Kritis, Badak Jawa Perlu Intervensi Strategis

Penulis : Gilang Helindro

Konservasi

Rabu, 12 April 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Delapan belas badak jawa (Rhinoceros sondaicus sondaicus) menghilang di Ujung Kulon, bahkan ada yang hilang sejak 2019. Tiga di antaranya ditemukan mati. Persoalan perburuan badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, yang menjadi satu-satunya habitat tersisa badak jawa saat ini, menyedot perhatian.

Riszki Is Hardianto, Peneliti Spesies Yayasan Auriga Nusantara mengatakan sederet temuan investigatif Auriga Nusantara menunjukkan krisis sedang menimpa badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon.

“Tak hanya perihal teknis konservasinya yang menyimpang, namun juga kelembagaan dan penganggaran Taman Nasional Ujung Kulon yang perlu perbaikan mendasar,” katanya dalam Konferensi Pers: Badak Jawa di Ujung Tanduk. Selasa, 11 April 2023.

Ada empat temuan dalam report tersebut, pertama, indikasi meningkatnya perburuan satwa di Taman Nasional Ujung Kulon. Punahnya badak sumatera di Lampung patut diwaspadai menjadikan para pemburu badak mengarah ke Ujung Kulon yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan Lampung. 

Badak jawa bernama Samson ditemukan mati di pantai Ujung Kulon./Foto: Balai TNUK

Dalam temuan adanya lubang di tengkorak kepala badak jawa jantan bernama Samson yang ditemukan mati pada 2018, jerat yang ditengarai mengarah ke badak atau setidaknya mamalia besar, serta tingginya penerobos ilegal, termasuk bersenjata api, menjadi petunjuk meningginya perburuan satwa di Taman Nasional Ujung Kulon. 

Kedua, indikasi penurunan populasi badak jawa di Ujung Kulon. Sejak 2020 kamera deteksi (camera trap) hanya merekam kurang dari 60 individu badak jawa di Ujung Kulon (padahal pada 2018 terekam 63 individu). Meski rekaman kamera menurun, namun Balai Taman Nasional Ujung Kulon atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan justru mengumumkan jumlah populasi yang selalu meningkat. Demikian juga atas tidak terekamnya 18 individu badak sejak 2019, tidak secuil pun informasi mengenai hal ini diumumkan ke publik.

Ketiga, rentetan kematian badak jawa tidak pernah diusut tuntas. Sejak 2012 terdapat setidaknya 11 kematian badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Tapi, hanya 3 yang diumumkan Balai Taman Nasional Ujung Kulon atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tingginya tingkat kematian tak wajar badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon semestinya menjadi perhatian serius. 

Pada Februari 1982, misalnya, terdapat 5 kematian badak jawa yang diduga disebabkan oleh antraks. Pada 2010, terdapat 3 kematian badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon yang mana pada serangga-serangga di sekitar titik kematian terdapat parasit darah Trypanosoma, jenis bakteri yang diduga menjadi penyebab kematian 5 badak sumatera di penangkaran di Malaysia dalam 18 hari pada 2003. Tidak diusut tuntasnya penyebab setiap kematian ini adalah kesalahan fatal karena tidak menjadi pembelajaran untuk mencegah kematian tak wajar badak jawa.

Keempat, salah arah pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon. Alokasi anggaran Taman Nasional Ujung Kulon ternyata tidak diprioritaskan untuk teknis konservasi badak selama ini. Sementara, struktur dan penempatan pegawai pun tidak mencerminkan adanya prioritas terhadap kegiatan teknis konservasi badak. Pada beberapa tahun terakhir, Balai Taman Nasional Ujung Kulon menghabiskan energi pada pembangunan Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA), padahal area ini di luar habitat eksisting badak jawa dan tidak diperlukan bagi program penambahan habitat (second habitat atau second population).

Menurut Riszki, temuan di atas harus menjadi pemicu evaluasi mendasar dan menyeluruh pada konservasi spesies di Taman Nasional Ujung Kulon. “Ada lima rekomendasi,” katanya.

Pertama, perbaikan secara menyeluruh proteksi badak jawa dan Taman Nasional Ujung Kulon. Sistem pengamanan yang berlangsung selama ini semestinya diuji tuntas untuk mengetahui kinerja sekaligus mengidentifikasi hal-hal yang perlu diperbaiki. Dialog dan konsultasi dengan pakar-pakar pengamanan kawasan dan spesies perlu dilakukan untuk mendapat masukan dan ide segar bagaimana sebaiknya memproteksi badak jawa dan Taman Nasional Ujung Kulon. Memaksimalkan seluruh potensi yang ada, baik modal sosial maupun teknologi. 

Khusus mengenai teknologi, Balai Taman Nasional Ujung Kulon seyogianya mendayagunakan kamera deteksi (camera trap) sekaligus juga mengidentifikasi siapa saja yang memasuki habitat badak secara ilegal. Penggunaan kamera pemantau, seperti CCTV, perangkat teknologi lainnya di titik-titik akses kawasan juga semestinya dilakukan.

