Akhir Drama Gugatan Korindo dan Perlawanan terhadap SLAPP
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
SOROT
Jumat, 03 Maret 2023
Editor : Aryo Bhawono
BETAHITA.ID - Drama gugatan Kenertec Power System kepada Rettet den Regenwald (Rainforest Rescue) dan Center for International Policy (CIP), yang telah berjalan 3 tahun terakhir di Pengadilan Tinggi Hamburg, Jerman, berakhir sudah. Pihak Kenertec, yang dalam gugatan ini mengaku sebagai bagian dari Grup Korindo, dikabarkan telah mencabut seluruh tuntutannya dan diwajibkan membayar tiga perempat biaya pengadilan.
Pada 21 Februari 2023 lalu, Kenertec dan Rettet den Regenwald–lembaga masyarakat sipil Jerman–telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa, berdasarkan usul yang diajukan pihak pengadilan. Hakim juga menyatakan bahwa Kenertec tidak dapat menuntut CIP atas pernyataan yang dibuat dalam surat yang ditandatangani oleh Mighty Earth.
Secara formal Kenertec telah menggugat Rettet den Regenwald dan CIP–pendukung dana Mighty Earth, keduanya berbasis di Amerika Serikat, terkait pernyataan sejumlah kelompok masyarakat sipil, termasuk Rettet den Regenwald, dalam surat terbuka kepada beberapa perusahaan. Kenertec meminta kelompok masyarakat sipil ini mencabut pernyataannya mengenai penggunaan bulldozer dan api untuk membuka hutan hujan di Tanah Papua, dan meminta pihak tergugat tidak mengulangi pernyataan seperti itu di masa datang.
Namun Pengadilan Tinggi Hamburg sejak awal sudah mengisyaratkan bahwa tuntutan Kenertec itu tidak akan berhasil. Bahkan para hakim, berkenaan dengan tuntutan pihak penggugat, telah menyiratkan akan menolak gugatan tersebut dan menyarankan perbandingan hukum agar Kenertec mencabut semua tuntutan yang diakibatkan surat terbuka tersebut.
“Hakim telah menunjukkan bahwa gugatan akan ditolak. Ada surat resmi kepada pengacara Prof. Mann,” kata Marianne Klute Ketua Rettet den Regenwald kepada Betahita, Rabu (22/2/2023) pekan lalu.
"Usulan hakim, keadilan diselesaikan tanpa adanya tuntutan dari kedua pihak. Usulan itu awalnya tidak mau diterima oleh Kenertec. Lalu hakim menunjukkan bahwa gugatan tetap akan ditolak," imbuh Klute.
Klute menyebut, ada tiga alasan yang mendasari hakim menolak gugatan itu. Yang pertama, pihak Kenertec Power System tidak dapat membuktikan diri sebagai bagian dari Grup Korindo--perusahaan yang dikritik oleh Rettet den Regenwald dan Mighty Earth mengenai perusakan hutan di Tanah Papua.
Alasan kedua, hakim meragukan pihak tergugat sebagai pihak yang sebenarnya dapat digugat. Ketiga, jumlah bukti perusakan, pembukaan hutan menggunakan api dan kesaksian dari Indonesia sudah begitu banyak dan jelas.
"Tiga tahun lamanya tuntutan intimidasi ini menyibukkan dan menyita waktu berharga kami. Saat itu bagai pertarungan antara David dan Goliath,“ ujar Bettina Behrend, Ketua Rettet den Regenwald lainnya, dalam pernyataan resminya.
Menurut pengamatan Rettet den Regenwald, lanjut Bettina Behrend, gugatan Kenertec itu merupakan sebuah intimidasi, tuntutan yang ingin mengintimidasi Rettet den Regenwald dan menakut-nakuti organisasi lain. Kegagalan upaya gugatan oleh Korindo melalui Kenertec ini adalah kabar yang baik.
"Korindo telah gagal dalam upayanya mengintimidasi dan membungkam kami. Bahwa Korindo tidak mampu meneruskan tuntutannya, hal ini mengandung arti yang banyak,“ lanjut Behrend.
Pendamping hukum Rettet den Regenwald dan CIP, Roger Mann, pengacara dan profesor dalam bidang hukum pers di Universitas Göttingen mengatakan, setelah lebih dari tiga tahun gugatan ini berjalan, pihak Kenertec akhirnya menerima proposal penyelesaian yang diajukan pengadilan. Pengadilan telah memperjelas, pada tahap awal, bahwa tuntutan terhadap CIP dan pencabutan pernyataan kedua tergugat sama sekali tidak berdasar.
