Walhi: Pengampunan Kejahatan Kehutanan Melaju di Tahun Politik

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Selasa, 18 April 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai pengampunan yang diberikan pemerintah terhadap kejahatan kehutanan, melalui Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, dinilai semakin kencang di tahun politik. Walhi menilai penerapan Pasal 110A dan Pasal 110B UU Cipta Kerja menjadi ruang transaksional di tahun politik.

Pada Maret 2023 lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) merilis Surat Keputusan (SK) No: SK.196/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2023) tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di Dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan Tahap XI. Dalam SK Tahap XI ini teridentifikasi 890 subjek hukum, yang didominasi oleh korporasi sawit sebanyak 531 unit, korporasi pertambangan 175 unit dan selebihnya adalah individu, koperasi, dan kelompok tani.

Sebelumnya, SK 1-7 yang diterbitkan oleh Menteri LHK mengidentifikasi sebanyak 1.192 Subjek hukum. 616 di antaranya merupakan korporasi sawit, 130 unit korporasi pertambangan. Selebihnya 241 subjek hukum individu dan kelompok dengan aktivitas perkebunan sawit, dan 205 unit kegiatan lainnya.

Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian mengatakan, sesuai mandat Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja, penyelesaian pengampunan pelaku kejahatan kehutanan ini harus diselesaikan sebelum 2 November 2023. Menurutnya, batas tenggang waktu ini bukan tanpa konteks yang jelas.

Perkebunan sawit PT BAP di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, teridentifikasi berada di dalam kawasan hutan./Foto: Auriga Nusantara

Dalam tahapan pemilu, 19 Oktober 2023 hingga 25 November 2023 adalah masa waktu pendaftaran presiden dan calon wakil presiden, gubernur dan calon wakil gubernur, serta bupati dan calon wakil bupati. Maka setidaknya awal November konsolidasi kepentingan antara, partai-partai politik dan pemberi biaya sudah harus selesai. Hal ini diperkuat dengan proses yang begitu tertutup oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Sehingga tidak berlebihan, jika kita sebut 110 A dan 110 B ini merupakan ruang transaksional yang sengaja dibuat untuk mempertemukan kepentingan korporasi dan para elit di tahun politik. Korporasi dapat pengampunan, para elit dapat ongkos politik,” kara Uli, dalam keterangan pers, Jumat (14/4/2023).

Uli melanjutkan, subjek hukum selain korporasi juga patut diperiksa lebih jauh. Sebab, dalam SK diidentifikasi banyak individu yang memiliki kebun sawit di hutan dengan luasan di atas 25 hektare. Khususnya pada SK 11, teridentifikasi sebanyak 31 individu yang memiliki kebun sawit di atas 25 hektare. Selain individu, kelompok tani dengan komoditas sawit juga rentan dijadikan modus oleh korporasi untuk bisa mendapatkan pengampunan.

"Fakta-fakta yang sering ditemui di lapangan, korporasi membentuk kelompok plasma yang anggotanya merupakan karyawan-karyawan perusahaannya, ataupun beberapa kelompok masyarakat, untuk bisa mendapatkan akses legal di Kawasan hutan,” ujar Uli.

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019 tentang Penetapan Luas Tutupan Kelapa Sawit Indonesia memperlihatkan bahwa Riau merupakan provinsi yang memiliki luas perkebunan kelapa sawit paling luas di Indonesia. Menurut data itu, luas kebun kelapa sawit di Indonesia 16,36 juta hektare, dan sekitar 3,39 juta hektare atau setara 20,08% luas kebun kelapa sawit di Indonesia itu berada di Provinsi Riau.

Namun data Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera (P3ES) pada 2020 mencatat luas kebun kelapa sawit di Riau jauh lebih luas. P3ES mengungkapkan, luas kebun kelapa sawit di Riau 4,17 juta hektare. Berdasarkan kedua data tersebut, tidak mengherankan apabila kelapa sawit merupakan komoditi yang paling luas menggunakan lahan di Riau, setara dengan 47,92% luas daratan Riau.

