Perdagangan Karbon Dinilai Hanya Untungkan Penghasil Emisi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Polusi

Rabu, 10 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Rencana pemerintah untuk menerapkan perdagangan karbon (carbon trading) menuai kritik. Bursa karbon dinilai hanyalah solusi palsu atau bahkan sebagai kebohongan besar dalam membantu Indonesia mencapai target emisi sebesar 29 persen hingga 41 persen pada 2030 serta net zero emission (NZE) atau nol emisi pada 2060.

“Kita menyebutnya sebagai dangerous lies, atau kebohongan yang berbahaya karena dia tidak menyelesaikan persoalan, tapi hanya menimbulkan persoalan baru,” kata Iqbal Damanik, Forest Campaigner Greenpeace Indonesia, Minggu (7/5/2023), dikutip dari VOA Indonesia.

Dilansir dari VOA Indonesia, Iqbal berpendapat, perdagangan karbon hanya memberikan hak untuk berpolusi kepada perusahaan atau polutter yang hak berpolusinya sudah mencapai titik maksimal, kemudian bisa membeli “pulsa” dari perusahaan yang masih memiliki cadangan karbon untuk bisa dijual.

Menurut Iqbal, yang didorong seharusnya adalah penurunan produksi atau transisi dari energi kotor ke energi bersih, bukan hak untuk bersama-sama melakukan polusi. Ketimbang berdagang karbon antar-PLTU, yang justru akan memungkinkan menambah beban pada pengguna listrik, dari sisi harga misalnya.

Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bertenaga batu bara melepaskan emisi karbon dioksida, yang menjadi salah satu faktor terbesar pemanasan global saat ini. Foto: loe.org

“Karena si perusahaan ini beli karbon, dan akan menaikkan biaya produksi logikanya seperti itu. Ketika biaya produksinya naik maka daya beli konsumen akan naik terhadap suatu barang itu. Ketimbang kita menaikkan beban itu, kenapa tidak bertransisi saja?” ujar Iqbal.

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sebelumnya mengatakan pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengatur mekanisme perdagangan karbon melalui bursa karbon. Perdagangan karbon ini akan bersifat terbuka bagi semua pelaku usaha, tetapi harus terlebih dahulu melakukan registrasi lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Selain itu, pemerintah akan mengatur tata kelola penataan perizinan bagi perusahaan yang memiliki izin konsesi seperti hutan lindung dan konservasi.

Indonesia, diperkirakan memiliki potensi pasar karbon cukup besar yang ditaksir bisa mencapai Rp8.000 triliun. Hal ini karena luasnya hutan, yang mana hutan dianggap mempunyai karbon yang tersimpan.

Terkait dengan hutan yang luas tersebut, Iqbal mengatakan, perdagangan karbon juga berpotensi menimbulkan konflik lain yakni dengan masyarakat adat, dan masyarakat yang tinggal di pinggiran hutan yang sudah sejak lama menjaga hutan. Karena masyarakat nantinya akan terusir oleh perusahaan-perusahaan yang diberi izin konsesi oleh pemerintah dengan atas nama menjaga hutan.

“Di beberapa negara seperti di Kongo, itu bahkan ada perpindahan massal dari wilayah hutan untuk carbon trading, makanya disebut green grabbing. Jadi mengambil lahan kepada masyarakat adat atas nama hijau,” terang Iqbal.

Sedangkan Indonesia, lanjut Iqbal, pengakuan hak masyarakat adat belum sepenuhnya ada. Imbasnya, aktivitas perdagangan karbon akan berpotensi menimbulkan konflik, karena akan menambah konflik antara masyarakat adat atau masyarakat yang tinggal di wilayah hutan dengan pengguna perdagangan karbon.

“Bedanya kalau dulu (disebut) perusak hutan sekarang menjadi menjaga hutan, tetapi hutan kan bukan wilayah kosong, ketika mereka menganggap menjaga hutan ada nilai uangnya, ada nilai ekonomi, nilainya kepada siapa, ya kepada perusahaan, bukan kembali kepada masyarakat adat,” katanya.

Untuk itu, Iqbal menegaskan perlunya diperjelas nilai kemanfaatan ekonomi.

Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan, mekanisme perdagangan karbon tidak bisa berdiri sendiri. Bhima bilang, keberadaan bursa karbon harus disertai dengan pemberlakuan pajak karbon, sehingga akan ada usaha dari si perusahaan yang menghasilkan polusi tinggi untuk pelan-pelan melakukan transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan.

“Di mana-mana di banyak negara, bursa karbon hidup juga karena ada efektivitas dari pajak karbon. Jadi artinya ada reward and punishment, beli kredit karbon boleh, tapi kalau si perusahaan itu masih tetap polusinya tinggi maka pengenaan pajak karbonnya juga tinggi. Ini satu paket yang tidak bisa terpisah,” jelas Bhima.

Selain itu, imbuh Bhima, meskipun Indonesia memiliki potensi besar dari perdagangan karbon, tetapi pemerintah harus memperhatikan pelibatan dari semua pihak yang terkait dalam ekosistem ini, agar tercipta pasar yang seimbang.

Bhima melanjutkan, yang harusnya dikhawatirkan dari bursa karbon yang memiliki potensi besar itu adalah pelibatan dari perusahaan di dalam negeri untuk membeli kredit karbon masih kecil.

“Kedua dari sisi mereka yang memiliki kredit karbon, artinya perusahaan-perusahaan yang ramah lingkungan termasuk yang punya konservasi lingkungan, masyarakat adat, koperasi, itu juga harus lebih banyak disosialisasikan dulu. Bagaimana mereka bisa terlibat dalam ekosistem, karena nanti bisa jadi timpang,” kata Bhima.

Oleh karena itu, masih kata Bhima, selain mengatur mekanisme atau peraturan dan tata kelola dalam perdagangan karbon, pajak karbon juga harus segera direalisasikan.

“Padahal pajak karbon sudah ada payung hukumnya. Jadi jalannya mustinya berbarengan, karena kalau enggak khawatir akan jadi green washing. Jadi perusahaan polutan, mengklaim bahwa ya emisi kita sudah kecil karena kita beli kredit karbon yang lain. Nah itu harus diimbangi dengan pajak karbon tadi, implementasinya harus cepat,” pungkasnya.