Organisasi Masyarakat Sipil Gugat Aturan soal Bank Tanah ke MA
Penulis : Kennial Laia
Agraria
Rabu, 15 Februari 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Sebelas organisasi petani dan lingkungan hidup menggugat aturan soal pembentukan bank tanah ke Mahkamah Agung. Aturan tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah (PP 64/2021) dianggap melanggar hukum dan mengancam penghidupan petani di Indonesia.
Gugatan tersebut dilayangkan pada Senin, 13 Februari 2023. Organisasi yang terlibat antara lain Aliansi Petani Indonesia (API), Ecosoc Rights, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Bina Desa, FIAN Indonesia, Aliansi Organis Indonesia (AOI), Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Sawit Watch, Lokataru Foundation, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Aturan tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 29 April 2021. Peraturan ini diterbitkan sebagai salah satu turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Menurut para penggugat, aturan ini bertabrakan dengan berbagai aturan, termasuk UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 30 Tahun Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah, dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Putusan tersebut juga meminta pemerintah agar menangguhkan seluruh kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.
"Gugatan ini mencakup permohonan uji formil dan materiil PP 64/2021. Mengingat (aturan) ini merupakan peraturan pelaksana turunan langsung dari UU Cipta Kerja, maka harus dinyatakan cacat formil," kata Dewi Sartika, Sekretaris Jenderal KPA dan koordinator tim penggugat di Gedung MA, Jakarta, Senin, 13 Februari 2023.
Dewi mengatakan, peraturan tersebut juga berpotensi membahayakan penghidupan petani di Indonesia. Menurutnya, terdapat jutaan hektare tanah masyarakat yang terancam diambil alih dan dikuasai oleh badan bank tanah. Sebab, pasal-pasal di dalam PP 64/2021 hampir seluruhnya atau 99% mengusung kepentingan pengusaha.
Lebih buruk lagi, badan bank tanah dikhawatirkan dapat menjadi jalan untuk memutihkan tanah konsesi perusahaan yang bermasalah. Isu ini dimulai dari beroperasi tanpa izin/hak atas tanah, izin atau HGU yang kedaluwarsa, tanah telantar, dan wilayah konflik agraria. “Bahkan (ini) dapat menjadi cara untuk melegalkan hak atas tanah yang diterbitkan dengan cara koruptif dan kolutif, melegalkan praktik spekulan tanah ala pemerintah, dan menyuburkan mafia tanah,” ujar Dewi.
“Kehadiran bank tanah dengan kewenangan dan fungsi yang luar biasa dan kuat, baik fungsi privat maupun publik, tidak dilengkapi dengan pengawasan yang ketat dan terbuka, sehingga berpotensi melahirkan praktik-praktik yang sarat konflik kepentingan antara kepentingan privat-publik, profit-nonprofit, rakyat dan elite bisnis-penguasa,” jelas Dewi.
Dewi mengatakan, bank tanah tidak sejalan dengan reforma agraria. Adanya ketentuan dalam Pasal 22 bahwa tanah untuk reforma agraria sedikitnya 30% mengindikasikan bahwa program ini bukan prioritas. Menurutnya, badan bank tanah yang tengah berjalan saat ini cenderung menjamin percepatan pengadaan tanah demi investasi. Dia khawatir, praktik bank tanah akan mengambil tanah yang seharusnya menjadi prioritas reforma agraria.
“Dengan begitu praktik pengadaan a la bank tanah sejatinya mendukung proses akumulasi modal (tanah) oleh segelintir kelompok. Dengan sendirinya bank tanah memperparah monopoli tanah, bukan melakukan perombakan atas monopoli tanah,” terangnya.
Dewi meminta agar Mahkamah Agung mempertimbangkan ancaman dan dampak lebih luas dari perampasan tanah masyarakat serta monopoli oleh swasta akibat pelaksanaan bank tanah yang saat ini terus berjalan.
“Kami mendesak agar Mahkamah Agung dapat menghentikan operasi ilegal bank tanah dengan menerima dan mengabulkan gugatan ini sepenuhnya. Dalam hal ini, MA perlu mencermati pelanggaran yang dilakukan pemerintah dalam PP 64/2021 terhadap Putusan MK 91 dan UU Pokok Agraria,” pungkas Dewi.