Walhi Nilai Pemerintah Abai pada Perubahan Iklim di NTB

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Perubahan Iklim

Kamis, 04 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sebuah aksi digelar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Barat (NTB) di tengah laut Pantai Sire, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, untuk memperingati Hari Bumi, Minggu (30/4/2023). Dalam aksi yang digelar di dekat Gili Lombok Utara Air, Meno dan Gili Trawangan ini, Walhi NTB menyoroti sikap pemerintah yang dinilai masih abai terhadap perubahan iklim yang sudah terjadi di NTB.

"Kami sengaja aksi di dekat tiga Gili Lombok sebagai warning kita yang sudah mendekati tahun politik. Ada beberapa hal yang coba kami angkat secara umum bahwa perubahan iklim di belahan Dunia juga terjadi di NTB," kata Amri Nuryadin, Direktur Eksekutif Walhi NTB, Minggu (30/4/2023) dikutip dari Detik.

Melansir dari Detik, melalui aksi tersebut Walhi NTB menyampaikan kritik kebijakan pemerintah yang abai terhadap perubahan iklim yang terjadi di NTB. Karena menurut Amri, dalam beberapa tahun terakhir NTB mengalami perubahan iklim dan terus terjadi.

"Banyak investasi pembangunan di NTB mulai masuk. Ini memperparah proses perubahan iklim. Ini sudah memasuki tahun politik tapi tidak ada satu pun pemerintah yang berbicara soal perubahan iklim di NTB."

Walhi NTB aksi di tengah laut Pantai Sire Kecamatan Pemenang Lombok Utara untuk peringati Hari Bumi, Minggu (30/4/2023). Foto: Ahmad Viqi/detikBali.

Aksi Walhi NTB ini juga digelar sebagai bentuk kampanye penyelamatan daerah pesisir di NTB. Sebab NTB memiliki 403 pulau kecil yang harus dilindungi dan dijaga kelestariannya.

"Pulau-pulau kecil kita ini berpotensi tenggelam jika kami tidak melakukan aksi untuk menahan laju perubahan iklim. Sehingga pemenang segera membuat aturan yang mampu melindungi daerah pesisir karena perubahan iklim yang terjadi saat ini," katanya.

Ada empat poin penting yang Walhi NTB bersama sejumlah lembaga pemerhati lingkungan hidup di Lombok Utara. Pertama soal tingginya laju perubahan iklim. Kedua tentang maraknya pembangunan pariwisata dan sektor pertambangan di NTB.

"Ada banyak pertambangan dan sektor pariwisata yang kita saksikan memiliki andil merusak lingkungan. Ada rencana penambangan oleh PT STM di Dompu, PT AMNT di Sumbawa Barat, dan AMG di Lombok Timur yang sudah jelas-jelas masuk ranah pidana," ungkap Amri.

Poin ketiga, mengenai laju kerusakan hutan yang cukup di NTB. Menurut Amri, pembangunan berkedok pariwisata dengan merusak kawasan hutan di NTB, seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika yang dianggap menyebabkan hutan gundul di Kuta dan rencana pembangunan Kereta Gantung di Rinjani di Lombok Tengah.

"Baru-baru ini perusahaan muncul PT Bumbang Citra Nusa di Desa Mertak. Di sana ada 50 KK nelayan yang akan diusir dari kampungnya. Kita belum berbicara soal KEK Mandalika," ujar Amri.

Poin keempat, kelompok masyarakat sipil itu menyoal tentang investasi bebas kawasan hutan. Dalam hal ini rencana pemerintah NTB meraih zero emisi 2050 sangat berbanding terbalik dengan kondisi riil kini. Penggunaan batu bara di tujuh PLTU di NTB sangat tidak relevan dengan rencana pemerintah.

"Artinya ini sebagai warning kita untuk menyelamatkan bumi ini. Karena kita tahu selama tahun 2023 ini sudah 58 bencana dalam empat bulan di NTB. Ada banjir longsor dan bencana ekologi lainnya."

Amri juga meminta pemerintah lebih serius dalam melihat dampak dari kerusakan lingkungan karena maraknya alih fungsi lahan di NTB. Amri menyebut 50 persen hutan di NTB mengalami kerusakan. Namun belum ada konsepsi tata kelola pencanangan kawasan hutan yang dibuat pemerintah.

"Di NTB sendiri ada IUP yang menelan 200 ribu hektare lahan hutan kita. Inilah yang kami evaluasi pembangunan yang dilakukan Pemerintah NTB saat ini."

Amri bilang, semua investasi yang masuk NTB harus memiliki daya dukung dan daya tampung perlindungan lingkungan hidup kawasan. Baik di kawasan hutan dan pesisir.

"Jadi ada 403 pulau-pulau kecil yang tersebar di NTB. Ini harus kita selamatkan," tutup Amri.