Tiga Korporasi Sawit Tersangka, UU Perampasan Aset Kian Mendesak
Penulis : Kennial Laia
Sawit
Kamis, 22 Juni 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pengesahan Revisi Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dinilai semakin mendesak pasca penetapan tiga raksasa sawit dalam kasus korupsi ekspor minyak goreng mentah. Langkah ini akan menjadi jalan bagi penegak hukum untuk dapat memulihkan kerugian keuangan maupun perekonomian negara.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, menyebut penjeratan tiga korporasi, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group, sebagai langkah baik untuk mengembalikan kerugian keuangan negara.
“Dalam konteks urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset, kasus ini menjadi salah satu batu uji tentang pentingnya Indonesia memiliki peraturan untuk merampas aset kejahatan. Karena nilai kerugian keuangan negara yang fantastis itu tidak mudah mengembalikannya,” kata Diky kepada Betahita, Senin, 19 Juni 2023.
“Di saat yang sama substansi hukum yang kita miliki saat ini terbukti tidak punya daya untuk mendorong perampasan aset,” tambah Diky.
Penetapan tiga korporasi sawit ini sebagai tersangka merupakan kelanjutan dari kasus korupsi fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya pada Januari - Maret 2021. Lima tersangka individu telah diputus bersalah, dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) di tingkat kasasi.
Diantaranya, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indra Sari Wisnu Wardhana; Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei; dan Komisaris WNI Master Parulian Tumanggor. Lalu Senior Manager Corporate Affair PT VAL, Stanley MA; dan General Manager (GM) Bagian General Affair PT MM, Pierre Togar Sitanggang. Kelima terdakwa dijatuhi pidana penjara dalam rentang waktu lima hingga delapan tahun.
Dalam pernyataannya minggu lalu, Kejaksaan Agung menyatakan bahwa majelis hakim memandang perbuatan para terpidana sebagai aksi korporasi.
“Oleh karenanya, Majelis Hakim menyatakan bahwa yang memperoleh keuntungan ilegal adalah korporasi (tempat dimana para Terpidana bekerja). Maka dari itu, korporasi harus bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian negara akibat perbuatan pidana yang dilakukannya,” terang Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana, 15 Juni 2023.
Menurut Ketut, negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp 6,47 triliun akibat perkara ini. Kasus korupsi ini juga menyebabkan kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng yang berdampak pada masyarakat luas.
“Akibatnya, dalam rangka mempertahankan daya beli masyarakat terhadap komoditi minyak goreng, negara terpaksa menggelontorkan dana kepada masyarakat dalam bentuk bantuan langsung tunai sebesar Rp 6,19 triliun,” terang Ketut.
Direktur penegakan hukum Auriga Nusantara, Rony Saputra, mengatakan Kejaksaan Agung harus bisa membangun analisis hukum bahwa perkara ini tidak sama dengan yang telah divonis dan inkrah, di mana konsekuensi dan perbuatan yang didakwakan sama.
Rony mengatakan, keuntungan yang didapatkan korporasi dari fasilitas ekspor CPO harus menjadi pintu masuk. Sebab, kongkalikong tersebut melibatkan perubahan kebijakan, suap, dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara.
Selain itu, Rony mendorong agar Kejaksaan Agung turut mempertimbangkan unsur kerugian perekonomian negara, dan tidak hanya fokus pada kerugian keuangan negara.
“Karena ini terdakwa korporasi, seharusnya Kejaksaan Agung memastikan penyitaan aset atau keuntungan yang diterima korporasi pelaku kejahatan,” kata Rony.
Saat ini undang-undang yang dapat digunakan adalah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Kedua aturan tersebut, kata Rony, belum mengatur penyitaan aset secara komprehensif.
“RUU Perampasan Aset semakin mendesak. Hari ini, banyak kasus korupsi yang lebih fokus pada pemenjaraan secara fisik. Meskipun ada hukuman denda, ini dapat diganti hukuman kurungan. Pengenaan unsur kerugian keuangan negara juga minim,” kata Rony.
“Tanpa undang-undang perampasan aset, akan sulit menyita keuntungan yang didapatkan pihak lain dari suatu tindak kejahatan. Dengan aturan tersebut, sangat memungkinkan sekali, dan ini akan berpengaruh pada pemiskinan koruptor, mendorong efek jera, dan mengubah perilaku korporasi maupun pelaku individu,” tambahnya.
Diky mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera melakukan pembahasan RUU Perampasan Aset di Senayan. Apalagi, pemerintah telah mengirimkan surat presiden (Surpres) tertanggal 4 Mei yang lalu, yang mengusulkan pembahasan RUU ini pada rapat paripurna.
“Modus korupsi semakin berkembang, di mana hasil atau aset dari tindak pidana korupsi dicuci dengan mekanisme pasar modal. Ini sulit dirampas dengan mekanisme hukum yang ada saat ini. Tetapi persoalan ini bisa terjawab dengan undang-undang yang mengatur perampasan aset,” tutur Diky.
“Di satu sisi, pemerintah juga harus mendorong setiap ketua partai politik agar memerintahkan anggotanya di DPR untuk membahas RUU ini,” ujar Diky.