Qanun Aceh: Kolaborasi dalam Perlindungan Satwa Liar

Penulis : Gilang Helindro

Hukum

Jumat, 02 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HaKA) kerjasama dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan Pemerintah Aceh dalam rangka mendorong kesadaran masyarakat luas atas Fatwa MPU Aceh nomor 3 Tahun 2022 tentang perburuan dan perdagangan satwa liar menurut perspektif Islam.

Badrul Irfan, sekretaris Yayasan HAkA mengatakan kerjasama ini mengedepankan pendekatan keagaaman sesuai dengan kekhususan Aceh untuk menjaga dan melindungi satwa yang ada di Aceh.

“Harapannya pemahaman terhadap laranngan melakukan perburuan dan penjualan satwa liar, apalagi dilindungi terus dipahami masyarakat,” Katanya saat dihubungi Selasa 30 Mei 2023.

Aceh memiliki Peraturan Daerah Aceh atau Qanun Nomor 7 Tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh, dan Qanun Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Satwa Liar. Gubernur Aceh juga mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Aceh dengan Nomor 522.51/1519/2020 tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.51/1097/2015 tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar Aceh.

Barang bukti kulit dan bagian tubuh harimau yang diamankan dari tangan bekas Bupati Bener Meriah Ahmadi dan 2 tersangka lainnya, di Kabupaten Bener Meriah, Aceh./Foto: Balai Pengamanan dan Gakkum Wilayah Sumatera.

Badrul menjelaskan, pasca terbitnya Qanun nomor 11 tahun 2019 tentang Perlindungan Satwa Liar di Aceh ada banyak regulasi yang harus diturunkan.

“Ada regulasi yang harus diturunkan dari Qanun tersebut, bahkan terkait dengan dokumen Rencana Aksi pengelolaan satwa liar Aceh seharusnya sudah ada setahun setelah qanun ini disahkan,” katanya.

Kemudian, kata Badrul, salah satu kegiatan dengan pemasangan papan reklame di 6 kabupaten dan kota, guna mendorong masyarakat sekitar memahami dan mengetahui terkait larangan perburuan dan perdagangan satwa liar.

Disisi lain, Afifuddin, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, juga menilai penegakan hukum kasus perburuan dan perdagangan satwa lindung di Aceh masih lemah dan belum memaksimalkan setiap regulasi yang ada.

Afif mempertanyakan para aktor utama perdagangan satwa lindung yang selama ini jarang sekali tersentuh proses hukum. “Kita lihat tiga tahun terakhir, belum ada aktor yang terungkap jelas,” katanya.

Menurut data Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh dalam paparan publikasi hasil pemantauan penegakan hukum kasus perburuan dan perdagangan satwa liar di Aceh menyebut ada 13 kasus perdagangan dan kematian satwa liar dan dilindungi pada 2022. 

“Untuk data kasus 2023, kita masih olah dari putusan pengadilan semua tingkatan,” tutup Afif.