Aktivitas Tambang Rusak Pertanian di Kolaka

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Selasa, 11 April 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Aktivitas tambang di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra) dituding mengakibatkan hancurnya ratusan hektar sawah di tiga desa.Sawah di desa itu terendam banjir bercampur lumpur material tambang nikel. 

Banjir membawa material tanah bekas galian tambang nikel dan telah merendam sawah di 3 desa yaitu, Desa Pesouha, Pelambua dan Desa Totobo, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). 

Laporan petani menyebutkan lahan persawahan terendam banjir kurang lebih sekitar 650 hektar di tiga desa tersebut. Areal sawah yang terendam lumpur material tambang nikel terparah terjadi di Desa Pesouha, sekitar 500 ha lahan terdampak.

Banjir lumpur ini menerjang sawah masyarakat pada 26 Maret 2023 lalu, sekitar 4 hari setelah menanam. Kala itu Kabupaten Kolaka dan sekitarnya diguyur hujan selama 2 jam. Sungai yang berada di dekat persawahan meluap.

Ilustrasi tambang nikel. Foto: Jatam

Sungai tak bisa menampung debit air bercampur tanah dari bukit gunung lokasi pertambangan. Banjir lumpur setinggi 40 sentimeter kemudian merendam areal persawahan.

Sepekan berikutnya, banjir susulan terjadi usai hujan kembali melanda Kabupaten Kolaka. Sungai kembali meluap membawa sedimentasi material tambang nikel dan merendam persawahan.

“Mati itu padi karena terendam banjir tanah merah, 2 malam saja itu mati padi, apalagi kalau sudah 1 minggu,” keluh Ansal (54), salah satu petani di Pomalaa.

Ia menyebutkan banjir lumpur kali ini paling parah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Lahan persawahan yang terendam banjir mencapai ratusan hektare. Banjir tersebut membuat sawah yang baru ditanami rusak bahkan terancam mati. 

Produksi pertanian ikut menurun dan ancaman gagal panen juga membayangi para petani. Petani harus mengeluarkan biaya Rp 3,5 juta per ha dalam sekali menanam..

“Itu belum termasuk ongkos pupuk, kalau misalnya tumbuh sampai panen, sudah berapa kerugian kami para petani,” ungkap Aslan.

Dalam kondisi setelah terendam lumpur, petani 3 desa ini tetap berupaya agar sawah bisa tumbuh.

Mereka pun menyemai lahan yang banjir dengan pupuk lebih banyak, berharap sawah bisa tetap tumbuh meski kualitas tanaman diyakini akan rusak.

Sebelum banjir  para petani biasanya menghasilkan 7-10 ton gabah per ha dalam sekali panen. Namun, akibat dampak aktivitas pertambangan ini, petani hanya bisa memanen 4-5 ton gabah per ha.

Setiap terjadi banjir lumpur menggenangi persawahan, petani biasanya mengadu ke pemerintah setempat untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan tambang nikel.

Ansal menceritakan perusahaan tambang memang memberi ganti rugi kepada para petani setelah menggelar pertemuan yang dimediasi pemerintah setempat. Perusahaan memberikan Rp 600 ribu per orang, ditambah pupuk 4 karung.

Namun kini, para petani sudah bosan mengadu kepada pemerintah dan meminta pertanggungjawaban perusahaan tambang. Perusahaan tambang yang beroperasi di dekat areal persawahan tidak bisa memberikan solusi.

Salah satu solusi yang ditawarkan para petani yakni untuk menormalisasi Sungai Pesauha, dan membangun tanggul penghadang luapan air lebih tinggi.

“Kami sudah malas, karena percuma tidak ada solusi, sudah berkali-kali ini terjadi setiap hujan turun,” kesalnya.

Ia khawatir banjir lumpur terus merendam persawahan, suatu saat wilayah tersebut tak bisa lagi ditumbuhi tanaman apapun.

Tak hanya sawah, tanaman jangka pendek yang lain juga tak bisa tumbuh. Hal ini mengancam masa depan kehidupan para petani.

Ancaman kehilangan mata pencaharian sebagai petani juga menghantui, apalagi selama ini sumber penghidupan warga satu-satunya, hanyalah bertani.

Direktur Walhi Sultra, Andi Rahman, mengecam masalah ini aktivitas tambang nikel yang berimbas ke lahan sawah produktif masyarakat. Ia menyebutkan ada dua perusahaan tambang yang beroperasi di dekat areal persawahan warga.

Dua perusahaan di antaranya yakni Perusahaan Daerah (Perusda) Kolaka dan PT PMS. Dua perusahaan ini diduga beraktivitas di lahan konsesi PT Vale Indonesia.

“Kami prihatin dengan kondisi yang dialami warga. Kami menyayangkan perusahaan tambang beroperasi tanpa melihat aspek lingkungannya,” ujar Andi Rahman, pada Senin (10/4/2023).

Ia menduga aktivitas perusahaan tambang di Kecamatan Pomalaa tidak menjalankan rekomendasi analisis dampak lingkungan. Kedua perusahaan tambang nikel tidak membangun cekdam penampungan bijih nikel. Sehingga, ketika hujan, material tambang langsung turun ke sungai menjadi lumpur tanah merah.

Sementara itu, Koordinator Forum Swadaya Masyarakat Daerah (ForSDa Kolaka) Djabir Lahukuwi menambahkan bahwa banjir lumpur tersebut sangat merugikan masyarakat. Perusahaan serta pemerintah harus bertanggung jawab.