Data P3ES juga mengidentifikasi (2020), dari 1,89 juta hektare sawit di kawasan hutan, 308 ribu hektare diidentifikasi milik korporasi, 50 ribu hektare milik masyarakat dan 1,53 juta hektare belum teridentifikasi.

Sedangkan olah data jumlah subjek hukum yang mengajukan penyelesaian keterlanjuran di kawasan hutan di Provinsi Riau dalam SK MenLHK Tahap I-VIII menyebut terdapat 442 subjek hukum dengan luas 33.003 hektare yang mengajukan proses pemutihan perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan hutan.

Direktur Eksekutif Walhi Riau Even Sembiring mengatakan, skema Pasal 110A dan 110B berpotensi mengoreksi 1,89 juta hektare kawasan hutan Riau yang telah dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit menjadi areal penggunaan lain. Satu sisi kebijakan ini akan membantu legalitas wilayah kelola petani sawit skala kecil yang berada di kawasan hutan, di sisi lain kebijakan ini akan semakin memperkuat insentif negara kepada korporasi. Bahkan luas penguasaan ruangnya jauh lebih signifikan.

“Di tengah tahun politik ini, Menteri LHK sebaiknya menaruh fokus untuk memproses dan memfasilitasi usulan-usulan wilayah kelola rakyat hingga memperoleh legalitas. Baik dari usulan perhutanan sosial maupun pelepasan kawasan hutan," kata Even.

Sedangkan untuk proses usulan atau hasil identifikasi pekebun skala besar dan perusahaan, lanjut Even, harus dilakukan lebih ketat dan selektif. Harus disusun safe guard yang memperhatikan kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, aspek sosial seperti konflik dalam proses alih fungsi tersebut hingga riwayat pelanggaran lain, seperti karhutla, pencemaran dan lainnya.

"Belum lagi, masih terdapat proses hukum yang sedang menguji legalitas formil pengesahan Perppu Cipta Kerja. Sehingga hal-hal yang memperlebar jurang ketimpangan penguasaan ruang tepat untuk dihentikan terlebih dahulu,” imbuh Even.

Dalam konteks Kalimantan Tengah, sebagian besar kawasan hutan yang telah dikuasai ilegal oleh korporasi-korporasi ini berada di atas kawasan hutan penyangga dan juga berada di atas kawasan ekosistem penting seperti kawasan hidrologis gambut. Pelepasan kawasan hutan besar-besaran melalui kebijakan ini akan memperbesar dan semakin memperparah krisis ekologis di Kalimantan Tengah. Dampaknya kejadian bencana ekologis akan semakin sering terjadi seperti banjir dan kekeringan ekstrim.

Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah, Bayu Herinata berpendapat, pengampunan yang dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan ini sangat jauh dari upaya perbaikan tata kelola perkebunan yang diharapkan, khususnya penyelamatan dan upaya pemulihan ekosistem penting hutan alam dan gambut.

“Pemerintah harus mengevaluasi lagi kebijakan terkait sanksi yang akan diberikan kepada perusahaan atau pihak yg teridentifikasi melanggar dalam SK SK yang telah dikeluarkan, bukan hanya sanksi administrasi dan pembayaran denda yang dijatuhkan. Tapi upaya pemulihan dan penyelamatan ekosistem penting hutan dan gambut harus menjadi target utama penyelesaian aktivitas di atas kawasan hutan,” terang Bayu.

Berdasarkan informasi yang dapat diakses melalui RDPU Komisi IV dan KLHK, seluas 87 ribu hektare kawasan hutan telah dilepaskan untuk 24 perusahaan. Pelepasan kawasan hutan ini dilakukan sejak Mei 2021 hingga Juli 2022 lalu dan mencakup wilayah Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.

KLHK mengklaim telah menyelesaikan proses pengampunan kepada 57 subjek hukum dan melepaskan kawasan hutan. Belum diketahui perusahaan apa saja yang mendapatkan pengampunan dan berapa luasannya.