Terkait tuntutan ganti rugi sehubungan dengan pernyataan tentang pembakaran ilegal oleh Grup Korindo dalam pembukaan hutan untuk perkebunan sawit di Tanah Papua, lanjut Prof. Mann, para tergugat telah mengajukan banyak fakta dan memberikan banyak bukti sehingga pengadilan mempertimbangkan untuk mendengarkan saksi di Indonesia.
"Hal ini tidak terjadi, karena setelah pergantian hakim, pengadilan menyatakan bahwa penggugat tidak berhak mendapatkan ganti rugi, karena bisnisnya adalah turbin angin, dan tidak terlibat dalam bisnis kelapa sawit Korindo,” kata Prof. Mann, dalam pernyataan resminya.
Marianne Klute menambahkan, di Indonesia, Grup Korindo termasuk salah satu perusahaan yang turut bertanggung jawab atas perusakan hutan hujan. Gugatan ini, menurutnya, malah membuat Rettet den Regenwald semakin intensif melaporkan perusakan hutan hujan di Tanah Papua.
"Jika Korindo ingin membungkam kami, mereka justru akan mendapatkan hal yang sebaliknya. Kami memperkuat masyarakat Indonesia agar mereka juga bisa melawan Korindo dan mempertahankan hutan hujannya dari perusahaan konglomerat itu,“ imbuhnya.
Kata Mereka tentang Gugatan Kenertec (Grup Korindo)
Beragam komentar disampaikan sejumlah kelompok masyarakat sipil tentang akhir drama gugatan Kenertec terhadap Rettet den Regenwald dan CIP ini.
Seperti disampaikan Direktur Senior Mighty Earth untuk Asia Tenggara, Amanda Hurowitz yang menganggap gugatan Kenertec ini sebagai salah satu upaya Korindo membungkam Mighty Earth dan koalisi organisasi masyarakat sipil dalam menyuarakan sisi negatif kegiatan bisnis Grup Korindo di Indonesia. Namun bagi Amanda, gugatan itu sejak awal sama sekali tidak berdasar.
"Perusahaan nakal yang menghancurkan Bumi ini tidak boleh dibiarkan menyia-nyiakan waktu pengadilan dengan manuver gugatan yang ditujukan untuk mengintimidasi kelompok masyarakat sipil yang selama ini menyuarakan penghentian deforestasi global dari ekspansi sektor minyak kelapa sawit, kayu, kedelai, daging sapi, dan komoditas lainnya, demi mengatasi perubahan iklim dan rusaknya alam,” kata Hurowitz dalam pernyataan resminya.
Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante menyebut selama beberapa dekade terakhir Grup Korindo berhasil lolos dari perhatian atas pelanggaran hak tanah masyarakat adat. Franky berpendapat, Korindo seharusnya memiliki komitmen serius untuk melindungi lingkungan dan menghormati serta memulihkan hak-hak korban masyarakat adat Papua.
Andi Muttaqien dari Satya Bumi juga memberikan penilaian terhadap kinerja Korindo. Menurutnya, Korindo telah menghancurkan puluhan ribu hektare hutan hujan tropis di Tanah Papua, sehingga perusahaan itu seharusnya membayar ganti rugi untuk pemulihan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
"Bukan sibuk membungkam pegiat lingkungan yang berupaya melindungi hutan dan hak masyarakat adat," katanya dalam sebuah pernyataan resmi.
Shin Young Cung, advokat untuk Hukum Kepentingan Umum, Advocates for Public Interest Law (APIL) yang berbasis di Korea, juga angkat bicara tentang kasus Korindo ini. Ia bilang, apabila Korindo serius dalam memperbaiki kredibilitas dalam memegang komitmen serta HAM, maka Korindo memang sudah seharusnya mencabut gugatan hukum terhadap kelompok masyarakat sipil yang selama ini bersuara menentang pelanggaran yang dilakukan perusahaan.
"Kemudian memulihkan hutan yang telah hancur, membayar ganti rugi kepada korban masyarakat adat Papua," kata Young.
Riwayat Gugatan Korindo
Sebelumnya Kenertec yang mengaku sebagai bagian usaha Grup Korindo, menggugat Rainforest Rescue (Rettet den Regenwald) atau Selamatkan Hutan Hujan dan Center for International Policy (CIP) penyandang dana Mighty Earth asal Amerika Serikat di Pengadilan Tinggi Hamburg. Gugatan ini diterima Pengadilan Tinggi Hamburg pada 20 Desember 2019, sesaat sebelum berakhirnya batas waktu pengaduan.
