Aktivis Iklim Indonesia Minta G7 Hentikan Solusi Palsu Iklim

Penulis : Aryo Bhawono

Energi

Kamis, 25 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Para aktivis iklim Indonesia menuntut negara maju menghentikan solusi palsu transisi energi. Skema pendanaan melalui JETP, AZEC, atau lainnya ditengarai masih membiayai energi fosil. 

Team Lead 350 Indonesia, Sisila Nurmala Dewi, mengungkapkan negara-negara G7 sudah seharusnya menyetop solusi palsu transisi energi dalam skema pendanaan transisi energi dalam bentuk apapun seperti JETP, AZEC atau lainnya di Indonesia. Solusi palsu bakal menyebabkan mandeknya transisi energi di Indonesia. 

JETP (Just energy Transition Partnership) adalah kesepakatan Kemitraan Transisi Energi Adil antara Uni Eropa beserta mitra internasional dengan Indonesia yang tercipta dalam KTT G20 di Bali pada 15-16 November 2022. Sedangkan AZEC (Asia Zero Emission Community) adalah inisiasi yang dilahirkan Indonesia dan Jepang pada KTT G20 14 November 2022. Inisiatif AZEC didasari kedua negara meyakini bahwa Asia sebagai pusat pertumbuhan ekonomi global akan menjadi motor penggerak perekonomian dunia.

“Rakyat Indonesia harus memastikan skema pembiayaan JETP, AZEC dan lainnya benar-benar menuju transisi energi yang bersih, adil dan lestari terjadi. Pembiayaan solusi palsu akan menggagalkan cita-cita transisi energi di Indonesia dan memperparah krisis iklim” ucap dia.

Penampakan PLTU Suralaya di Cilegon, Banten dari udara. Sektor energi, seperti industri kelistrikan yang menggunakan batu bara serta pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (FOLU) merupakan sektor penyumbang emisi terbesar Indonesia. Dok Kasan Kurdi/Greenpeace

Para aktivis iklim di Indonesia menyayangkan lemahnya komitmen negara-negara G7 terhadap transisi energi yang adil. Kelemahan itu nampak pada berbagai pernyataan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida yang giat mempromosikan teknologi co-firing amonia dan hidrogen untuk membenarkan penggunaan berkelanjutan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas setelah tahun 2030.

Laporan terbaru menunjukkan anggota G7 masih mengucurkan pendanaan untuk energi fosil sebanyak 73 miliar dolar AS untuk periode 2020 dan 2022. Pendanaan ini lebih banyak 2.6 kali dibandingkan pendanaan energi terbarukan yang hanya mencapai 28.6 miliar dolar AS di periode yang sama. 

Juru Kampanye Trend Asia, Novita Indri, beranggapan data ini menunjukkan anggota G7 masih setengah hati untuk lepas dari penggunaan dan pendanaan energi fosil seperti gas.

“Contohnya pada usulan Kementerian ESDM agar pembangkit listrik berbahan LNG untuk menggantikan pembangkit listrik dari diesel untuk didanai oleh JETP harus ditolak oleh negara-negara G7 sebagai donornya. Negara-negara G7 harus memastikan Indonesia pada jalur energi terbarukan yang sebenarnya. Mengabulkan dan memberi nafas panjang pada energi fosil seperti usulan Kementerian ESDM untuk gasifikasi, co-firing, amonia atau hidrogen, artinya transisi energi menemui kegagalan,” tegas Novita.

Selain menghentikan solusi palsu, negara-negara G7 harus memperbesar komposisi hibah daripada utang dalam skema pendanaan transisi energi di Indonesia. Menurut Juru Kampanye Walhi Nasional, Abdul Ghofar, negara G7 sebagai negara maju memiliki rekam dan sejarah jejak karbon yang lebih besar daripada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Tak seharusnya mereka membuat jebakan utang baru kepada negara-negara berkembang atas nama pembiayaan transisi energi.

Saat ini untuk membayar utang luar negeri dari negara maju dan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan ADB (Asian Development Bank), pemerintah Indonesia masih bergantung pada corak produksi ekstraktif, 

“itu artinya kerusakan lingkungan dan pelepasan emisi karbon skala besar masih akan terus terjadi ” lanjut Ghofar.

Keselamatan anak-anak muda di seluruh dunia akan terancam jika mereka negara-negara kaya G7 memilih keputusan yang salah dan tidak sesuai sains. Jawaban sudah jelas, ucap Azka Wafi dari Enter Nusantara, kita harus segera menghentikan penggunaan fosil seperti batu bara, gas, minyak, nuklir atau solusi palsu lainnya. 

“Pilihan energi terbarukan sudah tersedia dan murah. Komitmen-komitmen penghentian batu bara di 2030 harus terjadi.” jelasnya.