Walhi Kalteng Kembali Desak Penghentian Food Estate

Penulis : Sandy Indra Pratama

Food Estate

Jumat, 28 April 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah kembali mendesak pemerintah menghentikan proyek food estate. Menurut organisasi lingkungan itu, Food Estate tidak menjawab kebutuhan dan tantangan pemenuhan pangan masyarakat. Proyek tersebut justru memperparah krisis ekologis di Kalteng karena dapat mengubah fungsi ekosistem hutan dan gambut menjadi lahan pertanian monokultur.

Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata mengatakan sebelum dilaksanakannya proyek food estate di Kalimantan Tengah, Walhi Kalteng bersama dengan ratusan organisasi masyarakat sipil dan individu telah menyatakan sikap menolak terhadap proyek ini. Koalisi menilai pemerintah tidak belajar dari kegagalan masa lalu terkait proyek pengembangan pangan tanpa dasar hukum dan aturan yang jelas serta perencanaan proyek dan kajian terkait dampak lingkungan ataupun kesesuaian lahan.

“Sejak awal pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan proyek food estate masih sangat minim, bahkan bisa dibilang hampir tidak ada. Baik perencanaan maupun implementasinya. Sangat terkesan hanya sebatas proyek yang dijalankan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk menyerap anggaran negara tanpa memastikan aspek keberlanjutan untuk pemenuhan pangan, apalagi untuk lingkungan,” kata Bayu Herinata baru-baru ini seperti dikutip dari kantor berita prokal.co.

Setelah tiga tahun berjalan, proyek food estate ini tidak menjawab sama sekali tantangan dan kebutuhan petani di Kalimantan Tengah. Terutama para peladang semenjak adanya larangan membakar. Masyarakat dibuat kebingungan terhadap proyek strategis nasional (PSN) yang dijalankan oleh Presiden Jokowi dengan alasan ancaman krisis pangan akibat Covid 19 yang melanda dunia.

Spanduk Food Estate Feeding Climate Crisis! dibentangkan di atas lahan food estate di Kalteng. Foto: Greenpeace Indonesia

“Setelah 3 tahun proyek ini tidak berjalan maksimal dan lebih banyak masalah yang terjadi, hal ini akibat dari perencanaan yang tidak matang dan tidak menggunakan kajian-kajian penting seperti kajian lingkungan hidup dan yang lainnya” tegas Bayu. Dalam memperingati momentum Hari Bumi yang jatuh pada 22 April 2023, Walhi Kalteng melakukan aksi di lokasi food estate lahan ekstensifikasi di Desa Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas. Aksi itu untuk mendesak pemerintah agar segera menghentikan proyek food estate.

“Proyek ini harus segera dihentikan, baik yang masih terencana dan yang sudah berjalan khususnya kegiatan ekstensifikasi atau pembangunan lahan sawah baru, serta melakukan evaluasi kepada semua pihak yang telah terlibat dalam pelaksanaan proyek food estate ini,” ujarnya. Sejak berjalannya proyek ini, ada banyak kendala yang dihadapi petani dilahan intensifikasi dan khususnya petani lahan ekstensifikasi di Desa Mantangai Hulu.

“Pemerintah harus betul-betul memperhatikan masyarakat petani lokal, yang memang berprofesi sebagai petani ladang, agar lahan food estate ini bisa memberi manfaat buat masyarakat,” ujar Norhadi, petani lokal Desa Mantangai Hulu. “Pemerintah jangan hanya memandang sebelah mata, perlakukanlah dengan baik masyarakat petani ladang, layaknya pemerintah memperhatikan petani-petani transmigrasi. Beri bantuan hingga lahan ini bisa maksimal, dan sudah bisa diproduksi, artinya lahan sudah siap,” tambahnya.

Menurutnya, bantuan yang diberikan kepada petani pun sudah tidak layak untuk ditanam lagi, karena bantuan seperti bibit, racun, kapur itu datang sebelum lahan dibuka. Selama proses pembukaan lahan, bantuan bibit menjadi kedaluwarsa atau tidak layak untuk ditanam dan kapur banyak yang hancur akibat terlalu lama dibiarkan. Ditambah lagi setelah pembukaan lahan selesai, lahan tersebut tidak siap untuk dikelola akibat masih banyak tumpukan kayu di tengah lahan.

