Pemerintah Harus Ciptakan Iklim Ramah Pengembangan Energi Bersih

Penulis : Kennial Laia

Energi

Kamis, 30 Maret 2023

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID -  Meskipun saat ini biaya energi terbarukan semakin murah, pengembangannya di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Mulai dari persaingan yang tidak setara dengan energi fosil yang sarat subsidi hingga regulasi yang menjadikan energi bersih seperti tenaga surya dan angin mahal. 

Dalam laporan terbarunya, Institute for Essential Services Reform (IESR) menganalisis bahwa saat ini pembangkit energi terbarukan semakin bisa bersaing dengan energi fosil, seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Ini mendorong penggunaan yang signifikan di berbagai negara, namun tidak di Indonesia. Padahal, pemerintah memiliki target net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. 

“Selama ini pembangkit energi terbarukan ini dianaktirikan dengan PLTU batu bara. Terdapat pandangan bahwa batu bara merupakan sumber energi paling murah. Padahal yang sebenarnya terjadi, listrik PLTU batubara murah karena ditopang oleh kebijakan DMO dan subsidi lainnya sejak 2018,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, Senin, 27 Maret 2023.  

Di Indonesia, perkembangan kapasitas energi terbarukan dalam lima tahun terakhir di bawah target yang direncanakan. Selama 2015 sampai 2021, kapasitasnya bertambah rata-rata 400 MW atau kurang dari seperlima dari pertumbuhan yang seharusnya untuk mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025. Pada 2022, kapasitas pembangkit energi terbarukan bertambah 1 GW tapi masih jauh dari pertumbuhan seharusnya. 

Energi bersih dan terbarukan seperti tenaga angin dan matahari semakin murah, dan memungkinkan dunia untuk mencapai target 1.5C dengan target dan kebijakan yang tidak mendukung energi fosil. Dok IEA

Analisis IESR menunjukkan harga pembangkit energi terbarukan semakin menurun dan kompetitif. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berskala menengah memiliki biaya pembangkit rata-rata atau levelized cost of Electricity (LCOE) yang paling rendah yakni sebesar 4,1 sen/kWh. 

Di posisi kedua dan ketiga terendah secara berturut adalah pembangkit listrik mini/mikro hidro (PLMTH) dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) senilai 4,9 sen/kWh dan 5,8 sen/kWh. 

Namun penghitungan biaya pembangkit ini tidak memasukkan biaya penggunaan lahan dan biaya persiapan proyek, sehingga akan ada kemungkinan peningkatan LCOE setidaknya 6% untuk PLTA skala menengah, dan 18% untuk PLTS skala utilitas.

“Saat ini, iklim investasi pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan memang belum kondusif. Salah satu penyebabnya adalah sejumlah regulasi yang meningkatkan biaya tinggi,” ujar Muhammad Bintang, peneliti IESR yang juga merupakan penulis utama laporan tersebut. 

Bintang mencontohkan, untuk pengembangan PLTS skala utilitas, ada aturan yang mengharuskan penggunaan komponen dalam negeri yang harga produknya masih lebih mahal dan kalah dari segi kualitas dari komponen impor. Harga komponen yang lebih mahal menyebabkan biaya investasi yang dibutuhkan meningkat. 

Pendanaan proyek juga lebih mahal karena tidak adanya jaminan mutu dan pemenuhan standar. Investasi, terutama dari luar negeri, pun menjadi sulit. 

Meskipun demikian, tren penurunan harga teknologi diperkirakan membuat pembangkit energi terbarukan lebih kompetitif dalam waktu dekat. Contohnya, proyeksi LCOE PLTS skala utilitas baru pada 2050 akan mencapai 3 sen/kWh atau lebih rendah, jauh lebih murah dibandingkan biaya operasi PLTU batu bara eksisting. 

