Menakar Komitmen Transisi Energi Berkeadilan Indonesia

Penulis : Wahyu Eka Styawan - Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur

Opini

Sabtu, 04 Maret 2023

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID - Dalam berbagai kesempatan forum dunia Pemerintah Indonesia sesumbar untuk berkomitmen dan mendorong penurunan emisi gas efek rumah kaca, salah satunya melalui transisi energi. Rencana ini pun telah dituliskan secara ambisius dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang implementasinya adalah mendorong revisi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sejak 2022.

Tetapi dalam praktiknya realisasi transisi energi yang dijalankan oleh pemerintah masih tidak berjalan dengan maksimal. Seperti target bauran energi terbarukan yang dicanangkan pemerintah melalui Kementerian ESDM yang harus mencapai sekitar 23 persen dalam 2025. Namun hingga 2022-2023 angkanya masih 14,11 persen, naik tidak lebih dari 2 persen dari 2021 yang mencapai 13,65 persen.

Dalam praktiknya sampai saat ini pun penghasil listrik Indonesia masih didominasi fosil dan energi tinggi resiko. Seperti data dari Kementerian ESDM, PLTU masih tercatat sebagai sumber energi dominan dengan produksi sekitar 42,1 GW, lalu disusul oleh PLTG/GU/MG sekitar 21,6 GW.

Sementara itu untuk EBT, yang baurannya mencapai 14 persen, mayoritas berasal dari energi tinggi resiko seperti PLTA yang produksinya mencapai 6,6 GW, kemudian disusul panas bumi atau PLTP sekitar 2,3 GW, dan bioenergi sebesar 3 GW. Berangkat dari data-data itu, penulis memandang Pemerintah Indonesia belum memiliki niatan yang serius.

Sebuah petisi di Change.org yang berisi desakan agar pemerintah segera menghentikan proyek PLTA Batang Toru ditujukan kepada Presiden Jokowi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, telah ditandatangani 1049orang hingga Selasa 14 April 2019. foto/Doc WALHI

Bahkan baru-baru ini pemerintah mendorong renewable energy mix, seperti mencampur biomassa dan batu bara, sebagai target dalam mengurangi emisi melalui skema Co-firing. Hal ini juga terlihat dalam Rancangan Undang-undang (RUU) EBT yang problematik, karena memasukkan tawaran tersebut sebagai bentuk terbarukan.

Dengan demikian, dapat dikatakan jika mayoritas solusi transisi energi di Indonesia masih tidak bisa lepas dari fosil dan lepas dari kepentingan pemodal besar. Seperti yang disampaikan pemerintah dalam Indonesia Energy Transition Outlook 2022, keberadaan PLTU masih dipertahankan, lalu upaya peningkatan pemanfaatan LNG (Liquid Natural Gas) dan renewable energy mix termasuk Co-firing hingga nuklir sebagai solusi transisi realistis.

Sumber-sumber energi tersebut masih dominan berasal dari fosil dan industri ekstraktif skala masif, yang dalam praktiknya selalu meninggalkan jejak kerusakan dan pelanggaran hak atas hidup. Apa yang ditampilkan oleh Pemerintah Indonesia merupakan bentuk solusi palsu.

Solusi Palsu Mendominasi

Solusi palsu dimaksud mengacu pada langkah-langkah yang dipromosikan sebagai solusi untuk masalah, tapi tidak mengatasi akar penyebab masalah atau memiliki dampak negatif di bidang lain. Dalam konteks transisi energi, solusi yang salah dapat mencakup langkah-langkah yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan keuntungan daripada keberlanjutan dan keadilan sosial.

Dalam konteks transisi energi, hal ini dapat berarti bahwa pertumbuhan dan keuntungan ekonomi lebih diprioritaskan daripada keberlanjutan dan keadilan sosial. Seperti, masih munculnya solusi dengan memaksimalkan biofuel dan biomassa di Indonesia. Tentu hal tersebut sangat berkaitan dengan kepentingan industri kelapa sawit dan hutan tanaman industri di atas keberlanjutan dan keadilan sosial.

