World Wildlife Day: Menengok Kondisi Satwa Liar di Indonesia
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Biodiversitas
Senin, 06 Maret 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - 20 Desember 2013, pada sidang ke-68, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproklamirkan 3 Maret sebagai World Wildlife Day atau Hari Satwa Liar Sedunia. Tanggal ini juga dipilih karena merupakan hari ulang tahun Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang tahun ini telah menginjak usia setengah abad.
World Wildlife Day ini ditetapkan dengan semangat untuk merayakan dan meningkatkan kepedulian terhadap satwa dan tumbuhan liar di dunia. Namun bagaimana kondisi satwa liar di Indonesia saat ini?
Menurut Sulih Primara, Peneliti Kehutanan Yayasan Auriga Nusantara, kondisi satwa liar di Indonesia tidak bisa dibilang baik. Karena, kabar kematian satwa liar, termasuk yang dilindungi, masih menghiasai kanal-kanal berita media massa.
Contohnya seperti yang terjadi baru-baru ini, orangutan sumatera (Pongo abelii) di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, mati dengan tulang punggung retak karena dianiaya warga, dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) muda mati diracun setelah menyerang ternak milik warga di Aceh Timur, Aceh. Keduanya mati akibat konflik dengan masyarakat.
"Beberapa jenis satwa liar juga masih menjadi objek perburuan dan perdagangan ilegal. Seperti jenis burung paruh bengkok, bekantan, trenggiling, dan lain sebagainya," kata Sulih, Minggu (5/3/2023).
Sulih menyebut, jenis satwa liar lainnya yang juga cukup mengkhawatirkan nasibnya adalah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Jenis ini sudah sejak lama dieksploitasi, menjadi objek ekspor untuk kebutuhan biomedis. Dalam rentang waktu 2010-2020, monyet ekor panjang Indonesia yang diekspor jumlahnya sudah mencapai 14.292 ekor.
"Pada 2021 Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem mengeluarkan kuota tangkap untuk monyet ekor panjang sebanyak 2.070 ekor untuk diekspor."
Ekspor tumbuhan dan satwa liar (TSL) Indonesia juga menunjukkan hal yang ironis. Karena ekspor TSL dalam beberapa tahun belakangan justru lebih banyak mengandalkan populasi dari alam, ketimbang dari penangkaran.
Bahkan riset International Socioeconomic Inequality Drives Trade Patterns in the Global Wildlife Market menyebut Indonesia sebagai negara eksportir satwa liar peringkat satu dan telah mengekspor 71 juta satwa liar sepanjang 2008 hingga 2018.
Menurut CITES, sebanyak 91 jenis satwa liar di Indonesia masuk dalam Appendix I. Artinya 91 jenis itu dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional, khususnya yang berasal dari alam.
Sedangkan menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List, sebanyak 91 jenis satwa liar di Indonesia masuk dalam kategori Kritis (Critically Endangered) dan Genting (Endangered). Sayangnya, dari 91 jenis itu, 38 jenis di antaranya masih berstatus Tidak Dilindungi menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106 Tahun 2018.
Badak Jawa, Satwa Pemalu yang Sedang Kritis
Salah satu jenis satwa yang masuk dalam Appendiks I CITES dan berstatus Kritis menurut IUCN Red List ini adalah badak jawa (Rhinoceros sondaicus). Itu wajar, mengingat satwa pemalu satu ini populasinya sangat kecil, tidak mencapai bilangan ratusan.
"Sampai dengan tahun 2022, jumlah badak (jawa) yang berhasil terekam kamera sejumlah 77 ekor, dengan komposisi bertina 38 ekor, dan jantan 39 ekor," kata Andri Firmansyah, Kepala Urusan (Kaur) Hubungan Masyarakat (Humas) Balai TN Ujung Kulon, kepada Betahita melalui pesan teks, Minggu (5/3/2023).