Singkong Pahit di Food Estate Kalteng

Tahun lalu ditulis betahita, Walhi Kalimantan Tengah (Simpul Jaringan Pantau Gambut Kalimantan Tengah) melakukan pengamatan di lima desa wilayah pengembangan Food Estate Kalteng setelah proyek ketahanan pangan pemerintah itu berjalan selama dua tahun. Gagal panen membayangi program ini, penyebabnya ketidakcocokan karakteristik tanah dengan jenis tanaman yang ditetapkan pemerintah.

Lima Desa itu adalah Tewai Baru, Desa Lamunti, Desa Talekung Punei, Desa Pilang, dan Desa Henda.

Sekitar 300 hektar tanah berpasir sudah ditanami singkong sejak satu tahun 2021 di Desa Tewai Baru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas, Padahal tanah dengan karakteristik berpasir kurang memadai untuk mendukung upaya bercocok tanam.

Panenan singkong milik warga pun tidak sesuai harapan. Selain ukurannya kerdil, umbi singkong yang dihasilkan juga berasa pahit.

“Sebuah penelitian menyebutkan rasa pahit pada singkong mengindikasikan adanya kandungan sianida yang tinggi dan berbahaya bagi tubuh manusia. Dengan adanya kandungan sianida yang ada di dalamnya, singkong jenis ini memerlukan proses pengolahan yang lebih panjang untuk bisa dikonsumsi,” ucap Pengakampanye Wahyu A Perdana.

Kegagalan juga terjadi di Desa Lamunti, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, yang mendapat instruksi untuk menanam padi. Karakteristik tanah gambut tipis di desa itu membuat hasil panen padi yang diujicobakan tak memenuhi target produksi skala besar. Panen hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para petani penggarap.

“Jenis padi yang diberikan pemerintah nggak cocok dengan karakter tanah kami, jadi padi tidak dapat tumbuh baik dan menyebabkan hasil panennya rendah” ujar Sio Gatak (63) yang merupakan Ketua Poktan di Desa Lamunti, seperti dikutip dari hasil pemantauan Walhi Kalteng.

Bantuan pemerintah yang setengah-setengah juga menjadi alasan gagal panen program Food Estate. Masyarakat yang mengajukan pembangunan dan pendampingan penggunaan teknologi pengairan justru sering tidak mendapat respons pemerintah.

Padahal, saluran irigasi penting untuk membantu petani mengelola sistem pengairan lahan, terutama untuk mengalirkan air keluar saat lahan tenggelam. Pasalnya, lahan yang tenggelam membuat tanaman padi jadi rusak atau bahkan mati.

Sementara di Desa Henda, Kecamatan Jabiren Raya, Pulang Pisau, bantuan pemerintah berupa pipa buka tutup air untuk mengatur sistem pengairan di lahan masyarakat tidak disertai dengan sosialisasi cara penggunaannya. Petani merasa alat yang dihibahkan terlalu canggih untuk digunakan, sehingga pipa tidak digunakan dan bantuan menjadi sia-sia.

Di Desa Pilang, di kecamatan yang sama dengan Desa Henda, pemerintah memberikan benih dan kapur saat lahan belum benar-benar siap ditanami. Sementara lahan disiapkan, bibit dan kapur pun harus disimpan dalam waktu yang cukup lama. Masyarakat pun akhirnya harus membeli sendiri bibit padi yang baru untuk ditanam.

Sedangkan bantuan kapur bahkan tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal karena penggarapan lahan yang dilakukan oleh kelompok TNI tidak benar- benar bersih. Mereka hanya menumbangkan pohon dan menyisakan batang kayu hingga akar pohon.

Wahyu menyebutkan kesalahan pemerintah di proyek ini menunjukkan serampangnya pemerintah dalam melakukan kajian pelaksanaan Food Estate. Alhasil, ekosistem, terutama gambut, yang sudah rusak tidak akan bisa dikembalikan seperti sedia kala, atau paling tidak membutuhkan waktu yang sangat lama.