Industri sawit dan kebun tanaman industri merupakan kontributor utama deforestasi dan telah dikaitkan dengan konflik sosial dan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Karena itu, pemanfaatan biofuel dan biomass yang terbuat dari produk turunan sawit dan hutan tanaman industri akan terus melanggengkan kerusakan ekologis dan merawat ketidakadilan sosial.

Salah satu bentuk dari solusi palsu dalam transisi energi di Indonesia adalah terus digunakannya pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dengan teknologi carbon capture and storage (CCS). Sementara CCS dianggap memiliki potensi untuk mengurangi emisi dari pembangkit listrik tenaga batu bara.

Namun menurut laporan dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) pada 2022, secara garis besar teknologi CCS ini termasuk mahal dan belum terbukti signifikan mengurangi emisi. Sebab skema CCS dapat dikatakan tidak dapat bertahan dalam jangka panjang.

CCS juga tidak mengatasi akar permasalahan, yaitu ketergantungan pada bahan bakar fosil. Selain CCS, pemerintah juga mendorong renewable energy mix seperti munculnya ide Co-firing yang tak jauh berbeda, alias tidak signifikan dalam mengurangi emisi.

Solusi palsu energi terbarukan yang sering dijual oleh pemerintah adalah energi air dan panas bumi, bahkan memasukkannya dalam rencana prioritas nasional, bahkan beberapa masuk dalam proyek strategis nasional. Seperti kita ketahui, tenaga air dapat menyediakan sumber energi terbarukan yang signifikan, proyek berskala besar dapat berdampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat setempat.

Dampak tersebut dapat mencakup hilangnya keanekaragaman hayati, perpindahan masyarakat lokal, dan dampak terhadap kualitas dan kuantitas air. Seperti yang terjadi di Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Pembangunan bendungan yang salah satunya untuk energi terbarukan ternyata mendorong perampasan ruang hidup. Ada kawasan hijau yang akan diubah jadi tambang untuk bahan pembangunan bendungan, sementara bendungan sendiri berdiri di area pertanian dan buffer zone.

Solusi palsu lain yang ditawarkan pemerintah adalah percepatan pembangkit listrik tenaga panas bumi. Saat ini Indonesia digadang-gadang memiliki sumber daya panas bumi yang signifikan dan dilabeli sebagai salah satu produsen energi panas bumi terbesar di dunia. Potensi panas bumi Indonesia diperkirakan sekitar 28,5 GW, yang tersebar dari Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur dan Maluku Utara.

Energi panas bumi sangat problematik, dikatakan energi terbarukan, tetapi secara praktik memiliki masalah dan dampak serius terhadap ekosistem dan manusia. Seperti yang terjadi di Dieng Wonosobo dan Gunung Slamet, Jawa Tengah, lalu Ijen Blawan, Jawa Timur, Mandailing Natal, Sumatera Utara, Sarula dan Mataloko di NTT. Semua proyek tersebut berdampak negatif pada kehidupan masyarakat.

Masyarakat dari wilayah yang penulis sebutkan di atas hampir semuanya mengalami dampak negatif, seperti penurunan muka tanah, khususnya di daerah dengan tingkat aktivitas panas bumi yang tinggi. Hal ini dapat mengakibatkan kerusakan bangunan, infrastruktur, dan habitat alami.

Lalu keberadaan panas bumi terbukti memiliki dampak kesehatan manusia, pelepasan gas hidrogen sulfida dari pembangkit listrik tenaga panas bumi dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan dampak kesehatan lainnya bagi masyarakat sekitar.

Selain kesehatan proyek panas bumi juga memiliki dampak sosial, terutama ketika proyek tidak dikembangkan dengan konsultasi dan partisipasi masyarakat yang memadai. Masyarakat lokal mungkin mengungsi atau terpengaruh oleh kebisingan, debu, dan dampak lain yang terkait dengan pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik tenaga panas bumi.

