Subsidi Masif Energi Fosil & Pertanian Sebabkan Petaka Lingkungan

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Senin, 19 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Bank Dunia mengatakan subsidi untuk bahan bakar fosil, pertanian dan perikanan mencapai triliunan dolar. Subsidi ini telah menyebabkan “malapetaka lingkungan”, yang sangat merugikan manusia dan planet ini.

Menurut bank tersebut, banyak negara menghabiskan lebih banyak uang untuk subsidi sektor yang berbahaya ketimbang di sektor kesehatan, pendidikan, atau pengentasan kemiskinan. Hal ini telah mengakar dan sulit untuk diubah karena penerima manfaat terbesar cenderung kaya dan berkuasa. 

Namun mereformasi subsidi ini penting karena akan menyediakan dana untuk memerangi krisis iklim dan bencana alam pada saat kas publik sangat terbatas, kata bank tersebut.

Total subsidi "beracun" setidaknya mencapai $7,25 triliun per tahun, menurut laporan baru dari bank tersebut. Subsidi eksplisit – uang yang dibelanjakan oleh pemerintah – berjumlah sekitar $1,25 triliun per tahun, atau lebih dari $2 juta per menit. Sebagian besar subsidi ini untuk sektor yang berbahaya, termasuk energi fosil, pertanian, dan perikanan. 

Seorang anak muda memegang poster bertuliskan "Coal No Longer Cool" untuk memprotes Bank BNI yang membiayai perusahaan batu bara di Indonesia. Energi fosil, termasuk batu bara, termasuk penyumbang tingginya emisi gas rumah kaca, yang memicu pemanasan global. Dok 350 Indonesia

Ada juga subsidi implisit seperti pembebasan pajak dan biaya kerusakan yang disebabkan oleh pemanasan global yang memburuk dan polusi udara. Total jumlahnya $6 triliun per tahun. Namun perkiraan baru-baru ini lebih tinggi, yang mencakup biaya polusi dan perusakan alam oleh pertanian. Sehingga angkanya menjadi hampir $11 triliun per tahun.

Secara total, subsidi yang mendukung perusakan lingkungan bisa mencapai $23 juta per menit. Bank Dunia mengatakan perkiraan itu masih konservatif. Pasalnya beberapa negara tidak sepenuhnya mencatat subsidi dan jumlahnya telah meningkat sejak pandemi Covid dan belum dihitung sepenuhnya.

Selain itu, Bank Dunia mengatakan sebagian besar subsidi bersifat regresif, serta lebih menguntungkan orang kaya daripada orang miskin. Sebaliknya bantuan langsung kepada orang termiskin akan jauh lebih efisien.

“Subsidi yang merusak lingkungan [adalah] salah satu aspek pembangunan paling beracun yang kita miliki di dunia,” kata Richard Damania, kepala ekonom Bank Dunia untuk pembangunan berkelanjutan. “Kita membuang triliunan uang, dan ini merugikan kita. Padahal kita membutuhkan uang itu,” tambahnya. 

“Ada sesuatu yang sangat aneh. Di satu sisi dunia mensubsidi bahan bakar fosil, dan di sisi lain menghabiskan uang untuk melawan perubahan iklim,” kata Damania. 

Pada 2021, subsidi eksplisit untuk batu bara, minyak, dan gas sebesar $577 miliar. Jumlah ini dua kali lebih besar daripada subsidi untuk energi terbarukan, dan hampir enam kali lebih tinggi daripada pembiayaan iklim yang dijanjikan oleh negara-negara kaya kepada negara-negara berkembang.

Pada tahun 2021, badan-badan PBB melaporkan bahwa hampir 90% subsidi pertanian merugikan kesehatan masyarakat dan iklim, serta mendorong ketimpangan. Sementara itu IMF menemukan bahwa triliunan dolar subsidi bahan bakar fosil “menambah bahan bakar ke dalam api” krisis iklim pada waktu ketika pemotongan cepat dalam emisi karbon diperlukan.

Laporan Bank Dunia, berjudul “Detox Development”, mengatakan bahwa subsidi “mendorong degradasi aset alam dasar dunia – udara bersih, tanah, dan lautan – [yang] sangat penting bagi kesehatan dan gizi manusia”.

Menurut laporan tersebut, meskipun bahan bakar fosil “sangat murah”, reformasi diperlukan untuk menyelamatkan nyawa manusia. Sebagai catatan, polusi dari bahan bakar fosil menyebabkan 8,7 juta kematian per tahun, menurut sebuah studi tahun 2021, atau satu dari lima kematian secara global.

Selain itu, subsidi untuk pertanian tidak seimbang dan tidak bijaksana.  “Subsidi ini tidak hanya mempromosikan inefisiensi, tetapi juga menyebabkan banyak kerusakan lingkungan,” tulis laporan tersebut. 

Laporan tersebut menemukan bahwa pupuk bersubsidi menyebabkan begitu banyak penggunaan berlebihan di beberapa daerah sehingga mengurangi hasil panen, sekaligus menyebabkan polusi nitrogen yang sangat besar.

Ditemukan juga bahwa subsidi pertanian bertanggung jawab atas penghancuran 2,2 juta hektare hutan per tahun. Luas ini sekitar 14 persen dari deforestasi global, yang menyebabkan hampir 4 juta kasus tambahan malaria per tahun.

Laporan tersebut menambahkan, subsidi penangkapan ikan sekitar $118 miliar per tahun dan merupakan faktor kunci dalam eksploitasi berlebihan ekosistem laut, yang telah mendorong lautan ke dalam “keadaan krisis kolektif”.

Laporan itu mengatakan subsidi pemerintah saat ini merupakan "bagian besar dari anggaran publik di seluruh dunia, mungkin lebih besar dari titik mana pun dalam sejarah manusia".

“Reformasi subsidi sangat mendesak – bahkan sangat penting – jika kita ingin melindungi manusia dan planet ini,” kata Morgan Gillespy, dari Food and Land Use Coalition. 

Ipek Gençsü, dari Overseas Development Institute, mengatakan: “Subsidi bahan bakar fosil pemerintah telah menggelembung karena krisis harga energi, pada saat pemerintah seharusnya menyediakan pembiayaan untuk meningkatkan efisiensi energi dan berinvestasi dalam teknologi bersih. Sebaliknya, mereka telah mengunci konsumen dan masyarakat lebih jauh ke dalam kecanduan bahan bakar fosil.”

Laporan tersebut mengakui bahwa pemotongan subsidi secara politis sulit dilakukan. Komunikasi adalah kunci, katanya, untuk membangun koalisi dukungan terhadap reformasi subsidi bahan bakar fosil. 

Kompensasi juga penting. “Akan selalu ada (pihak) yang kalah,” kata Damania. “Tapi kompensasi adalah cara terbaik untuk memberikan uang langsung ke tangan orang miskin, daripada secara tidak langsung melalui subsidi.” 

Dia menambahkan, reformasi subsidi bahan bakar fosil harus kredibel. Rakyat harus diyakinkan bahwa pemerintah akan tetap pada jalurnya dan tidak ditekan untuk pembalikan.

“Kita harus menemukan cara membelanjakan uang yang kita miliki dengan lebih baik, daripada berdebat bahwa kita perlu membelanjakan lebih banyak ketika anggaran sangat ketat. Lihat seberapa dekat kita dengan begitu banyak batas planet,” kata Damania.

Laporan tersebut mengatakan: “Meskipun perubahan akan memerlukan reformasi kebijakan yang signifikan, konsekuensi dari aksi yang lamban akan jauh lebih tinggi.”