Pusaka Ajukan Permohonan Intervensi dalam Gugatan Suku Awyu

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Jumat, 14 April 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengajukan Permohonan Intervensi sebagai pihak ketiga, kepada majelis hakim Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, dalam perkara Nomor 6/G/LH/2023/PTUN.JPR, pada Rabu, 12 April 2023. Perkara tersebut mengenai gugatan masyarakat adat Awyu di Boven Digoel, terhadap Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua.

Gugatan ini muncul lantaran Kepala DPMPTSP Papua menerbitkan Surat Keputusan Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit seluas 36.094,4 hektare ke PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua--kini Provinsi Papua Selatan.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat sebagai Pemohon Intervensi memohon menjadi pihak ketiga atau intervensi dengan kemauan sendiri untuk mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya agar Pemohon Intervensi tidak dirugikan oleh sebuah putusan pengadilan, hal ini telah diatur dalam Pasal 83 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara.

Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante mengatakan, Permohonan Intervensi ini didasarkan atas misi kepentingan dan tujuan untuk mengupayakan dan memperjuangkan pemenuhan hak-hak dasar rakyat, hak atas tanah dan kekayaan alam lainnya.

Pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu, Hendrikus ‘Franky’ Woro, mengajukan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, pada Senin (13/3/2023). Foto: Gusti Tanati/Greenpeace

"Hak atas lingkungan hidup, adanya pengakuan dan perlindungan atas keberadaan dan hak-hak masyarakat adat dan kelompok masyarakat miskin. Adanya jaminan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan,” kata Franky, dalam keterangan tertulis, Kamis (13/4/2023).

Franky menguraikan, Negara mengakui penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat. Selain itu, juga belum sepenuhnya mendukung terwujud penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.

Pengakuan ini tertuang dalam ketentuan menimbang Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, huruf f. Negara sebagai pemangku HAM (duty bearer) mempunyai kewajiban untuk menjamin pelaksanaan, pemajuan dan pemenuhan HAM di Tanah Papua dan wilayah lainnya. Negara wajib menghormati (to respect), melindungi (to fulfill) dan memenuhi (to protect) Hak Asasi Manusia, termasuk di dalamnya hak-hak masyarakat adat.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat berpandangan, gugatan Hendrikus Woro, Pembela Hak Masyarakat Adat dan Lingkungan Hidup dari masyarakat adat Awyu di Boven Digoel, terhadap Keputusan Kepala DPMPTSP Provinsi Papua yang menerbitkan Surat Keputusan Nomor 82 Tahun 2021, merupakan bagian dari upaya menuntut pemulihan hak atas tindakan negara yang abai menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.

Anggota Kuasa Hukum Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, Emanuel Gobay menjelaskan, dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, kedudukan organisasi lingkungan hidup mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana telah diatur dalam Pasal 92 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dimana organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup,” jelas Emanuel Gobay, yang juga sebagai Direktur LBH Papua.

Permohonan intervensi yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup, telah terdapat berbagai preseden di dalam Putusan Perkara Nomor 75 /G.TUN/2003/PTUN-JKT/INTV, 4 organisasi lingkungan hidup, yakni Walhi, ICEL, APHI, dan PBHI, dapat diterima sebagai pihak intervensi dalam perkara reklamasi dan revitalisasi Pantura Jakarta.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat telah mendampingi masyarakat adat Awyu di Kampung Yare, Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, untuk advokasi melindungi, mengamankan dan mengelola hutan adat secara adil dan berkelanjutan.

Salah satunya mendokumentasikan pengetahuan tenurial dan pemetaan wilayah adat, dan merencanakan upaya pengakuan hak atas tanah dan hutan adat oleh marga-marga setempat. Masyarakat adat Awyu telah menunjukkan kemampuan dan pengetahuan mereka mengelola hutan adat secara berkelanjutan.

Terbitnya izin kelayakan lingkungan PT Indo Asiana Lestari akan melanggar hak hidup dan hak atas lingkungan hidup, bahwa tempat penting dan sakral dan temuan keanekaragaman biodirversity terancam hilang akibat keberadaan izin.

Hal ini merugikan kepentingan dari pemohon intervensi yang saat ini bersama-sama penggugat dan masyarakat adat lainnya yang sedang mempersiapkan syarat pengakuan hutan adat guna perlindungan sumber daya dan lingkungan.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat memohon agar Majelis Hakim PTUN Jayapura yang memeriksa dan mengadili Perkara ini berkenan untuk memberikan Putusan sebagai berikut:

  1. Menerima dan mengabulkan permohonan intervensi yang diajukan oleh Pemohon Intervensi untuk seluruhnya.
  2. Menyatakan secara hukum Pemohon Intervensi merupakan pihak ketiga yang memiliki kepentingan hukum dalam Perkara Nomor 6/G/LH/2023/PTUN.JPR di PTUN Jayapura.
  3. Menerima Pemohon Intervensi sebagai pihak Penggugat Intervensi di dalam Perkara Nomor 6/G/LH/2023/PTUN.JPR di PTUN Jayapura.