Intensitas Bencana Hidrometeorologi Terus Meningkat 1 Dekade Ini

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Senin, 13 Februari 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Hasil monitoring Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam 40 tahun terakhir mengindikasikan curah hujan ekstrem di Indonesia cenderung meningkat. Tren ini mengakibatkan tingginya angka bencana hidrometeorologi yang didominasi oleh banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, serta kekeringan.

BMKG mengatakan kejadian ini terkait dengan perubahan iklim. Hasil kajian menggunakan data pemodelan proyeksi iklim oleh BMKG menunjukkan bahwa di masa depan akan terjadi peningkatan intensitas kebasahan di beberapa daerah, walau mungkin tidak merata. Di lain sisi, durasi dry spell atau jumlah hari kering juga mengalami peningkatan sebesar 20%-30% dibandingkan pada periode referensi (1986-2005).

“Tidak seperti iklim dan cuaca yang sulit untuk diintervensi, lingkungan adalah sesuatu yang bisa kita kontrol. Oleh karena itu, BMKG mengadakan program literasi iklim kepada para masyarakat sebagai upaya untuk meningkatkan kepedulian terhadap perubahan iklim,” kata Supari, Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG pada webinar ‘Darurat Bencana Hidrometeorologi: Komitmen Implementasi Kebijakan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim’, Rabu, 8 Januari 2023. 

“Hal itu perlu dilakukan agar masyarakat memahami proses dan dampak perubahan iklim dan sedapat mungkin merubah pola hidup saat ini yang memicu peningkatan emisi,” tambahnya. 

Indonesia semakin sering mengalami bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim. Foto udara menunjukkan situasi usai banjir bandang melanda Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada September 2020. Dok Teguh Pratama/Tim Reaksi Cepat BNPB

Intan Suci Nurhati, peneliti Klimatologi dan Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan penulis utama Laporan Penilaian Keenam Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) 2022, mengatakan perubahan iklim yang semakin intens akan menyebabkan penyerapan karbon di laut dan hutan menjadi kurang maksimal.

“Banyak yang belum menyadari bahwa kondisi laut yang memburuk juga mempengaruhi situasi cuaca di darat, yang mengakibatkan bencana hidrometeorologi sering terjadi,” kata Intan.

Intan mengatakan dalam laporan IPCC, anomali hidrometeorologi yang terjadi di darat juga dipengaruhi dari fenomena dinamika laut. Salah satu contohnya adalah gelombang panas laut yang berimplikasi pada menghangatnya permukaan air laut, sehingga menyebabkan rusaknya organisme laut dan ekosistem darat.

Merujuk kepada hasil analisis BMKG dan laporan IPCC, Supari menekankan bahwa meskipun intensitas hujan sebagai pemicu bencana mungkin berbeda-beda antar daerah, secara umum potensi bencana dapat dicegah atau risikonya dapat dikurangi apabila kondisi lingkungannya terjaga dengan baik. 

Supari menghimbau agar pemerintah dan masyarakat setempat meningkatkan kewaspadaan akan potensi cuaca dan iklim ekstrem dengan terus mencari informasi yang relevan, serta melakukan penataan lingkungan dengan lebih baik untuk mencegah terjadinya bencana.

Dodi Yuleova, Kepala Bidang Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, korban meninggal dan mengungsi akibat bencana hidrometeorologi  terus bertambah sepanjang 2018 hingga 2022. Kerusakan rumah dan fasilitas penduduk pun mencapai kerugian hingga Rp 31,5 triliun.

“BNPB banyak menemukan tantangan dalam pelaksanaan tugasnya. Salah satunya adalah cuaca yang mudah sekali berubah, seperti saat ini yang seharusnya sudah masuk musim kemarau tetapi beberapa daerah masih mengalami hujan dengan intensitas tinggi,” ujar Dodi.

“Kami melakukan analisis atau kajian terhadap potensi ancaman bahaya dengan memanfaatkan data lintas kementerian/lembaga. Selanjutnya, memberikan arahan kepada BPBD tingkat kabupaten dan kota untuk upaya kesiapsiagaan setempat dan mengaktifkan Tim Reaksi Cepat agar berkoordinasi dengan pusat, khususnya untuk daerah yang sangat rawan bencana hidrometeorologi,” tambahnya.

Ia menyarankan agar masyarakat membentuk tim siaga desa yang bertugas untuk pemantauan dan identifikasi berbekal pengetahuan kebencanaan, seperti membuat rencana operasi, membuat peta risiko desa dan keterampilan dalam respons darurat, dan memastikan kelancaran jalinan komunikasi ke BPBD kecamatan dan desa. Di tingkat keluarga, rencana kesiapsiagaan dapat berupa rute evakuasi, respon evakuasi, tas siaga bencana, dan kontak petugas.

Sementara itu, gerakan untuk adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi krisis iklim masih mengalami banyak tantangan karena belum adanya undang-undang perubahan iklim sebagai acuan dan payung kebijakan untuk aksi yang dilakukan untuk mencapai target yang ditetapkan.

Kepala Divisi Perlindungan dan Pengembangan Wilayah Kelola Rakyat Eksekutif Nasional Walhi Uslaini Chaus mengatakan, perlu mendorong tanggung jawab pelaku usaha yang berkontribusi besar menyumbang emisi karbon dioksida yang memicu terjadinya krisis iklim. Dampak negatif berupa banjir pesisir telah menimpa masyarakat yang berada di pulau kecil seperti Kepulauan Seribu, Jakarta.

Sebelumnya, Walhi bersama empat perwakilan masyarakat terdampak krisis iklim di Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, mengajukan gugatan terhadap perusahaan Holcim di Swiss. Gugatan iklim ini juga bagian dari upaya untuk membangun kesadaran publik tentang krisis iklim. 

“Meningkatnya kejadian bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, banjir bandang, abrasi pantai dan lainnya akibat kerusakan lingkungan dan krisis iklim juga perlu menjadi perhatian,” kat Uslaini.

“Pemerintah harus menghentikan proyek-proyek pembangunan dan investasi yang katanya sebagai solusi atas krisis iklim namun nyatanya semakin memperparah keadaan. Salah satunya adalah proyek food estate yang memicu deforestasi dan alih fungsi lahan yang justru mengalami gagal tanam dan gagal panen karena ketidaksesuaian lahan dan komoditi yang dibudidayakan,” kata Uslaini.

Hal tersebut, ujar Uslaini, tidak meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi. Sebaliknya berkontribusi pada pelepasan karbon dan mengganggu kestabilan lingkungan. 

“Program untuk mitigasi perubahan iklim seperti FoLU Net Sink dan peningkatan pencapaian NDC (Nationally Determined Contribution) yang ambisius hendaknya diselaraskan dengan kebijakan pemerintah. Dengan demikian, pengalihfungsian hutan dan mangrove untuk proyek pembangunan strategis tertentu tidak kembali terjadi,” pungkasnya.