Alasan Masyarakat Sipil Gugat Menteri Siti

Penulis : Kennial Laia

Hukum

Kamis, 15 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Koalisi organisasi masyarakat sipil menggugat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar. Mereka menilai kebijakan yang dilakukan Siti anti-sains dan melanggar kebebasan akademik. 

Koalisi tersebut terdiri atas 18 organisasi masyarakat sipil bernama Tim Advokasi Kebebasan Akademik. Mereka telah mendaftarkan gugatan pada Rabu, 7 Juni 2023 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan diajukan atas dasar keputusan dan/atau perbuatan melawan hukum penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang dilakukan Menteri LHK dalam menerbitkan Surat Nomor S.1447/MENLHK-KSDAE/KKHSG/KSA.2/9/2022 tertanggal 14 September 2022.

Surat tersebut merespons artikel opini Erik Meijaard dan Julie Sherman berjudul “Orangutan Conservation Needs Agreement on Data and Trends” di The Jakarta Post pada 15 September 2022. 

Menurut Tim Advokasi, surat tersebut menyatakan bahwa temuan Erik Meijaard dkk mengenai penurunan populasi orangutan sebagai temuan dengan “indikasi negatif dan dapat mendiskreditkan pemerintah cq KLHK”. 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurabay Bakar saat membuka rapat kerja virtual APHI, 27 Oktober 2021. Foto: menlhk.go.id

Di dalam surat tersebut, Kepala Balai Besar/Balai Taman Nasional dan Kepala Balai Besar/Balai KSDA diminta untuk tidak memberikan pelayanan kepada Erik Meijaard dkk dalam semua urusan perizinan/persetujuan terkait dengan kegiatan konservasi dalam kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Surat tersebut adalah bentuk kebijakan anti-sains yang telah melanggar kebebasan akademik, mencederai independensi sains serta bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik,” kata Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). Keduanya sebagai penggugat dalam gugatan tersebut. 

Empat alasan gugatan

Menurut Tim Advokasi, Siti telah melanggar hukum secara prosedural, kewenangan dan substansial. Sebagai contoh, pernyataan dalam surat KLHK bahwa temuan Erik Meijaard dkk adalah temuan dengan “indikasi negatif dan dapat mendiskreditkan pemerintah cq KLHK” telah melampaui wewenang sebagaimana diatur pada Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Surat KLHK tersebut juga dinilai bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), yaitu asas kemanfaatan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, serta kepentingan umum. 

Tim Advokasi mengatakan, surat tersebut tidak memiliki ratio legis yang harmonis dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Selain itu, tindakan mengeluarkan SK tersebut adalah bentuk tindakan penyalahgunaan wewenang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 

Akibatnya, surat tersebut membatasi ruang kebebasan akademik yang melanggar prinsip kelima Surabaya Principle of Academic Freedom, yaitu melakukan pembatasan dan penggunaan otoritas di luar lingkup kewenangan yang mana merugikan kepentingan umum dan menghambat ruang partisipasi. 

“Mengingat bahwa ilmu bersifat relatif, perbedaan dalam kerangka keilmuan adalah usaha untuk menemukan kebenaran yang baru lewat diskursus ataupun dialektika,” kata Tim Advokasi.

“Maka, perbedaan pemikiran seharusnya ditanggapi dengan diskusi, perdebatan dan upaya saling mengkritik dalam kerangka keilmuan, bukan menyerang pribadi-pribadi karena tidak suka,” tambah Tim Advokasi.  

Alasan yang ketiga, tindakan penerbitan surat tersebut telah menimbulkan dampak luas, kerugian, dan masalah struktural lainnya. Menurut Tim Advokasi, terbitnya surat tersebut telah bertentangan dengan prinsip independensi sains yang merupakan fondasi pencarian kebenaran ilmiah yang objektif. 

Lebih lanjut, penerbitan tersebut juga telah menghalangi dan berpotensi menghalangi produksi pengetahuan yang bermanfaat bagi publik, terutama yang berkaitan dengan konservasi satwa terancam punah yang penting bagi keseimbangan ekologi.

Selain itu, surat KLHK tersebut dinilai mengakibatkan efek ketakutan dan kekhawatiran yang meluas bagi kalangan peneliti, termasuk self censorship yang dapat merugikan kepentingan sains. 

Beberapa peneliti lokal dan lembaga penelitian di Indonesia, misalnya, yang sebelumnya bekerja sama dengan Erik Meijaard dkk telah membatalkan kerja sama penelitian. Mereka khawatir jika terkena dampak serupa yang dialami Erik Meijaard dkk.

Menurut Tim Advokasi, gugatan tersebut meminta pengadilan untuk dapat menyatakan bahwa tindakan penerbitan surat KLHK telah melanggar kebebasan akademik, mencederai independensi, dan melanggar AUPB sebagai tindakan melawan hukum. 

Tidak hanya itu, para penggugat juga meminta PTUN Jakarta untuk memerintahkan Siti mencabut surat KLHK tersebut. Pengadilan juga diminta mewajibkan Siti untuk tidak menghalangi maupun membatasi hak publik dalam bentuk kebijakan anti-sains yang membatasi kebebasan akademik.