Publik Mendesak Transparasi Pengelolaan Dana Iklim JETP

Penulis : Kennial Laia

Energi

Jumat, 26 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pendanaan transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP) di Indonesia dinilai belum jelas sehingga berpotensi merugikan publik. Sejumlah aktivis mencatat sejumlah persoalan, mulai dari transparansi hingga minimnya pelibatan masyarakat.

Bantuan pendanaan iklim JETP untuk Indonesia diumumkan pada perhelatan G20 November lalu. Pendanaan ini termasuk dalam bentuk kemitraan (hibah dan hutang), senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun. Pelaksanaannya berlangsung tiga hingga lima tahun ke depan. Sementara itu dananya bersumber dari negara maju yang tergabung dalam International Partners Group (IPG). 

Alexandra Aulianta, peneliti Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mengatakan menyebut transparansi sebagai salah satu persoalan mendasar JETP. “Sampai saat ini kita tidak mengetahui sejauh mana rencana investasi JETP yang sedang dipersiapkan pemerintah Indonesia,” kata Alexandra, Rabu, 24 Mei 2023. 

Aksi anak muda menuntut pemerintah agar menyetop penggunaan batu bara untuk menghadapi krisis iklim. Foto: Istimewa

“Persoalan berikutnya adalah dampak dari salah satu proyek JETP terkait penutupan pembangkit listrik batu bara terhadap buruh,” tambahnya. 

Menurut Alexandra, pengelolaan dana transisi energi masih belum jelas. Gelapnya pengelolaan dana transisi energi itu mencakup ketidakjelasan komitmen negara-negara donor hingga proyek-proyek yang akan didanai oleh skema JETP.

Di sisi lain, saat ini sumber energi dan kelistrikan di Indonesia masih bergantung pada batu bara. “Celakanya sektor batu bara didominasi oleh elit ekonomi yang dekat dengan lingkaran politik, baik di pemerintahan maupun oposisi. Sehingga sulit membuat kebijakan yang terkait dengan energi terbarukan,” terang Alexandra. 

Campaigner 350 Indonesia Suriadi Darmoko mengatakan, Sekretariat JETP telah diresmikan Februari lalu. Namun, program dan solusi untuk transisi energi yang disampaikan ke publik belum konkret. 

“Kesimpangsiuran terkait JETP bukan hanya datang dari negara-negara donor tapi juga dari Sekretariat JETP. Justru yang muncul di publik adalah wacana-wacana terkait solusi palsu transisi energi dari lingkaran pengambil kebijakan terkait JETP,” kata Suriadi. 

Menurut Suriadi, hingga saat ini Sekretariat JETP belum memiliki website yang bisa diakses publik. “Ini adalah preseden buruk bagi keterbukaan informasi publik. Tanpa ada keterbukaan informasi tidak akan ada partisipasi publik.”

Ketidakjelasan informasi terkait JETP itu, lanjut Suriadi Darmoko, menyebabkan potensi transisi energi dibajak kepentingan elite ekonomi-politik. “Rantai pasok energi transisi energi akan kembali dikuasai elite yang semula justru berbisnis energi fosil,” tegasnya.

Suriadi menambahkan, hingga saat ini pemerintah belum mengumumkan jumlah porsi dana dari JETP yang akan digunakan untuk membangun energi terbarukan di tingkat komunitas. 

Seiring dengan masih banyaknya persoalan yang melingkupi transisi energi dalam JETP tersebut, komunitas Climate Rangers Cirebon mendesak Sekretariat JETP untuk segera membuka informasi dan melibatkan publik dalam pengambilan kebijakannya.

“Seiring dengan berjalannya waktu, setelah terjadinya pertemuan G20 di Bali, banyak kejanggalan dan pertanyaan publik terkait pendanaan JETP,” kata Ahdi Aghni, koordinator Climate Rangers Cirebon. 

“Tapi hingga kini Sekretariat JETP justru seperti bekerja dalam ruang gelap, tidak ada keterbukaan informasi dan keterlibatan publik,” tambahnya. 

Komunitas Climate Rangers Cirebon telah membuat petisi kepada pemerintah dan Sekretariat JETP untuk membuka informasi dan melibatkan publik. Ahdi mengatakan, publik harus turut mendesak pengambil kebijakan untuk membuka informasi terkait JET. 

Petisi  tersebut dapat diakses di https://campaigns.350.org/p/BukaInfoJETP.