Berpuluh Tahun Menderita Berdampingan Dengan PT TPL
Penulis : Aryo Bhawono
Masyarakat Adat
Senin, 26 Juni 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Berpuluh tahun kehadiran PT Toba Pulp Lestari di Tano Batak justru membawa banyak derita bagi masyarakat adat. Tanah adat mereka dirampas, janji perbaikan ekonomi tak terealisasi, bahkan masyarakat adat berada dalam ancaman kriminalisasi.
Laporan Koalisi Indonesia Memantau berjudul ‘The Devil is in The Detail: Aroma Patgulipat Izin Toba Pulp Lestari’ menyebutkan dugaan kecurangan yang dilakukan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Sumatera Utara.
Dugaan kecurangan PT TPL itu diantaranya keberadaan kebun kayu di luar izin terbaru PT TPL namun masuk dalam areal izin sebelumnya, kebun kayu yang dibangun di Areal Penggunaan Lain (APL) dan Hutan Lindung di dalam izin terbaru PT TPL, serta kebun kayu yang ada di luar agregat izin PT TPL.
Selain itu para penyusun laporan juga menyebutkan operasi perusahaan sejak bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) pada 1984 itu telah membawa derita berkepanjangan bagi masyarakat adat. Hengki Manalu dari Aliansi Masyarakat adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menyebutkan banyak nestapa yang dialami oleh masyarakat adat yang tinggal di sekitar konsesi TPL.
“Masyarakat Adat Sihaporas di Aek Nauli hanya kebagian asap debu saja dari operasi Toba Pulp Lestari,” ucapnya
AMAN Tano Batak, bersama Auriga Nusantara, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), dan empat lembaga lainnya menyusun laporan tersebut.
Masyarakat Adat Sihaporas hidup di Simalungun, Sumatera Utara. Salah satu sektor lahan perkebunan PT TPL membentang di Aek Nauli, tempat mereka hidup. Namun hutan tempat mereka bergantung telah dibabat, berganti dengan hutan eukaliptus.
Tak hanya hutan yang hilang. Derita Masyarakat Adat Sihaporas juga terjadi karena hilangnya sumber air. Hengki menyebutkan camp pekerja PT TPL dibangun di umbul air.
“Sudah tak ada yang tersisa untuk masyarakat adat,” ucapnya.
Kondisi air diperparah dengan pencemaran pestisida pada 2019. Penggunaan pestisida yang berlebihan oleh perusahaan itu mengalir ke daerah sumber air minum mereka. Masalah ini dilaporkan ke Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Utara, namun tak jelas ujungnya.
Kerusakan tak hanya terjadi di sekitar masyarakat adat Sihaporas. Seluruh sektor perkebunan PT TPL, terdapat 55 sungai besar dan sudah berpotensi rusak.
Sebanyak 23 komunitas adat, termasuk Sihaporas, pun mengalami ancaman sama. Seluas 20.754 hektar wilayah adat mereka tumpang tindih dengan dengan PT TPL.
“Soal air ini sudah dirasakan merata di semua komunitas adat. Mereka yang hidup berdampingan di sekitar konsesi sangat susah air bersih, bahkan harus menampung dengan tong air besar dari hujan,” jelasnya.
Delima Silalahi dari KSPPM menyebutkan hutan kemenyan tempat masyarakat mencari rezeki pun banyak dialihfungsikan. Beberapa pohon kemenyan dibiarkan tumbuh namun tanaman sekitarnya dibabat. Hal ini sama saja dengan membunuh pohon itu karena kemenyang tak bakal hidup tanpa dampingan pohon lain.
Ia menyebutkan meski kini konsesi PT TPL telah susut, namun kerusakan alam mesti tetap ditanggung masyarakat. Pemerintah membiarkan saja lahan itu, padahal kerusakannya sudah cukup parah.
Lahan di Onan Harbangan misalnya, dari 1.500 ha terdapat 213 ha dalam kondisi kritis. Ketika masyarakat adat bertekad mengembalikan kondisi lahan, mereka mengalami kesusahan karena pembersihan akar eukaliptus harus dilakukan dengan alat berat. Sementara sewa alat berat untuk pembersihan lahan seluas sehektar saja butuh biaya Rp 15 juta.
“Artinya setelah merek merusak, tanah ditinggalkan terus bebannya diberikan ke masyarakat dan negara. Kehancuran itu yang mungkin tidak dipikirkan oleh negara,” keluhnya.
Masyarakat adat dalam intaian kriminalisasi
Nestapa masyarakat adat tak berhenti pada kerusakan alam dan ancaman kemiskinan. Kriminalisasi masih sering terjadi di sekitar konsesi PT TPL. Hengki menyebutkan, sekitar Mei 2023 lalu, tujuh masyarakat adat Sihaporas yang menanami pohon di kawasan sumber air minum tiba-tiba mendapat surat panggilan dari kepolisian.
Surat tersebut langsung menyebutkan ketujuh orang itu sebagai tersangka. Padahal sebelumnya mereka tak pernah mendapat pemeriksaan dan pemberitahuan apapun.
Mereka diantaranya adalah Reimondo, Marihot Ambarita, Risnan Ambarita, Thomson Ambarita, Hitman Ambarita, dan Gindo Siallagan.
“Polisi mengirimkan surat panggilan ke mereka dan menuduh perusakan lingkungan. Ini aneh karena masyarakat adat Sihaporas itu justru hidupnya berdampingan dengan alam,” ucapnya.
Sepanjang 2023 ini saja sudah ada 12 masyarakat adat yang mendapat intimidasi, surat panggilan, tekanan pihak tertentu. Sedangkan dari 2015 silam sampai 2022, hampir 75 orang yang menjadi korban kriminalisasi melalui polisi.
“Lengkap sudah nestapa masyarakat adat ini. Setelah alamnya, mereka jadi korban, dan diintimidasi. mereka tidak pernah mendapat manfaat. Kami semakin tersingkir dan kemiskinan semakin masif,” keluhnya.