya berlaku pada keadaan tertentu yang sangat terbatas. Tapi dalam konteks Indonesia, PLTU mulut tambang itu pembangkitnya boleh penunjukan langsung. Padahal konflik kepentingannya sangat tinggi,” pungkas Grita.
“Kita perlu melihat konflik kepentingan sebagai satu hal yang menghambat proses transisi energi sehingga harus dikendalikan,” kata Grita.
Grita menambahkan, pembenahan dari hulu ke hilir harus dilakukan. Karena terjadi di mana-mana, pemerintah harus melakukan identifikasi konflik kepentingan dalam setiap fase bisnis. Kemudian proses pengadaan harus transparan diiringi dengan pengaturan yang jelas.