Para tergugat dianggap melakukan pencemaran nama baik terhadap Grup Korindo, yang dituduh melakukan perusakan hutan hujan di Papua. Persidangan gugatan ini dimulai pada 22 Januari 2021. Proses pengadilan dinyatakan telah berakhir pada 21 Februari 2023 berkat keputusan perbandingan hukum oleh pengadilan.
Gugatan ini berawal dari keberatan perusahaan terhadap laporan yang dirilis sembilan lembaga masyarakat sipil, termasuk Rettet den Regenwald, tentang tindakan pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh Grup Korindo.
Tepatnya pada 2016 lalu, sembilan lembaga masyarakat sipil ini melaporkan adanya perusakan hutan hujan di Papua oleh Grup Korindo, melalui sejumlah surat yang disampaikan kepada Siemens AG (Jerman), Gamesa Corporation (sekarang Siemens Gamesa) dan Nordex SE (Jerman) dan perusahaan menara pembangkit energi tenaga angin Kenertec Power System (Jerman), yang memiliki hubungan kerja sama dagang dengan Grup Korindo.
Intinya, melalui surat-surat ini sejumlah lembaga masyarakat sipil ini melaporkan adanya aktivitas pembakaran sisa kayu dari hasil pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh Grup Korindo di Papua. Sejumlah lembaga masyarakat sipil ini menyerukan agar tidak lagi melakukan kerja sama bisnis terhadap perusahaan perusak hutan.
Yang mengherankan, malah baru belakangan ini Kenertec yang muncul seolah mewakili Grup Korindo merasa keberatan atas laporan tersebut dan mengajukan gugatan. Dalam gugatannya, Kenertec mempermasalahkan dan menghendaki pencabutan sejumlah pernyataan di dalam surat-surat tersebut.
Selain itu Kenertec menghendaki diterapkannya hukuman yudisial. Rettet den Regenwald diancam denda hingga €250.000 atau kurungan penjara selama 6 bulan dan juga diancam kurungan penjara selama 2 tahun, apabila mengulangi perbuatan yang sama, yakni melaporkan aktivitas Grup Korindo.
Sejauh ini upaya konfirmasi kepada pihak Grup Korindo terkait pencabutan tuntutan Kenertec terhadap Rettet den Regenwald dan CIP, tidak mendapatkan tanggapan positif yang diharapkan. Sejumlah pertanyaan yang disampaikan kepada Yulian Mohammad Riza, Public Relations PR Division of Korindo Group, diabaikan.
“Nanti kami akan keluarkan statement. Silakan tunggu kabar dari kami, dan terima kasih,” kata Riza via pesan WhatsApp, Senin (27/2/2023). Riza.
Beberapa pertanyaan yang disampaikan Betahita kepada Riza di antaranya soal alasan pencabutan atau pengakhiran gugatan Kenertec, dan tentang ada tidaknya rencana Grup Korindo melakukan gugatan lain kepada para pengkritik Korindo di masa mendatang.
Namun pada 28 Februari 2023 kemarin, pihak Korindo Group mengeluarkan pernyataan. Sayangnya, sejumlah pertanyaan yang disampaikan Betahita sebelumnya tetap tidak dijawab.
Dalam pernyataan publiknya, Korindo menyebut permasalahan hukum antara salah satu unit bisnis Korindo Group yaitu PT Kenertec Power System dengan penyandang dana dari Mighty Earth yaitu Rainforest Rescue (Rettet den Regenwald e.V.) dan Center for International Policy, Inc., telah terselesaikan.
Korindo menguraikan, bahwa melalui proses persidangan sebelumnya di Pengadilan Regional Hamburg di Jerman, PT Kenertec Power System (Korindo Group) telah melakukan pembelaan terhadap surat tuduhan tidak berdasar yang ditujukan kepada pelanggan PT Kenertec Power System (Korindo Group). Masing-masing pihak telah saling menerima penyelesaian yang diajukan oleh Pengadilan dan mengakhiri perkara tersebut, tanpa merugikan masing-masing pihak dan kedudukan hukumnya.
Terakhir Korindo menyebut, perusahaan sudah tidak lagi melakukan bisnis di bidang perkebunan kelapa sawit.