Selain jumlah populasinya yang kecil, satwa yang juga menyandang status flagship species ini persebarannya juga terbatas. Di alam, badak jawa hanya dapat dijumpai di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon. Kawasan konservasi yang berada di Provinsi Banten ini memiliki luas daratan sekitar 61.357,46 hektare, dan telah ditetapkan sebagai Kawasan Suaka Alam sejak 1921 silam.
Lalu bagaimana kondisi konservasi badak jawa di TN Ujung Kulon?
Menurut Andri, kondisi badak di TN Ujung Kulon sejauh ini dalam kondisi pemantauan intensif (full protective) oleh petugas, melalui video trap yang dipasang di jalur-jalur perlintasan badak. Di sana badak hidup liar di alam, dan tidak bergerombol melainkan soliter.
Andri mengatakan, beberapa kegiatan konservasi badak jawa yang dilakukan di TN Ujung Kulon di antaranya, patroli rutin Rhino Protection Unit, monitoring populasi menggunakan video trap, pengendalian tumbuhan langkap, dan pembibitan tanaman pakan badak.
Banyak yang mengira badak jawa mengalami berbagai ancaman di kehidupan liarnya, seperti perburuan misalnya, lantaran sejak dulu cula badak dianggap bernilai. Tetapi Andri menyebut tidak ada aktivitas perburuan badak di TN Ujung Kulon.
"Untuk ancaman terhadap badak jawa seperti aktivitas perburuan, tidak ada. Patroli intensif selalu dilakukan oleh petugas, mungkin ancaman gempa bumi atau tsunami yang juga harus diantisipasi," kata Andri.
Mengenai kebijakan khusus pemerintah untuk menambah populasi badak jawa, Andri mengatakan, pemerintah membangun Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) yang dibangun secara khusus untuk konservasi badak jawa di TN Ujung Kulon. Sayangnya Andri tidak menguraikan lebih lanjut mengenai hal yang terakhir ia sampaikan itu.
Dalam siaran persnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut berbagai upaya konservasi terus dilakukan untuk menyelamatkan dan meningkatkan populasi badak jawa di TN Ujung Kulon.
Pemerintah dalam hal ini KLHK telah melakukan langkah-langkah penyelamatan, antara lain monitoring kondisi populasi dan habitat secara periodik, perlindungan badak jawa dari ancaman perburuan dan hama penyakit, pembinaan habitat melalui penanaman jenis tumbuhan pakan dan pengendalian jenis invasif spesies.
Kemudian pembangunan sanctuary sebagai area konservasi intensif, pemetaan genetik, pelibatan masyarakat dalam upaya konservasi badak jawa, dan proses pembangunan second habitat untuk badak jawa.
Badak jawa bernama Samson ditemukan mati di pantai Taman Nasional Ujung Kulon./Foto: Balai TNUK
Seperti yang disampaikan KLHK di atas, beragam upaya telah dilakukan mempertahankan populasi badak jawa, agar tidak terperosok ke dalam jurang kepunahan. Namun, berapa sih angka kematian badak jawa yang pernah tercatat?
Badak jawa merupakan salah satu satwa paling langka dilindungi di Indonesia. Saking langkanya, data jumlah kematiannya juga ikut langka dan seolah terlindungi.
Meski begitu, berdasarkan data yang terhimpun, termasuk dari dokumen resmi yang Betahita lihat, setidaknya sejak 2012 hingga 2020, tercatat ada 8 individu badak jawa yang mati di TN Ujung Kulon. Mereka adalah Sudara (2012), Iteung (2013), Sultan (2014), Arjuna (2014), Demang (2015), Samson (2018), Sari (2018) dan Manggala (2019).
Selain itu, selama 2010 tiga individu badak jawa juga dilaporkan mati di beberapa tempat berbeda di taman nasional itu. Hanya saja tidak ada keterangan yang dijelaskan mengenai identitas ketiganya.
Menurut pihak Balai TN Ujung Kulon, salah satu badak yang mati pada 2010 itu ditemukan di aliran sungai, diduga badak itu mati akibat terjebak dan terbawa arus hingga mati. Uji laboratorium terhadap jasad badak jawa yang mati menemukan adanya Bacilus Anthraccis, penyebab penyakit Anthrax.