Kebijakan Kunci Untuk Transisi Energi di Kawasan Asia Tenggara

Penulis : Kennial Laia

Energi

Rabu, 19 Juli 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pengembangan energi terbarukan di Asia Tenggara saat ini masih terhambat oleh kesenjangan teknologi, pasar energi terbarukan yang belum siap, dan kurangnya investasi bagi transisi energi. Di satu sisi kawasan ini memiliki potensi energi terbarukan yang besar. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, potensi ini perlu dikembangkan sesegera mungkin untuk mengejar target net zero emission di pertengahan abad sesuai Perjanjian Paris. Kebijakan transisi energi yang kuat menjadi langkah awal untuk membuka peluang investasi, lapangan kerja, dan pasar energi bersih yang stabil. 

Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, Marlistya Citraningrum, pertumbuhan energi terbarukan di Asia Tenggara cenderung tidak konsisten. Kebijakan dan investasi di masing-masing negara juga kurang mendukung atau terus berubah. 

Selain itu, kawasan ini juga masih ramah pada energi fosil. Sejak Persetujuan Paris, misalnya, Fair Finance Asia mencatat terdapat USD 683 miliar mengalir ke Asia untuk pendanaan penambangan batubara dan pembangkit listrik (PLTU) batu bara. Negara penerima termasuk Indonesia, Filipina, dan Vietnam. 

Energi bersih dan terbarukan seperti tenaga angin dan matahari semakin murah, dan memungkinkan dunia untuk mencapai target 1.5C dengan target dan kebijakan yang tidak mendukung energi fosil. Dok IEA

“Untuk percepatan transisi energi dan investasi energi terbarukan di Asia Tenggara, diperlukan upaya-upaya yang lebih terkonsolidasi,” kata Citra dalam webinar bertajuk “Unlocking Potential Renewable Energy Finance in Southeast Asia”, Rabu, 21 Juni 2023.

“Misalnya, kawasan bisa mendorong pasar untuk pembiayaan berkelanjutan regional dengan taksonomi hijau ASEAN, menyediakan fasilitas manajemen risiko pengembangan proyek energi terbarukan, hingga adanya sinergi kebijakan dan peraturan yang memungkinkan tumbuhnya skema-skema pembiayaan inovatif,” tambahnya. 

Berdasarkan laporan International Renewable Energy Agency (IRENA), Asia Tenggara memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar. Pada 2050, dua per tiga kebutuhan energi kawasan dapat dipenuhi dengan menggunakan energi terbarukan saja. Tidak hanya itu, energi terbarukan masih menjadi pilihan termurah, dan dengan meningkatkan kapasitasnya, Asia Tenggara dapat meningkatkan 40 persen dari total energi kawasan pada tahun 2030. 

Mengutip analisis IRENA (2022), Citra mengatakan investasi yang diperlukan untuk transisi energi di ASEAN dalam jangka pendek hingga 2030 mencapai USD 987 miliar untuk skenario net-zero 2050. Dari angka tersebut, 40% diperlukan untuk pembangkit listrik, terutama peningkatan penetrasi energi terbarukan.

Selain itu, melalui Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023,  IESR mendorong pemerintah untuk mengatasi tantangan pembiayaan pembangunan energi terbarukan di kawasan. Di antaranya dengan mengoptimalisasi pelaksanaan taksonomi hijau ASEAN dan menciptakan berbagai skema pembiayaan inovatif.

IESR mengatakan, keketuaan Indonesia dalam ASEAN pada 2023 menjadi peluang bagi pemerintah untuk mendorong investasi energi terbarukan di kawasan serta pembangunan ekonomi berkelanjutan di level global. ASEAN telah terbukti sebagai kawasan yang stabil dan tangguh yang dapat menunjukkan kemajuan dalam integrasi keuangan. 

Koordinator Pembiayaan Berkelanjutan IESR, Farah Vianda, mengatakan salah satu poin penting yang perlu disoroti dalam taksonomi ASEAN terbaru adalah penghentian dini batu bara untuk pembangkit listrik.

“Hal ini bisa menjadi peluang besar bagi negara-negara ASEAN untuk mulai melakukan transisi didukung dengan momentum Just Energy Transition Partnership. Namun, perlu dijaga juga untuk kriteria yang masuk pendanaan hijau,” terang Farah. 

Farah mengatakan, Indonesia perlu mendorong negara-negara anggota ASEAN agar mulai fokus pada upaya dekarbonisasi sistem energinya. INi termasuk mengatasi rendahnya investasi di sektor energi terbarukan.

Berdasarkan pemaparan Menteri Keuangan Sri Mulyani, investasi energi terbarukan di ASEAN hanya mencapai USD 8 miliar per tahun selama 2016-2021. Angka ini sangat rendah dibandingkan dengan kebutuhan sebesar USD 27 miliar per tahun guna mendukung ambisi untuk mewujudkan bauran energi terbarukan sebesar 20-30 persen pada 2025.