Perlawanan terhadap SLAPP
Kelompok masyarakat sipil menganggap gugatan yang dilakukan oleh Grup Korindo melalui Kenertec ini sebagai Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), atau Gugatan Strategis Melawan Partisipasi Publik. Dari kacamata masyarakat sipil, gugatan itu sepertinya dirancang untuk membungkam dan mengintimidasi serta mencegah kelompok masyarakat sipil mengulangi beberapa pernyataan kritik dalam surat resmi.
Prof. Roger Mann juga menganggap proses gugatan Kenertec ini memenuhi sekumpulan kriteria gugatan intimidasi (SLAPP) yang ingin ditentang Uni Eropa, sesuai dengan pedoman yang sudah disarankan tahun lalu. Sikap Uni Eropa terhadap SLAPP ini, menurutnya, tampak dari bagaimana Pengadilan Tinggi Hamburg telah mempertimbangkan untuk mendengar saksi-saksi di Indonesia.
"Ini baik sekali bahwa kedua LSM yang tergugat kini bisa bekerja kembali dengan semestinya berkat perbandingan hukum itu. Tapi gugatan semacam itu masih tetap ada dan menjadi masalah yang mendasar,“ katanya.
Rettet den Regenwald sendiri, setelah menerima gugatan tersebut, telah ikut mengorganisir gerakan di seluruh Eropa menentang tuntutan intimidasi dan termasuk salah satu anggota awal aliansi di seluruh Eropa yang menentang SLAPP yang disebut CASE. Aliansi ini pada 2021 lalu telah memberikan penghargaan buruk kepada Korindo sebagai "International Bully of The Year”.
Kelompok masyarakat sipil di Eropa, sejak beberapa tahun terakhir mendorong perlawanan terhadap SLAPP. Seperti disampaikan Roger Mann di atas, Komisi Uni Eropa saat ini sedang membuat rancangan menentang SLAPPs. Pemerintah Jerman juga sedang mengatur peraturan serupa.
Bagaimana respon terhadap SLAPP di Indonesia?
Franky Samperante secara pribadi menganggap SLAPP bertentangan dengan hak atas kebebasan dan peran organisasi masyarakat sipil untuk mengawasi kinerja Negara dan korporasi. Sehingga peraturan perundang-undangan anti SLAPP di Indonesia menjadi sesuatu yang bernilai penting.
"Pola pembungkaman dan kasus kriminalisasi semakin banyak, peraturan anti SLAPP sangat penting," katanya kepada Betahita.
Meski begitu, Franky menegaskan, SLAPP tidak akan menghentikan kelompok masyarakat sipil, terutama Pusaka, bersikap kritis terhadap Negara maupun korporasi.
"Kriminalisasi dan intimidasi tidak akan menghentikan kami berbicara keadilan dan kebenaran," katanya.
Bicara memerangi SLAPP, Oktober 2022 lalu Yayasan Auriga Nusantara, Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) bersama Kejaksaan Agung RI telah membuat Pedoman tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Salah satu semangat pembentukan pedoman itu adalah penguatan pengaturan tentang hak atas lingkungan hidup dengan konsep anti SLAPP.
Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra menjabarkan apa yang dimaksud SLAPP. Menurut Roni, SLAPP adalah tindakan pembalasan menggunakan instrumen hukum kepada orang yang memperjuangkan lingkungan hidup. Dalam bahasa sederhana, SLAPP dapat dipahami sebagai tindakan kriminalisasi pejuang lingkungan hidup.
SLAPP dapat dilakukan dalam bentuk gugatan perdata maupun pelaporan pidana. Gugatan tersebut biasanya meminta ganti kerugian yang ditimbulkan akibat partisipasi publik dalam upaya pembelaan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup.
“Pelaporan pidana biasanya dengan menggunakan ketentuan pidana yang tidak berhubungan dengan partisipasi publik itu sendiri, misalnya penggunaan pasal pencemaran nama baik, pencurian, perusakan, penganiayaan, dan lain-lain,” terang Roni, Senin (27/2/2023).
Roni mengungkapkan, sepanjang 2014 hingga Januari 2023, terdapat sebanyak 65 kasus hukum yang dialami sekitar 539 warga yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kasus-kasus ini terjadi di 48 daerah kabupaten atau kota di Indonesia.
Kasus hukum yang biasa disebut kriminalisasi ini berlatarbelakangkan beragam sebab permasalahan. Mulai dari penolakan proyek pembangkit listrik, penolakan tambang, konflik lahan dengan korporasi, penyelamatan lingkungan, hingga kritik dan pemberitaan oleh jurnalis.
