Tambang Ilegal Menjamur sebab Penegakan Hukum Lemah
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Rabu, 14 Juni 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Terdapat sekitar 168 titik lubang tambang batu bara ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim), menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim. Pengawasan dan penindakan hukum yang lemah, jadi biang menjamurnya tambang ilegal.
Dilansir dari Kaltim Post, Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim mencatat, hingga 2021, total produksi batu bara di Kaltim sekitar 294.252.801,68 ton per tahun. Angka produksi tersebut disumbang dari perusahaan pemegang IUP sebesar 220.293.507,22 ton dan perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) sebanyak 73.959.294,46 ton.
Tetapi jumlah produksi batu bara Kaltim ini belum tentu bersih dari produksi pertambangan ilegal. Mengingat dalam beberapa tahun terakhir tambang ilegal batu bara menjamur di Kaltim.
Jatam Kaltim mencatat, tambang batu bara ilegal di Kaltim sebanyak 168 titik. Lokasinya tersebar di Kabupaten Berau (10 titik), Kutai Kartanegara (111 titik), Samarinda (29 titik), Penajam Paser Utara (16 titik) dan Kutai Barat (2 titik).
Dinamisator Jatam Kaltim, Mareta Sari, mengatakan dari sekian banyak tambang batu bara ilegal itu, 11 di antaranya menjadi objek laporan Jatam bersama warga setempat sejak 2018 lalu ke kepolisian. Dari 11 tambang ilegal itu, 8 kasus belum mendapat kejelasan tindak lanjut.
"Seperti Kaltim pada masa pemberian izin penguasaan hutan, kemudian muncul aktivitas illegal logging. Kondisi yang sama terjadi ketika pemerintah memberikan izin kepada perusahaan tambang. Muncullah aktivitas tambang ilegal ini," kata Mareta, Sabtu (27/5/2023).
Mareta bilang, tambang ilegal sulit diberantas, karena efek dari tidak hadirnya negara dalam proses pengawasan, juga karena persoalan penindakan hukum kepada pelakunya. Walhasil muncul indikasi para pelaku hingga aktor intelektual di balik munculnya tambang ilegal itu adalah kelompok dan oknum yang berada di pemerintahan hingga aparat penegak hukum itu sendiri.
“Seolah-olah pemerintah baik pusat dan daerah tidak punya kendali atas pencurian yang dilakukan secara terbuka dan besar-besaran,” ungkapnya.
Kebijakan pemerintah mengalihkan kewenangan sektor pertambangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat, menurut Mareta, tidak mengubah wajah pertambangan Kaltim yang karut marut. Mareta berpendapat, siapapun pengendali kebijakan, selama masih memiliki ketergantungan terhadap aktivitas industri ekstraktif itu, maka Kaltim tetap bakal dihantui kerusakan akibat aktivitas tambang.
Hal tersebut, lanjut Mareta, juga ada kaitannya dengan bentang politik. Ada pihak-pihak yang menuai untung dari sengkarut pertambangan batu bara, baik pengusaha yang menjadi penguasa, penguasa yang menjadi pengusaha, ataupun penguasa yang bergantung pada pengusaha untuk bisa menjadi pemimpin.
"Belum lagi kroni-kroni mereka. Kami sangat meyakini uang dari pertambangan batu bara ini masuk sebagai modal dalam berpolitik. Itu yang disebut oligarki. Itu akan sangat tampak menjelang tahun politik,” jelasnya.
Terlebih penentuan jumlah produksi batu bara tidak didominasi oleh keperluan dalam negeri saja, melainkan pasar dunia. Dalam hal ini rakyat di daerah seperti Kaltim, tidak dapat berbuat banyak saat pengusaha bersama pemerintah sepakat untuk meningkatkan produksi yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Apalagi munculnya lubang-lubang tambang baru dari aktivitas ilegal.
"Lihat saja di Samarinda. Begitu harga batu bara melambung tinggi, muncul banyak titik-titik tambang baru. Belum lagi di Samarinda itu 71 persen luas wilayahnya merupakan konsesi yang diperuntukkan untuk pertambangan. Berarti ada sistem politik dan sistem ekonomi,” terang Mareta.
Diakuinya, jumlah perusahaan pemegang IUP di Kaltim semakin sedikit, berimbas pada berkurangnya potensi bukaan tambang baru, tetapi Mareta merasa hal tersebut bukanlah hal yang menggembirakan. Sejak hadirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, ada indikasi skema dari pemerintah pusat untuk lebih mengendalikan pertambangan batu bara di Indonesia, termasuk Kaltim.
“Saya justru lebih khawatir. Kenapa? Karena oke, jumlah IUP dan PKP2B berkurang. Artinya titik tambang akan berkurang. Tetapi daerah tidak punya kontrol atas dampak yang ditimbulkan aktivitas pertambangan,” urai Mareta.
Mareta menduga, alasan pemerintah pusat mengambil kewenangan perizinan pertambangan sebagai sumber pembiayaan pelaksanaan pesta elektoral pada 2024 mendatang, khususnya melalui PKP2B atau IUP Khusus di Kaltim yang saat ini jumlahnya sekitar 30 unit izin.
Menurut data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim, jumlah IUP di Kaltim hingga 14 Maret 2019 sebanyak 1.404 unit. Jumlah itu didapat dari hasil rekonsiliasi data Dinas ESDM dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kaltim, bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bila dijabarkan lebih lanjut, dari jumlah itu sebanyak 386 IUP berstatus clean and clear (C&C). Tapi, hanya 50 persen yang menghasilkan batu bara, atau sekitar 160 IUP yang berproduksi. Sementara untuk PKP2B ada 30 unit izin, meski belakangan diketahui PKP2B yang aktif hanya 17 unit.
Lebih lanjut, dari 12.734 hektare luas daratan Kaltim hampir separuhnya atau 5,2 juta hektare telah dikaveling untuk kepentingan pertambangan. Pada 2021, berdasarkan data Kementerian ESDM, sumber daya batu bara di Kaltim, merupakan yang tertinggi secara nasional dengan kontribusi mencapai 40,10 persen, terhadap total sumber daya batu bara sebesar 92 miliar ton.
Sedangkan cadangan batu bara di Kaltim juga menjadi yang tertinggi dengan kontribusi mencapai 42,40 persen terhadap total cadangan batu bara nasional sebesar 25,8 miliar ton.