Terakhir, dampak-dampak tersebut akan dilengkapi dengan defisit air tanah, karena pembangkit listrik panas bumi membutuhkan air dalam jumlah besar untuk pendinginan dan produksi uap. Penggunaan sumber daya air tanah untuk produksi energi panas bumi dapat menyebabkan penipisan akuifer dan persaingan dengan pengguna air lainnya.

Solusi yang Seharusnya Dijalankan

Nugroho dalam tulisannya di Jurnal Prisma Vol 37 Tahun 2018 berjudul “Jalan Panjang Terjal: Transisi Energi dan Peran Pembangunan Nusantara”, menyebut transisi energi terbarukan di Indonesia masih stagnan dan belum ada upaya signifikan untuk mendorongnya. Hal ini terlihat dari capaian dan kebijakan yang masih memprioritaskan energi fosil.

Selain itu pola-pola transisi energi secara keseluruhan masih mengakomodasi kepentingan elite, daripada mendorong partisipasi. Tidak terlalu mengagetkan bila solusi palsu masih mendominasi, jika berangkat dari telaah tersebut sebagai gambaran perjalanan transisi energi di Indonesia.

Penulis, berangkat dari proses belajar dan berkomunikasi dengan jaringan komunitas, memiliki pandangan sendiri mengenai transisi energi. Menurut penulis, transisi energi ke sumber terbarukan di Indonesia harus dipastikan berkelanjutan dan berkeadilan. Oleh karena itu, penting untuk memprioritaskan sumber energi terbarukan yang tidak berdampak negatif terhadap lingkungan atau masyarakat sekitar.

Hal ini termasuk mempromosikan sistem energi terbarukan terdistribusi yang memprioritaskan kepemilikan dan kendali masyarakat, atau dikenal dengan desentralisasi energi. Penting juga untuk mengatasi akar penyebab masalah, yaitu ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan untuk mempromosikan kebijakan yang memprioritaskan kepedulian sosial dan lingkungan daripada pertumbuhan dan keuntungan ekonomi.

Transisi ke energi terbarukan seharusnya tidak boleh mengorbankan atau merugikan masyarakat, terutama mereka yang sudah rentan atau terpinggirkan. Maka pengembangan dan implementasi proyek energi terbarukan harus dipastikan dilakukan dengan cara yang inklusif, adil, dan menghormati hak asasi manusia.

Salah satu cara untuk mencapainya adalah melalui proses partisipatif dan berbasis masyarakat, dengan melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan, perencanaan, dan pelaksanaan upaya transisi energi terbarukan. Hal ini dapat membantu memastikan manfaat dan keberpihakan energi terbarukan didistribusikan secara adil, sehingga transisi energi tersebut selaras dengan kebutuhan dan prioritas masyarakat setempat.

Selain itu, penting untuk melakukan penilaian dampak lingkungan dan sosial secara menyeluruh untuk mengidentifikasi dan memitigasi potensi dampak negatif energi terbarukan terhadap keanekaragaman hayati, ekosistem, dan masyarakat lokal. Ini dapat membantu meminimalkan bahaya dan memberi jaminan proyek tersebut berkelanjutan dalam jangka panjang.

Singkatnya, penulis berpendapat, transisi ke energi terbarukan memang penting untuk mengatasi tantangan perubahan iklim dan krisis iklim, dengan syarat harus dilakukan dengan cara yang menempatkan instrumen ekologis sebagai ide besar. Seperti melihat kondisi ekosistem, mendorong pemulihan ekosistem, lalu menghormati hak asasi manusia dan mendorong keadilan sosial.

Semua yang penulis sampaikan sampai saat ini belum dilakukan di Indonesia, bahkan mungkin tidak terpikirkan untuk dilakukan.