Kiara: Cabut dan Batalkan Aturan Sedimentasi Laut!

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Kelautan

Selasa, 27 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menganggap Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, penuh masalah, bahkan mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk nelayan dan masyarakat pesisir. Sehingga, Kiara menganggap beleid tersebut semestinya dicabut dan dibatalkan, bukan malah dibuatkan aturan teknisnya.

Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati menyebutkan, seharusnya pemerintah pusat mencabut PP tersebut, karena bertentangan dengan keberlanjutan ekologi dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat.

"Bahkan konsideran PP tersebut bertolak belakang dengan substansi dalam PP itu sendiri. Ini memperlihatkan bahwa logika berpikir pemerintah masih terjebak dalam logical fallacy sehingga kontradiktif antara dasar pertimbangan dan substansi PP tersebut,” kata Susan, dalam pernyataan resminya, Senin (26/6/2023).

Susan melanjutkan, Kiara mencatat bahwa dalam konsideransnya, pertimbangan adanya PP No. 26 Tahun 2023 adalah untuk meningkatkan kesehatan laut melalui pengaturan pengelolaan hasil sedimentasi di laut. Terdapat 2 hasil sedimentasi di laut dimaksud, yaitu pasir laut dan/atau lumpur.

Kapal menambang pasir laut untuk kepentingan infrastruktur seperti reklamasi, infrastruktur dan termasuk ekspor pasir laut. Dok: Istimewa

Jika dibedah lebih lanjut, tujuan utama PP No. 26 Tahun 2023 yang berkaitan dengan meningkatkan kesehatan laut dapat dilihat dalam Pasal 9 ayat (3), yang menyebutkan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa lumpur digunakan untuk rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.

Sedangkan untuk pasir laut, digunakan bukan untuk rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut, melainkan bertujuan untuk menyuplai kebutuhan reklamasi, pembangunan infrastruktur dan prasarana, dan ekspor. Susan menyoroti dalih pemerintah pusat yang menyebut diterbitkannya PP No. 26 Tahun 2023 adalah untuk mencegah penambangan dan ekspor pasir ilegal.

“Kiara melihat hal tersebut akan mengulang kembali kegagalan pemerintah (KKP) seperti yang terjadi dalam pemberlakuan ekspor benih benur lobster di era mantan Menteri KKP Edhy Prabowo. Pemberlakuan kembali izin ekspor pasir laut selain akan akan mengulang kembali kegagalan KKP, juga akan mengorbankan keberlanjutan ekologi pesisir dan laut demi peningkatan pendapatan negara bukan pajak (PNBP),” terang Susan.

PP No. 26 Tahun 2023, lanjut Susan, bukan cara konkret dalam menjaga kesehatan laut Indonesia, tetapi akan melegalkan praktik-praktik perusakan ekologi perairan laut demi peningkatan PNBP. Pertambangan pasir laut juga telah dilegalisasi dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) dengan total alokasi ruang sebesar 63.763,03 hektare di 28 provinsi.

Sedangkan 28 Perda RZWP-3-K juga memberikan alokasi ruang terhadap berbagai proyek reklamasi dengan total luasan 3.506.653,07 hektare. Sehingga jika dilihat secara keseluruhan, maka jelas orientasi penerbitan PP No. 26 Tahun 2023 adalah untuk mensuplai permintaan atas kebutuhan material reklamasi di Indonesia, dan hal tersebut akan dikenakan PNBP sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) dalam PP No. 85 Tahun 2022.

Susan berpendapat, pemberlakuan PP No. 26 Tahun 2023 akan berdampak terhadap berbagai hal, di antaranya adalah perubahan kondisi oseanografi laut, khususnya arus laut yang akan meningkatkan gelombang laut dan meningkatkan abrasi pantai akibat berubahnya kondisi substrat perairan. Susan mengingatkan, tidak ada penambangan yang tidak menyebabkan kerusakan lingkungan. Salah satu contoh nyata yang telah terjadi adalah pertambangan pasir laut di perairan Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan untuk pembangunan Makassar New Port.

"Dari seluruh aktivitas pertambangan pasir laut yang telah terjadi, masyarakat pesisir dan nelayan tradisional menjadi objek utama yang menjadi korban. Hal tersebut juga akan meningkatkan kerentanan mereka di laut,” ujar Susan.

Susan bilang, pemerintah pusat seharusnya mencabut ataupun membatalkan PP No. 26 Tahun 2023 sehingga posisi tersebut akan menegaskan kembali posisi pemerintah yang berpihak kepada perlindungan ekologi laut dan perlindungan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemerintah pusat, dalam hal ini KKP, juga sebaiknya menahan diri untuk membentuk dan mengeluarkan peraturan turunan PP No. 26 Tahun 2023, dengan melihat bahwa PP yang telah dikeluarkan memiliki cacat dalam substansi ataupun secara materiil.

“Belum terlambat bagi pemerintah untuk mencabut ataupun membatalkan PP No. 26 Tahun 2023 karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat untuk perlindungan ekologi dan keberlanjutan profesi nelayan tradisional di Indonesia. Pemerintah harus menjalankan amanat Putusan MK No. 3 Tahun 2010 dan dipenuhinya hak konstitusi masyarakat pesisir,” tutup Susan.