Transisi Energi Harus Adil, Bukan Sekedar Menurunkan Emisi Karbon

Penulis : Kennial Laia

Energi

Jumat, 07 April 2023

Editor : Raden Ariyo Wicaksono

BETAHITA.ID -  Pengamat menilai bahwa transisi energi belum adil di Indonesia. Padahal ini sangat penting diterapkan dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca, sekaligus menghadapi krisis iklim.  

Torry Kuswardono, direktur eksekutif Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul) Indonesia, mengatakan saat ini transisi energi masih menggunakan logika pertumbuhan ekonomi yang tetap mengandalkan eksploitasi sumber daya alam.

Menurut Torry, mitigasi krisis iklim harus melalui proses yang berkeadilan dan menjamin terjadinya integrasi ekosistem, lingkungan, dan integritas sosial. Torry menilai transisi energi tidak hanya terpaku pada target penurunan emisi semata. Namun harus mempertimbangkan siklus menyeluruh dari sektor energi dan dilakukan penilaian untuk melihat kemampuan adaptasi suatu daerah yang mengalami transisi energi dari berbagai faktor, serta bagaimana dampaknya.

“Mitigasi energi yang tidak mempertimbangkan kemampuan adaptasi lingkungan kedepannya akan memunculkan masalah baru. Misalnya kebijakan kendaraan listrik. Ini perlu dilakukan asesmen, (tentang) bagaimana dampak pertambangan nikel bagi masyarakat sekitarnya. Jangan sampai ada pihak-pihak yang dirugikan dalam bertransisi dan berujung pada ketidakadilan,“ tutur Torry.

Kampanye Greenpeace memproyeksikan pesan untuk transisi ke energi bersih di Pantai Melasti, Bali, 14 November 2022. Aksi tersebut bersamaan dengan digelarnya KTT G20 di bawah presidensi Indonesia. Dok Greenpeace

Torry menilai saat ini transisi energi yang didorong pemerintah belum berkeadilan. “Seperti apa prinsip-prinsip keadilan itu diterapkan? Berkaca pada situasi saat ini], prinsip keadilan ini perlu didefinisikan ulang.”

Direktur program Trend Asia Ahmad Ashov Birry mengatakan, prinsip ‘keadilan’ merupakan hal paling fundamental pada transisi energi. Selain itu, prosesnya juga harus transparan dan melindungi hak asasi manusia serta menjunjung keadilan ekologis dan ekonomi. 

Transformasi tidak sekedar transisi teknologi tetapi harus mendorong transformasi pembangunan ekonomi secara menyeluruh dari ekonomi ekstraktif dan sentralistik ke ekonomi yang regeneratif dan demokratis.

Menurut Ashov, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan pemerintah. Mulai dari percepatan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan pengakhiran pertambangan batu bara, reformasi PLN dan kebijakan energi, serta memastikan transisi energi dirancang dan dijalankan secara berkelanjutan dan melibatkan publik.

Saat ini Indonesia mempunyai target 23% untuk bauran energi terbarukan pada 2025. Namun, hingga saat ini pencapaiannya masih 11-12%. Ashov mengatakan, ini karena masih banyak kebijakan pemerintah yang kontradiktif, yakni masih berpihak pada industri fosil. Misalnya, rencana membangun PLTU dengan kapasitas total 13,8 GW dan masih banyaknya insentif bagi industri batu bara.

“Aspek penting lainnya adalah bahwa konsep dan kerangka transisi energi yang berkeadilan belum didefinisikan dengan baik oleh pemerintah. Oleh karena itu, yang dikhawatirkan adalah terjadinya transisi energi tetapi tidak menyasar pada masalah utamanya, bahkan menghasilkan solusi palsu seperti co-firing batu bara atau gasifikasi batu bara,” terang Ashov.

Solusi berbasis pemanfaatan sumber daya lokal

Tommy Pratama, direktur eksekutif Traction Energy Asia mengatakan, target 23% bauran energi terbarukan untuk dicapai pada 2025 kurang realistis. Pasalnya, pemerintah masih bertumpu pada sektor bioenergi yaitu biofuel atau bahan bakar nabati dan biomassa yang digunakan PLTU co-firing dengan batu bara. 

Padahal bahan bakar nabati dan biomassa justru bisa menghasilkan emisi yang lebih tinggi dari energi fosil jika dilihat dari rantai produksi secara keseluruhan. 

“Saat ini kontribusi biofuel pada target energi terbarukan berkontribusi besar yakni sekitar 11-12%. Yang dibutuhkan saat ini adalah diversifikasi energi rendah karbon untuk dapat dikembangkan di Indonesia, seperti solar panel, tenaga angin, micro hydro, dan arus laut,” kata Tommy. 

Tommy menambahkan bahwa bioenergi atau biomassa sifatnya hanya sementara. Pasalnya, penggunaan sawit untuk biofuel, sempat membebani APBN hingga Rp 2,7 triliun. 

“Biodiesel saat ini rentan mempertajam kompetisi antara sawit untuk pangan atau energi. Artinya sawit tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan di sektor energi tersebut, sehingga dibutuhkan biodiesel dari generasi kedua atau ketiga, seperti penggunaan minyak jelantah dan bahan baku ganggang di pesisir laut,” jelasnya.

Traction Energy Asia telah melakukan riset perbandingan dampak lingkungan sosial dan ekonomi dari PLTU Jawa 7 untuk pasokan listrik Jawa-Bali yang berbahan bakar batu bara dengan PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu) Sidrap 1 di Sulawesi Selatan. 

Perbandingan tersebut menemukan, polusi pencemaran dari PLTU Jawa 7 berdampak negatif terhadap nelayan yang tidak dapat mencari ikan akibat polusi pencemaran air yang cukup tinggi. Sementara itu PLTB Sidrap 1 justru tidak mengeluarkan polusi udara, sehingga masyarakat bisa beraktivitas dengan baik. 

“Diversifikasi energi rendah karbon yang adaptif dengan konteks lokal inilah yang seharusnya dikembangkan oleh pemerintah dengan mengundang investor asing,” ungkap Tommy.

Diversifikasi energi juga diamini oleh Torry. ”Energi berkeadilan layaknya akses pada pangan perlu adaptif menyesuaikan dengan daya dukung pulau atau lokasi tertentu dalam konteks sumber energi untuk bertransisi.”