Kedua, Balai Taman Nasional  atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghitung populasi badak jawa sesuai standar akademik. Penentuan metodologi penghitungan semestinya didiskusikan secara akademik dan melibatkan pakar-pakar kredibel. Proses ini semestinya dipimpin oleh scientific authority atau dilakukan dengan melibatkan tim pakar yang kredibel, dan dalam situasi yang menjunjung kebebasan akademik.

Ketiga, evaluasi menyeluruh terhadap Balai Taman Nasional Ujung Kulon, baik secara kelembagaan, penganggaran, dan programatik. Restrukturisasi Balai Taman Nasional Ujung Kulon sehingga terdapat unit yang dikhususkan mengurusi spesies yang sekaligus sebagai bagian dari insentif karir dan kesejahteraan. Memastikan penganggaran yang bertumpu pada dan memprioritaskan konservasi badak jawa dan spesies flagship lainnya. Secara konsisten dan berkesinambungan dengan anggaran negara melakukan aktivitas-aktivitas konservasi badak jawa yang dirumuskan secara kolaboratif, terutama pengelolaan populasi, pengelolaan habitat, proteksi, dan koeksistensi badak jawa dengan masyarakat setempat. Membangun suasana yang kondusif bagi pelibatan dan penggalangan konservasionis.

Keempat, melaksanakan secara sungguh-sungguh program penambahan habitat (second population atau second habitat) badak jawa, yang secara berurut sebagai berikut: Penunjukan area penambahan habitat, pembangunan temporary facility di area yang ditunjuk, pemilihan individu badak jawa (di TNUK) yang akan dipindah, translokasi badak jawa terpilih ke temporary facility di habitat tujuan, analisis dan habituasi badak jawa di temporary facility, hingga secara bertahap melepas badak jawa dari temporary facility ke hutan alam di sekitarnya, dan monitoring populasinya di habitat baru.

Kelima, mendorong dan membuka ruang terhadap riset-riset badak jawa, termasuk penelitian potensi penyakit dan investigasi forensik terhadap setiap kematian tak wajar badak jawa.

Ajukan Gugatan Sengketa Informasi ke KIP

Memahami situasi tersebut, Auriga Nusantara, memutuskan untuk melibatkan diri pada upaya konservasi spesies ini ke depan. Langkah awal yang dilakukan adalah analisis populasi berikut potensi ancamannya, yang pada tahap ini tentu saja dengan menggunakan data sekunder yang tersedia. 

Pada 6 Januari 2023. Auriga Nusantara mengajukan permintaan data untuk kepentingan analisis populasi dan potensi ancaman badak jawa, bersurat kepada Taman Nasional Ujung Kulon dengan nomor 2301.11/AURIGA-II/INDA/2023.

Auriga meminta beberapa data: Pertama, rekaman kamera-jebak sejak 2010 hingga 2022. Rekaman ini, diharapkan selain berupa klip yang memperlihatkan seluruh rekaman satwa maupun manusia yang terekam, juga memberi informasi titik dan waktu setiap rekaman. Kedua, salinan laporan populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon sejak 2010.

Ketiga, catatan, risalah, laporan kematian badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon sejak 1980. Keempat, catatan, laporan mengenai pencarian dan pembangunan habitat kedua perluasan badak jawa. Kelima, catatan/Risalah/Laporan mengenai Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA). Keenam, anggaran yang dialokasikan, baik jumlah maupun kegiatan, bagi teknis konservasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon tahun demi tahun sejak 2000.

Pada 31 Januari 2023. Melalui surat elektronik, Auriga menerima balasan dari Balai Taman Nasional Ujung Kulon dengan nomor S.134/T.12/TU/PPKHWA/1/2023 terhadap surat sebelumnya (Nomor 2301.11/AURIGA-II/INDA/2023), namun tidak mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan. 

Auriga menghargai pendapat keputusan Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) sebagaimana disebut melalui tiga butir dalam surat tersebut, terutama argumen data tersebut sebagai “dokumen negara”.

Namun demikian, Auriga keberatan dengan keputusan tersebut, dan kembali mengirim surat dengan nomor 2302.11/AURIGA-III/INDA/2023 pada 2 Februari 2023 kepada Balai Taman Nasional ujung Kulon dengan alasan, pertama, informasi dan/atau data yang Auriga minta tersebut berada dan terdapat di Balai Taman Nasional Ujung Kulon.

Kedua, bahwa informasi dan/atau data yang Auriga minta, meskipun dikategorikan sebagai dokumen negara, bukanlah informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Ketiga, baik UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya maupun UU Kehutanan, dan berbagai regulasi terkait lainnya membuka ruang dan menjamin keterlibatan publik dalam upaya-upaya pelestarian hutan dan atau ekosistem dan/atau spesies di Indonesia.

Berdasarkan alasan di atas, Auriga mengajukan gugatan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP) dengan Akta Registrasi Sengketa 023/REG-PSI/III/2023 pada 30 Maret 2023. 

“Kami kecewa sebagai publik yang memerlukan data dan informasi dari Balai Taman Nasional Ujung Kulon, namun tidak dilayani dengan baik sebagaimana diatur Pasal 17 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008,” katanya.