Greta Thunberg: Negara Kaya Teken Hukuman Mati Orang Miskin

Penulis : Aryo Bhawono

Perubahan Iklim

Jumat, 16 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Aktivis Iklim Greta Thunberg beranggapan negara-negara kaya telah menandatangani hukuman mati bagi jutaan orang miskin di seluruh dunia dengan tidak menghentikan penggunaan bahan bakar fosil. Negara maju masih memiliki kemauan yang minim untuk menghentikan eksplorasi dan penggunaan bahan bakar fosil sehingga mengancam kenaikan suhu global lebih dari 1,5 derajat celsius.

Pada Selasa lalu (13/6/2023) Thunberg mengingatkan emisi gas rumah kaca tahunan yang mencapai titik tertinggi sepanjang masa. Penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara cepat dan adil adalah satu-satunya jalan untuk menjaga suhu global dalam batas yang disarankan secara ilmiah, yaitu 1,5 derajat celsius di atas tingkat pra-industri.

"Beberapa bulan dan tahun ke depan, termasuk saat ini, akan menjadi sangat penting bagi masa depan. Apa yang kita putuskan sekarang akan menentukan masa depan umat manusia," ujarnya  seperti dikutip dari Guardian dalam sebuah konferensi pers pada pertemuan PBB di Bonn, tempat para pemimpin negara bertemu untuk membahas krisis iklim.

Jika tidak ada menghentikan penggunaan bahan bakar fosil makahal ini  akan menjadi hukuman mati bagi banyak orang. 

Aktivis perubahan iklim asal Swedia Greta Thunberg. Foto: Akun Instagram pribadi @gretathunberg

“Ini sudah menjadi hukuman mati bagi banyak orang," tegasnya.

Pada Jumat sebelumnya (9/6/2023), Thunberg mengumumkan akhir dari aksi mogok sekolah, yang telah ia lakukan setiap hari Jumat sejak tahun 2018 sebagai bentuk protes atas kelambanan politik dalam menghadapi krisis iklim. Juru kampanye ini telah meninggalkan sekolah tetapi berniat untuk terus menyuarakan isu-isu iklim, sementara juga menyoroti suara-suara kaum muda dari negara berkembang.

Ia mengatakan kurangnya kemauan politik untuk menghentikan eksplorasi dan penggunaan bahan bakar fosil mengancam kenaikan suhu global lebih dari 1,5 derajat celsius. Iklim pun melewati ‘titik kritis’, yaitu sebuah rangkaian dampak yang dapat menyebabkan pemanasan global tidak terkendali.

"Kita masih bergegas menuju jurang. Kita dapat memicu lingkaran umpan balik yang berada di luar kendali manusia, yang akan membuang miliaran dolar yang tak terhitung jumlahnya," katanya.

Pertanyaan mengenai penghapusan bahan bakar fosil diperkirakan akan menjadi titik puncak dalam pembicaraan iklim PBB di COP 28 pada akhir tahun ini. Pertemuan ini akan berlangsung di Dubai, yang diselenggarakan oleh Uni Emirat Arab, produsen minyak dan gas utama.

Banyak negara yang ingin melihat COP 28 menghasilkan resolusi resmi untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil, atau setidaknya membahas penghapusan tersebut sebagai agenda resmi di pertemuan tersebut. Namun beberapa negara, terutama produsen bahan bakar fosil termasuk Arab Saudi, dengan tegas menentang. Kepresidenan UEA bersikap hati-hati, dengan mengatakan bahwa belum ada kesepakatan mengenai agenda tersebut.

Pemimpin pembicaraan COP 28 adalah Sultan Al Jaber, seorang menteri dalam pemerintahan UEA yang juga kepala perusahaan minyak nasional negara tersebut, Adnoc. Perusahaan itu tengah merencanakan perluasan besar-besaran kapasitas produksi bahan bakar fosil.

Eric Njuguna, seorang organisator keadilan iklim dari Kenya, yang berbicara dengan Thunberg, mengatakan bahwa peran ganda Al Jaber merupakan konflik kepentingan, dan memintanya untuk mengundurkan diri. 

"Ini merupakan sebuah tikaman dari belakang bagi negara-negara miskin untuk memiliki CEO bahan bakar fosil di tengah upaya-upaya untuk menghambat krisis iklim," ujarnya.

Al Jaber sendiri pernah mengatakan mengatakan bahwa dirinya akan membawa ‘pola pikir bisnis’ ke dalam pembicaraan tersebut, dan menunjuk pada perannya sebagai salah satu pendiri perusahaan energi terbarukan Masdar di UEA. Ia turut mengunjungi pembicaraan Bonn pada hari Kamis lalu, dan berbicara dalam sebuah pertemuan publik bertajuk ‘Penghentian Penggunaan Bahan Bakar Fosil Tidak Dapat Dihindari’. 

Namun, sambutannya berhenti sebelum berjanji untuk memasukkan penghapusan bahan bakar fosil ke dalam agenda COP 28.

Pembicaraan di Bonn berlangsung selama empat hari dari Senin hingga Kamis (5-8/6/2023). Pembicaraan ini menjadi landasan bagi COP 28, konferensi para pihak di bawah konvensi kerangka kerja PBB mengenai perubahan iklim, yang dimulai pada tanggal 30 November tahun ini.

Kemajuan di Bonn berjalan lambat. Diskusi-diskusi minggu lalu diwarnai dengan perselisihan mengenai negara-negara kaya yang gagal memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara berkembang, untuk membantu mereka mengurangi emisi gas rumah kaca mereka dan mengatasi dampak-dampak krisis iklim.

Alden Meyer, seorang rekan senior di lembaga pemikir E3G, mengatakan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mencapai kesepakatan di COP 28.

“Untuk pengurangan produksi dan penggunaan bahan bakar fosil yang adil dan merata dalam jangka waktu yang sesuai dengan tujuan 1,5C Perjanjian Paris," kata dia.