Pemutihan Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan itu Preseden Buruk

Penulis : Kennial Laia

Sawit

Selasa, 27 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Rencana pemerintah untuk memutihkan kebun sawit ilegal seluas 3,3 juta hektare di dalam kawasan hutan dinilai  tidak tepat. Menurut sejumlah penggiat lingkungan dan hutan, kebijakan ini menggampangkan dosa korporasi dan dikhawatirkan menjadi preseden buruk bagi pelanggaran di masa depan. 

Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengungkap, Indonesia memiliki perkebunan sawit seluas 16,8 juta hektare. Di antaranya terdapat kebun sawit ilegal di dalam kawasan hutan seluas 3,3 juta hektare.  

“Iya (akan diputihkan), mau kita apain lagi, masak mau kita copotin? Logikamu saja. Ya kita putihkan terpaksa,” kata Luhut dalam konferensi pers di Jakarta, dikutip Detik.com, Jumat, 23 Juni 2023. 

Menurut Luhut, jika kebun sawit ini menjadi legal, perusahaan akan taat hukum dan membayar pajak. “Kita putihkan dia tapi dia (jadi) taat hukum, bayar pajak, taat aturan, dan seterusnya,” kata Luhut. 

Foto udara hutan lindung Desa Anak Talang di Riau, yang ditanami sawit. Foto: Betahita/Robby

Namun Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara Hilman Afif mengatakan, kebijakan tersebut tidak tepat. Pasalnya, kebijakan ini akan memberikan kemudahan bagi perusahaan yang telah melakukan pelanggaran. 

“Kebijakan ini tidak tepat. Sebab, dengan adanya pemutihan, dosa korporasi yang melakukan degradasi lingkungan otomatis hilang. Padahal ada beban dan pertanggungjawaban yang seharusnya mereka lakukan karena sudah merusak hutan,” kata Hilman kepada Betahita, Senin, 26 Juni 2023. 

Dilansir dari Detik.com, Luhut mengatakan bahwa Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara akan menyelesaikan permasalahan lahan seluas 3,3 juta hektare tersebut sesuai pasal 110 a dan 110 b dalam Undang-Undang Cipta Kerja. 

Kedua pasal tersebut mengatur bahwa perusahaan yang telanjur beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa izin berusaha dapat melanjutkan usahanya dengan melengkapi semua persyaratan dalam kurun waktu tiga tahun serta membayar denda administratif. 

Terkait dengan pasal 110 a, persyaratan berusaha harus dilengkapi dalam kurun waktu tiga tahun. Jika dihitung sejak berlakunya beleid tersebut, maka kurun waktu yang dimaksud adalah pada 2 November 2023. 

Hilman menilai, kedua pasal tersebut tidak serta-merta menghilangkan kemungkinan penjatuhan pidana terhadap korporasi. Jika ditarik ke Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, diatur soal penjatuhan pidana terhadap perusahaan yang melakukan kegiatan ilegal dalam kawasan hutan. 

Hilman mengatakan, pasal 110 a dan 110 b itu harusnya digunakan pemerintah untuk mengidentifikasi entitas yang beroperasi secara ilegal di dalam kawasan hutan. Hal ini telah dilakukan dalam kasus Surya Darmadi, yang merupakan pemilik Darmex Group, dan telah dijatuhi hukuman pada tahun ini. 

“Jika sudah tahu, maka negara harus mengejar peluang atau kemungkinan adanya korupsi. Minta pertanggungjawaban atas kerugian negara dan perekonomian negara yang disebabkan oleh korporasi sawit. Harusnya diarahkan ke sana, bukan diputihkan begitu saja,” tegas Hilman. 

Preseden buruk

Hilman mengatakan, jika dilakukan, kebijakan ini akan menjadi preseden buruk di masa depan.

“Ketika pola ini terjadi di komoditas sawit, sangat memungkinkan dilakukan di komoditas lain seperti tambang dan usaha lainnya yang dilakukan di dalam kawasan hutan. Ini jadi catatan penting agar pemerintah tidak semena-mena menghilangkan dosa korporasi yang melakukan perusakan hutan,” ujarnya. 

Direktur Sawit Watch Achmad Surambo mengungkapkan hal serupa. Dia khawatir jika kebijakan ini akan menjadi celah bagi perusahaan untuk melakukan pelanggaran serupa di masa depan. 

“Perusahaan bisa saja melakukan penyerobotan lahan dalam kawasan hutan, karena ada semacam jaminan (akan diputihkan lagi),” kata Achmad. 

Achmad mendorong agar pemerintah melakukan penyelesaian dengan jangka benah dan reforestasi secara bertahap. Menurutnya hal ini tercantum dalam berbagai kebijakan pemerintah sebelumnya, termasuk aturan jangka benah oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

“Ini bisa jadi salah satu alternatif. Sawit itu tidak langsung dibabati. Bisa diberikan waktu untuk satu daur, sambil melakukan jangka benah, atau proses reforestasi secara bertahap,” kata Achmad. 

Menurut Achmad, sudah ada contoh penegakan hukum yang berhasil dari cara ini. Contohnya kawasan hutan Register 40 yang dikuasai secara ilegal oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit milik DL Sitorus di Padang Lawas, Sumatera Utara. 

Dalam kasus tersebut, salah satu putusan Mahkamah Agung adalah perusahaan diberikan waktu satu siklus tanam sawit, lalu wajib menghutankan lahan tersebut kembali. 

“Pemerintah bisa melakukan hal serupa, seperti kasus Register 40. Lahan bisa dihutankan kembali dengan masa jeda. Dalam tata kelolanya diserahkan ke BUMN untuk mencoba melakukan perbaikan kasus di sana di Register 40," kata Achmad.

“Jadi dihutankan kembali ya, bukan dilepaskan. Dalam konteks ini, untuk petani sawit swadaya, penting untuk dimasukkan ke perhutanan sosial atau dikeluarkan. Tapi untuk korporasi, maka harus ditindak dan dihutan kembali,” tegasnya. 

Achmad juga mendorong agar detail temuan pemerintah terhadap sawit ilegal tersebut dibuka ke publik. “Pemerintah harus transparan untuk membuka data sawit ilegal seluas 3,3 juta hektare tersebut. Di mana lokasinya dan siapa pelakunya,” tutup Achmad.