Intimidasi Masyarakat Adat Terus Berlangsung di Halmahera Timur
Penulis : Aryo Bhawono
Pejuang Lingkungan
Jumat, 02 Juni 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Intimidasi terhadap masyarakat adat penolak tambang terus terjadi di Halmahera Timur. Selain dipolisikan, aparat dan perwakilan perusahaan mengetuk rumah warga lalu mengancam jika menolak perusahaan akan dilaporkan ke polisi.
Dua masyarakat adat Tobelo Boeng Helewo Ruru Hoana Wangaeke Minamin di Halmahera Timur, Maluku Utara, mendapat surat panggilan kedua dari Polsek Wasile Selatan. Mereka adalah Novenia Ambeua dan Julius Dagai.
Surat pemanggilan itu menyebutkan pemeriksaan penyelidikan terkait dugaan tindak pidana merintangi dan atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan PT Mega Haltim Mineral (MHM) yang diadukan oleh Muhammad Fitra Abdullah Selang.
“Dugaan tindak pidana setiap orang yang merintangi dan atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat yang dialami oleh PT PT Mega Haltim Mineral (MHM) sebagaimana dimaksud dalam rumusan pasal 162 UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dalam UU No 3 Tahun 2020…,” tulis surat tersebut.
Nove beranggapan pemanggilan itu merupakan upaya kriminalisasi atas penolakan tambang yang dilakukan oleh warga. Ia menyebutkan pada Kamis 18 Mei 2023 lalu, warga melakukan aksi spontan pengusiran terhadap alat berat perusahaan yang masuk ke dalam perusahaan.
“Waktu itu setelah ibadah paskah, tahu-tahu mereka dapat informasi ada alat ebrat perusahaan masuk lahan mereka, lantas diusir. Ini adalah upaya mempertahankan tanah kami, kalau dianggap pidana maka ini adalah kriminalisasi,” ucapnya melalui telepon.
Kekhawatiran Nove atas kriminalisasi bukan isapan jempol. Pasalnya hingga saat ini warga yang mendapat surat panggilan terus bertambah.
“Hingga saat ini yang dapat panggilan empat orang, dua orang mendapat panggilan kedua. kami dengar akan terus bertambah. Ini jelas intimidasi dan kriminalisasi,” jelasnya..
Pengusiran ini sendiri dilakukan lantaran, perusahaan melakukan aktivitas tanpa persetujuan dan informasi kepada warga. Padahal lahan tersebut masih dalam status konflik.
“Aksi ini spontan saja dan mereka, para pekerja dan alat berat, dibawa menuju ke jalan, keluar dari lahan itu,” lanjut Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara ini.
Ia menyebutkan warga sempat berkumpul di dekat rumahnya dan melakukan pembicaraan. Mereka kemudian sepakat untuk memasang spanduk penolakan tambang.
Pasca pemanggilan ini, ia mendapat informasi bahwa aparat dan orang perusahaan mengetuk rumah-rumah warga. Mereka mengancam, jika terus menolak tambang warga bakal dipanggil polisi.
Data Minerba One Data Indonesia (MODI) menyebutkan PT MHM mengantongi izin operasi produksi dengan luas konsesi 13.510 hektar. Namun warga tak pernah mendapat pemberitahuan apapun soal pemberian konsesi perusahaan itu di tanah mereka. Padahal lahan milik 30 KK masuk dalam konsesi itu.
Perusahaan dan pemerintah menetapkan ganti rugi lahan sebanyak Rp 3 ribu per meter persegi untuk ganti rugi. Namun warga menolak kehadiran tambang sejak akhir 2019. Penolakan pertama mereka lakukan dengan penghadangan alat berat di dalam hutan dengan melakukan ritual adat.