Mewaspadai Dimulainya Babat Kalimantan

Penulis : Direktur Direktorat Kehutanan Auriga Supintri Yohar

Opini

Selasa, 27 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pemerintah Kalimantan Utara (Kaltara) mengusulkan pemanfaatan 689.653,33 hektar lahan di kawasan areal penggunaan lain (APL) untuk hutan energi. Usul ini pantas dicurigai sebagai akal-akalan untuk memulai babat Kalimantan. Terlebih, sebuah pabrik kayu berkapasitas besar kini tengah dibangun di provinsi itu.

Tidak ada salahnya mengalokasikan lahan untuk penanaman kayu, termasuk di kawasan APL Tapi kalau usaha dan lahan itu akan diserahkan ke perusahaan, mesti dilihat lebih jauh untung-ruginya. Apakah itu kebijakan yang baik untuk jangka panjang. Adakah  konflik yang akan timbul, dan bagaimana  akses masyarakat terhadap lahan tersebut kedepan ?

Niat mengalokasikan lahan untuk penanaman kayu ini diungkap oleh Pemerintah Kalimantan Utara (Kaltara) melalui Dinas Kehutanan. Mereka mengusulkan 689.653,33 hektar lahan di kawasan APL untuk ditanami pohon bahan baku produk energi terbarukan, kayu jenis kaliandra dan eucalyptus yang nantinya akan diproses menjadi wood pellets.

Usulan penggunaan pun melayang ke Kementerian Investasi /Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini, sebagai fungsi pelayanan pemerintah daerah. Karena sejumlah perusahaan di Kaltara  siap berinvestasi di sektor tersebut.

Foto udara hamparan kebun kayu PT Adindo Hutani Lestari di Kaltara. Lahan APL di Kaltera seluas sekitar 689 ribu hektare diusulkan untuk ditanami tanaman kayu untuk energi terbarukan. Foto: Auriga Nusantara.

Provinsi yang dilahirkan melalui undang-undang nomor 20 tahun 2012, ini memiliki luas total 7,5 juta hektar dan 6,86 juta hektar diantaranya merupakan daratan. Berdasarkan data Kementerian lingkungan hidup dan kehutanan, 75,5 persen daratannya merupakan kawasan hutan.

Kawasan hutan Kaltara, paling tidak telah dibebani izin PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) dalam hutan alam seluas 2.136.196 hektar, PBPH dalam hutan tanaman seluas 244.662 hektar, serta Izin PPKH (Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan)  seluas  15.762 hektar. 

Sedangkan  kawasan APL-nya,  hanya mencakup 24,5 persen luas daratan, dan sebagiannya pun telah dikuasai oleh perusahaan melalui Hak Guna Usaha. Hal ironis kemudian jika sisanya pun juga dialokasikan untuk korporasi usaha hutan tanaman energi.

Disebutkan dalam usulan tersebut, salah satu wilayah potensial terdapat di Kabupaten Malinau, seluas 239.168,01 hektar atau 35 persen dari total usulan.   

Jika wilayah dimaksud merupakan areal yang telah digarap masyarakat maka akan muncul konflik, namun jika wilayah tersebut belum dikelola maka  hutan primer  dan hutan sekunder tersisa di APL  akan disasar. Belum dipublikasi secara tegas wilayah mana yang dimaksud pemerintah provinsi.

Berdasarkan analisis Auriga Nusantara, di APL, di Kabupaten Malinau terdapat tutupan hutan alam seluas 232.337 hektar, terdiri dari tutupan hutan primer seluas 110.291 hektar dan hutan sekunder seluas 122.046 hektar. Sedangkan di kabupaten lainnya, tutupan hutan alam tersisa, masing-masing, Di Kabupaten Nunukan seluas 207.881 hektar, Kabupaten Bulungan seluas 100.436 hektar. Selanjutnya, Kabupaten Tanah Tidung Seluas 54.270 hektar serta Kota Tarakan seluas 1.883 hektar. 

Dengan demikian jika perizinan penanaman kayu akan menyasar wilayah ini, kedepan,  setidaknya 596.807 hektar hutan alam di Kalimantan Utara akan ditebang dan dikuasai oleh korporasi usaha  hutan tanaman energi.

Namun merujuk  permasalahan agraria di Indonesia, Kalimantan Utara bukan wilayah yang belum menyumbang angka  konflik. Provinsi yang kaya sumber daya alam ini juga memiliki konflik lahan, di sekitar  areal perkebunan, dalam konsesi pengelolaan hutan, maupun  konsesi pertambangan. 

Areal kelola masyarakat lokal dan  masyarakat adat masuk dalam konsesi, digusur kemudian berujung konflik tak terselesaikan.

Data TanahKita.id, situs yang dikembangkan koalisi LSM, mencatat dari 2007 hingga 2014, setidaknya terdapat 4 konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan sawit dan usaha sektor kehutanan. Data konflik ini terus bertambah, seiring dengan munculnya proyek skala nasional seperti Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) yang diperkirakan mendatangkan investasi baru senilai 545,3 miliar dolar AS atau Rp 8.128 triliun.

Bahan baku PT Phoenix  

Disisi lain, sebuah perusahaan, modal asing, PT Phoenix Resources International (PRI), sedang membangun industri pulp baru berkapasitas 1,7 juta ton /tahun, di pulau Tarakan. Sebuah perusahaan yang membutuhkan kayu bulat dan lahan luas untuk mendukung operasinya. Bila beroperasi penuh, pabrik yang dibangun dua tahap (phase) ini diperkirakan membutuhkan bahan baku kayu bulat mencapai 3,3 juta ton/tahun. 

Pertanyaannya kayu-kayu itu akan berasal dari mana? Apakah Pemda Kaltara juga menyiapkan lahan untuk pemasok perusahaan ini?  Semua butuh lahan dan sangat luas.

Sementara PT Phoenix Resources International merencanakan phase.1 mulai beroperasi tahun 2024, sedangkan phase.2 akan beroperasi tahun 2027. 

Darimana sumber bahan bakunya? Apakah akan berasal dari kayu-kayu hasil pembersihan hutan (lean clearing) APL seluas 689.653 hektar  ini salah satu harapannya, atau ada areal lain yang akan  dipanen dalam waktu dekat.  

Pembukaan lahan skala besar akan memunculkan dampak lingkungan dan konflik. Pembukaan kawasan  hutan untuk pembangunan hutan tanaman industri dan pembabatan hutan untuk membangun kebun kayu tanaman energi akan berdampak besar baik secara ekologi maupun sosial. 

Pembabatan hutan skala besar ini juga bertentangan dengan  komitmen pemerintah Indonesia yang akan mengurangi angka deforestasi. Serta tidak sejalan dengan komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam menjaga suhu global, dalam Indonesia’s FOLU Net Sink 2030. 

Atas nama kemajuan dan peningkatan iklim investasi  tidak semestinya pemerintah mengorbankan lingkungan dan masyarakat. Semestinya peningkatan iklim kemandirian ekonomi masyarakat yang harus diutamakan dan difasilitasi.