Masih berdasarkan catatan Auriga, kasus kriminalisasi bercorak SLAPP ini terbanyak terjadi pada 2022 sebanyak 16 kasus, dengan jumlah korban mencapai angka 283 individu. Disusul kemudian 2021 sebanyak 15 kasus melibatkan 63 individu sebagai korban, dan 2017 yang sebanyak 11 kasus dengan korban sejumlah 94 individu.
Perkembangan Anti SLAPP di Indonesia
Roni berpendapat, SLAPP memiliki pengaruh sangat besar terhadap perjuangan lingkungan hidup dan sumber daya alam di Indonesia. Selain berdampak pada pemidanaan atau membayar sejumlah uang karena dianggap telah menimbulkan kerugian, SLAPP dapat menyebabkan perjuangan masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat bisa terhenti.
“Dampaknya eksploitasi terhadap sumber daya alam menjadi tidak terkendali, dan pada wilayah-wilayah tertentu dapat menimbulkan bencana.”
Roni mengakui, saat ini di Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang anti SLAPP. Namun, perlindungan terhadap pejuang lingkungan sebenarnya sudah diamanatkan dalam Pasal 66 Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Yang kemudian diikuti oleh Mahkamah Agung melalui SK KMA 36/2013.
"Terakhir Jaksa Agung mengeluarkan Pedoman Jaksa Agung No 8 Tahun 2022 yang salah satu babnya membahas tentang anti SLAPP," kata Roni.
Roni menguraikan, pihak kejaksaan memandang bahwa penegakan hukum di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tidak jarang berbenturan dengan aktivitas pihak yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Oleh karenanya, diperlukan penguatan pengaturan tentang perlindungan hukum terhadap setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup (vide Pasal 66 UU PPLH).
Namun dalam praktiknya ketentuan Pasal 66 UU PPLH ini tidak dilaksanakan dengan baik, karena tidak ada aturan teknis yang mengatur. Selain itu ketentuan ini dipandang oleh banyak penegak hukum hanya dapat diberlakukan khusus terkait dengan sektor lingkungan hidup, padahal banyak kasus yang terjadi tidak selalu berkaitan dengan lingkungan hidup.
"Misalnya di sektor tambang, perkebunan dan kehutanan--sektor yang paling tinggi dieksploitasi oleh korporasi. Berkaca dari itu, maka kejaksaan memandang perlu untuk memasukkan satu bab yang mengatur lebih detail tentang bagaimana prosedur anti SLAPP dapat diberlakukan."
Anti SLAPP dalam Pedoman Kejaksaan itu diatur pada BAB VI. Perbuatan memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat dan baik menurut Pedoman ini terdiri dari 6 bentuk, yaitu:
- Penyampaian usulan dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik;
- Penyampaian keberatan, keluhan, atau pengaduan terkait pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
- Pelaporan dugaan tindak pidana, pengajuan gugatan administrasi atau perdata, atau proses hukum lain yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
- Penyampaian pendapat di muka umum;
- Penyampaian kesaksian atau keterangan di persidangan; dan/atau
- Komunikasi kepada kementerian atau lembaga terkait hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik, secara lisan maupun tulisan baik langsung maupun melalui sarana elektronik.
"Apabila perbuatan-perbuatan di atas dilakukan dengan “tidak secara melawan hukum” dan itikad baik, maka perbuatan itu tidak dapat dipidana.”
Lebih lanjut Roni menjelaskan, apabila atas perbuatan tersebut dilakukan tindakan penyidikan, dan hasil penyidikan dinyatakan lengkap, maka penuntut umum wajib mempertimbangkan ada tidaknya pembenaran yang layak.
Pembenaran yang layak menurut Pedoman adalah tidak ada alternatif atau pilihan tindakan yang lain selain tindakan yang melawan hukum (asas subsidiaritas), dan dilakukan dalam rangka melindungi kepentingan hukum yang lebih besar atau memenuhi kewajiban hukum yang lebih penting (asas proporsionalitas).
“Maka penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena perkara ditutup demi hukum dengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2),” jelas Roni.
Jika kemudian, tindakan tersebut berlanjut hingga persidangan, dan berdasarkan pemeriksaan alat bukti ditemukan alasan pembenar atau pembenaran yang layak maka penuntut umum menuntut terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum, dan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat, serta martabatnya.
“Untuk kasus perdata, maka yang dapat digunakan sebagai pedoman adalah SK KMA 36/2013, yang saat ini sedang diperbarui,” tutup Roni.