Menurut laporan tersebut, kombinasi PLTS dan battery energy storage system (BESS) akan semakin terjangkau dan kompetitif dibandingkan dengan listrik dari PLTU pada 2030. Pasalnya, pemerintah mulai mengimplementasikan aturan pengurangan emisi, misalnya lewat mekanisme carbon pricing dan pembatasan gas buang yang dapat meningkatkan LCOE PLTU.  

“Kompetitifnya harga sistem penyimpanan energi tentu membantu pengembangan energi terbarukan. Salah satu tantangan pembangkit energi terbarukan seperti PLTS dan PLTB adalah intermitensi yang membutuhkan integrator agar stabilitas sistem eksisting tetap terjaga. Sistem penyimpan energi inilah integrator yang paling populer karena fungsinya yang bervariasi,” jelas Bintang.

Menyoal penggunaan CCS pada PLTU batubara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, Manager Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo,  menyatakan hal tersebut justru akan meningkatkan LCOE PLTU batu bara.

Menurut Deon, penggunaan CCS pada PLTU batu bara seharusnya tidak lagi menjadi pilihan. Sebab hingga saat ini belum ada implementasi yang sukses mencapai target pengurangan emisinya. Selain itu, LCOE dari PLTU batu bara dengan CCS akan meningkat setidaknya dua kali lipat atau lebih besar dari 10 sen per kWh. 

“Ini setara dengan memberlakukan pajak karbon sekitar 50 dolar per ton CO2e ke seluruh emisi PLTU batu bara. Semua energi terbarukan sudah jauh lebih kompetitif dan terbukti untuk menghasilkan listrik tanpa emisi gas rumah kaca,” terang Deon.

Agar pengembangan energi terbarukan berlangsung secara adil, IESR merekomendasikan pemerintah dan perusahaan utilitas seperti PLN untuk mempercepat pengakhiran operasional PLTU batu bara, serta memberikan insentif kepada pengembangan energi terbarukan dan teknologi penyimpanan energi, serta secara bertahap menghapuskan ketentuan DMO batu bara pada 2025. Pengembangan energi terbarukan akan menciptakan berbagai peluang ekonomi yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Industri manufaktur energi terbarukan seperti surya dan juga baterai berpeluang menciptakan basis ekonomi baru, menciptakan lapangan kerja hijau, dan juga membantu mendorong LCOE dan LCOS energi terbarukan dan Energy Storage System (ESS) lebih murah lagi di Indonesia dalam jangka panjang. 

Menurut IESR, perlu ada strategi integrasi pembangunan listrik energi terbarukan dan ESS dengan pengembangan industri manufaktur lokal. 

Misalnya untuk energi surya, perlu mengalokasikan pasar energi terbarukan yang besar di Indonesia untuk membantu pertumbuhan industri lokal dan juga insentif industri lokal untuk membangun rantai pasok lengkap dan produksi modul tier 1 kualitas ekspor.

Selanjutnya, IESR mendorong agar PLN sebagai operator sistem kelistrikan dapat secara aktif menerapkan solusi untuk mengatasi intermitensi energi terbarukan, misalnya dengan penyesuaian sistem operasinya dan meningkatkan fleksibilitas sistem. Selain itu, pemanfaatan sistem penyimpanan energi perlu dipersiapkan ketika penetrasi energi terbarukan sudah cukup besar di sistem energi di Indonesia. 

“Sejauh ini implementasi sistem penyimpanan energi masih terbatas pada sistem off-grid, padahal penyimpanan energi bisa memiliki banyak fungsi pada sistem skala besar, selain untuk integrasi pembangkit energi terbarukan,” kata Bintang. 

“Dengan banyaknya inisiatif proyek dan adanya kejelasan regulasi, bisa meningkatkan percaya diri investor, produsen teknologi, dan pengembang untuk mengembangkan rantai pasok sistem penyimpanan energi di Indonesia yang lebih lanjut membuat biayanya lebih ekonomis,” pungkasnya.