Catatan Kritis Ihwal Tata Kelola Lingkungan Aceh

Penulis : Gilang Helindro

Lingkungan

Rabu, 21 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  PJ Gubernur Aceh dinilai gagal membangun perbaikan kebijakan tata kelola lingkungan hidup dan sumber daya alam di Aceh. 

Hal ini disampaikan Walhi Aceh dalam catatan Kritis Satu Tahun Kepemimpinan Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, bersama Pokja V Masyarakat Sipil Aceh terdiri dari LBH Banda Aceh, MaTA, dan Katahati Institute yang diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Direktur eksekutif Walhi Aceh, Ahmad Solihin menjelaskan kondisi lingkungan di Aceh tidak dalam baik–baik saja. Berdasarkan data Global Forest Watch (GFW), Aceh kehilangan tutupan hutan periode 1990 – 2022 mencapai 518.440 hektare. Dari jumlah tersebut, dalam kawasan hutan mencapai 191.284 hektare. 

“Kondisi ini berdampak terhadap bencana ekologi, kerugian ekonomi, rusak infrastruktur, gagal panen, dan konflik satwa,” katanya saat dihubungi.

Pokja lima menyerahkan catatan kritis kepemimpinan PJ Gubernur Aceh kepada wakil ketua DPRA, Safaruddin. foto: Istimewa

WALHI Aceh mencatat, 2022 terjadi bencana sebanyak 208 kejadian, mencakup kebakaran lahan, banjir, longsor, abrasi, dan kekeringan. Sampai saat ini, kata Om Sol sapaan Ahmad Solihin menyebut, masterplan penanganan banjir belum tersedia di Aceh. Konflik satwa terjadi sebanyak 185 kejadian, mencakup konflik gajah, harimau, dan orangutan. Kondisi ini terjadi tidak terlepas dari kesengkarutan ruang di Aceh. 

Pada 6 Juli 2023 genap setahun Mayjen TNI Achmad Marzuki menjabat sebagai Pejabat (Pj) Gubernur Aceh paska dilantik Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Republik Indonesia, Muhammad Tito Karnavian, pada Rabu, 6 Juli 2022. 

Dalam kacamata ekologi, kebijakan Pj Gubernur Aceh belum memiliki dampak yang signifikan dalam upaya penyelamatan lingkungan ditengah kesengkarutan ruang, krisis wilayah kelola rakyat, perubahan iklim, dan bencana ekologi di Aceh. Justru yang terbaca oleh publik, semangat investasi dominan pada sektor eksploitasi sumber daya alam (pertambangan). 

Dua bulan sebelum pelantikan Pj Gubernur Aceh kata Om Sol, Menteri ESDM mengeluarkan keputusan nomor 86.K/MB.01/MEM.B/2022 Tentang Wilayah Pertambangan Aceh. Kepmen tersebut kami nilai rakus ruang dan menambah kesengkarutan ruang di Aceh. Berdasarkan peta lampiran; semua wilayah daratan Aceh ditetapkan sebagai Wilayah Usaha Pertambangan, dan Wilayah Pencadangan Negara, kecuali Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Leuser, Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Tahura Pocut Meurah Intan, dan dua daerah administrasi yaitu Kota Banda Aceh dan Sabang. 

Seharusnya Pj Gubernur Aceh mendorong pemerintah pusat untuk mengevaluasi dan revisi kepmen tersebut. Sehingga masyarakat mendapatkan ruang yang cukup untuk wilayah kelola sektor riil yang padat karya bukan padat modal. Justru yang terjadi dalam periode Juli hingga September 2022 terbit lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi sektor Minerba dengan total luas 12.839 hektare. 

Om Sol merinci, PT Sarana Graha Metropolitan, Aceh Jaya, komoditas Batubara, luas 197 hektare. PT Mas Putih Aneka Tambang, Aceh Jaya, komoditas Batubara, luas 4.949 hektare. PT Longsunindo Perkasa Aceh Jaya, komoditas Mineral Logam, luas 4.655 hektare. PT Selatan Aceh Emas, Aceh Selatan, komoditas Mineral Logam (Emas), luas 1.648 hektare. PT Mineral Agam Prima Aceh Jaya, komoditas Mineral Logam luas 1.390 hektare. 

“Selain itu, rencana tambang PT Bumi Mentari Energi (BME) di Beutong Ateuh, dan beroperasi kembali PT Lhoong Setia Mining di tengah persoalan reklamasi paska tambang yang tidak selesai, juga terjadi dimasa Pj Gubernur Aceh Ahmad Marzuki,” katanya 

Dalam periode yang sama, pada 26 Agustus 2022, Pj Gubernur Aceh menerbitkan SK No.540/1211/2022 tentang Pembentukan Tim Evaluasi Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Wilayah Aceh. Tim ini diketuai oleh Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh. 

Sebelumnya pada 21 Juli 2022, Pj Gubernur Aceh melantik Kepala DPMPTSP sebagai Pj Bupati Aceh Singkil. Wajar kemudian, sampai juni 2023 publik tidak mengetahui apa hasil kinerja dari tim tersebut sehingga terbit berbagai izin baru sektor pertambangan. Seharusnya dalam masa evaluasi Pemerintah Aceh melakukan moratorium izin baru. Karena sebanyak 42 IUP Minerba yang telah ada belum berkontribusi sepenuhnya terhadap pendapatan daerah dan menurunkan angka kemiskinan di Aceh. 

Pj Gubernur Aceh tidak peka terhadap persoalan rakyat dalam mempertahankan hak atas lingkungan, rakyat harus berjuang sendiri. Misalnya terkait persoalan pencemaran limbah PT. Medco E&P Malaka, penolakan tambang PT. BME di Beutong Ateuh Banggalang, dan sejumlah konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Aceh. 

Selain itu, penegakan hukum lingkungan juga terkesan tidak berjalan sesuai kewenangannya. “Pertambangan emas ilegal semakin marak terjadi di Aceh, sedangkan upaya perbaikan tata kelola tidak dilakukan. Sampai hari ini Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) tidak masuk dalam Wilayah Pertambangan di Aceh, para penambang terus dibiarkan dalam dosa ekologi,” katanya.