Puluhan Dugaan Pelanggaran HAM Terjadi Sejak Protes DOB Papua

Penulis : Aryo Bhawono

HAM

Kamis, 04 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Sebanyak 26 kasus dugaan pelanggaran HAM terjadi di Papua semenjak penolakan pembentukan daerah otonomi baru (DOB) Papua. Buruknya penanganan krisis kemanusiaan di wilayah paling timur Indonesia itu pun menimbulkan masalah pengungsian yang hingga kini tak terselesaikan. 

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (Pusaka) menyebutkan 26 kasus dugaan pelanggaran HAM merebak di berbagai daerah Papua ketika penolakan pembentukan daerah otonomi baru (DOB) Papua. Beberapa daerah tersebut antara lain Jayapura, Nabire, Merauke, Wamena, Jayawijaya, Manokwari, Kaimana dan Sorong. 

Aksi penolakan ini merupakan protes atas pembahasan pemekaran Papua oleh pemerintah dan DPR pada medio Juni 2022 lalu. Namun polisi dan tentara justru menghadapi dengan pembubaran, kekerasan, penangkapan dan kriminalisasi.

Laporan Pusaka berjudul “Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran” mendokumentasikan pelanggaran HAM berbasis peristiwa di Papua sepanjang tahun 2022. Mereka menyebutkan penggunaan kekuatan oleh kepolisian dalam menghadapi kebebasan berpendapat telah menimbulkan korban. 

Demonstrasi menolak DOB Papua mendapat penjagaan ketat oleh aparat keamanan, sebelum dibubarkan di Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua pada Selasa (10/05/2022).(KOMPAS.COM/Roberthus Yewen)

Pusaka mencatat tiga korban meninggal dan 72 orang luka-luka, 361 orang ditangkap sewenang-wenang, 26 orang ditangkap dan menjalani proses hukum, diantaranya 18 orang dikenakan pasal makar dengan ancaman penjara seumur hidup.

“Pelanggaran HAM, hak atas kebebasan berekspresi paling serius dan berulang-ulang terjadi di Papua pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Penggembosan dan pemenjaraan terhadap hak kebebasan berekspresi akan beresiko merampas hak hidup, tidak demokratis, penguasa menjadi paling benar”, jelas Direktur Pusaka, Franky Samperante, dalam acara peluncuran laporan “Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran” di Jakarta pada Rabu (3/5/2023). 

Ia menyebutkan tindakan represif ini melanggar UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, Peraturan Kapolri No 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. 

Tindakan ini pun jauh dari komitmen Presiden Jokowi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM dan Dialog Damai. Pendekatan keamanan dan operasi militer dalam penanganan konflik bersenjata yang saat ini diterapkan justru menimbulkan hilangnya hak hidup, hak atas rasa aman damai, hak atas kesejahteraan ekonomi.

Aktivis perempuan GARDA Papua, Esther Haluk, mengungkapkan aksi kekerasan yang dilakukan aparat ini memperparah krisis kemanusiaan di Papua. Korban kekerasan kian bertambah banyak.

Ia mengungkap sejak 2021 sendiri kekerasan bersenjata memaksa warga untuk mengungsi. Data Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menyebutkan hingga akhir Desember 2022 pengungsi dari enam wilayah konflik bersenjata, yakni Maybrat, Pegunungan Bintang, Nduga, Intan Jaya, Yahukimo dan Kabupaten Puncak setidaknya mencapai 60.642 menjadi pengungsi dengan 732 diantaranya meninggal dunia. 

Esther mengungkap pengungsi ini harus berhadapan dengan kondisi gizi buruk dan kekurangan asupan makanan. 

“Selama ini masalah pengungsi tidak pernah diselesaikan dengan baik. Bahkan akses memberi bantuan terhambat oleh aparat sendiri,” keluhnya.

Ironisnya, gelombang pengungsian ini berasal dari kawasan yang kaya sumber daya alam, seperti Blok Wabu. 

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyebutkan laporan Pusaka harus disampaikan ke pemerintah dan Komnas HAM sendiri untuk mendapat tindak lanjut. Ia mengaku krisis kemanusiaan dan dugaan pelanggaran HAM marak di Papua. Herannya pemerintah seolah abai dan terus melakukan pendekatan keamanan menghadapi permasalahan di Papua. 

“Selama ini pernyataan pemerintah seringkali berbeda soal penegakan HAM di Papua. Mereka bilang jalan damai tetapi pengiriman pasukan dan pendekatan keamanan yang dikedepankan,” ucap dia. 

Sementara Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, mengungkap selama ini sudah banyak operasi militer di Papua. Namun pendekatan ini tak pernah menyelesaikan permasalahan. Gelombang pengungsian yang tak mendapat perhatian dan kekerasan terhadap kebebasan berekspresi terus marak terjadi.