Waspada Pembangunan Kebun Kayu Energi di Kalimantan Utara
Penulis : Hilman Afif, Juru Kampanye Auriga Nusantara dan Adhitya Adhyaksa, Spasial Analis Auriga Nusantara
Analisis
Senin, 03 Juli 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Utara (Kaltara) melalui Dinas Kehutanan, mengusulkan 689.653,33 hektare lahan kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) untuk digunakan sebagai kebun kayu energi atau biasa dikenal sebagai hutan tanaman energi (HTE). Usulan tersebut disampaikan kepada Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sebagai pengelola One Single Submission (OSS).
Turut disampaikan pula, lahan yang diusulkan tersebar di lima daerah kabupaten di Kaltara, dengan potensi terluas berada di Kabupaten Malinau seluas 239.168,01 hektare. Penyampaian tersebut selaras dengan data yang penulis miliki.
Berdasarkan analisis spasial dengan metode tumpang susun (overlay), saat ini luas lahan berstatus APL di Kaltara setidaknya mencapai 1.375.753 hektare. Dari luasan tersebut, setidaknya terdapat 596.876 hektare lahan bertutupan hutan alam. Rinciannya, 180.755 hektare dengan tipe hutan primer dan 416.120 hektare tipe hutan sekunder. Sisanya, 778.877 hektare adalah lahan non-hutan.
Lahan APL dengan tutupan hutan alam terluas berada di Malinau, dengan total luasan yaitu 232.337 hektare. Artinya hampir seluruh lahan APL dengan tutupan hutan alam akan dikonversi menjadi kebun kayu energi.
Alih-alih menyediakan bahan baku untuk mendukung transisi energi, pembangunan kebun kayu energi justru berkontribusi terhadap perubahan iklim melalui peningkatan emisi yang disebabkan oleh deforestasi. Penulis melakukan estimasi pelepasan emisi akibat deforestasi jika pembangunan kebun kayu energi seluruhnya dilakukan di area dengan tutupan hutan alam.
Perhitungan dilakukan menggunakan faktor emisi pada hutan primer dan hutan sekunder di region Kalimantan, yaitu berturut-turut sebesar 721,72 tCO2-e ha dan 495,99 tCO2-e ha. Angka tersebut didapat menggunakan perhitungan dalam Panduan IPCC 2006 yang menyatakan, 1 ton biomassa sama dengan 0,47 ton karbon.
Asumsi data rata-rata biomassa ekosistem hutan di regional Kalimantan bersumber dari dokumen Forest Reference Emission Level (FREL) 2022. Dari dokumen tersebut, diketahui bahwa kandungan biomassa pada tipe hutan primer sebesar 418 t/hektare dan 287 t/hektare pada hutan sekunder.
Untuk mengkonversi karbon menjadi karbon setara emisi atau ekuivalen karbon dioksida (CO2-e) didapat dari perkalian stok karbon dengan faktor 3,67. Dari perhitungan yang dilakukan didapatkan angka total emisi yang akan dilepaskan akibat deforestasi untuk pembangunan kebun kayu energi yaitu sebesar 130.453.669-ton CO2-e dari hutan primer dan 206.393.437-ton CO2-e.
Peta sebaran hutan alam pada APL di Kaltara
Catatan Kritis bagi Pemda Kaltara
Ide pembangunan kebun kayu energi di lahan berstatus APL adalah hal keliru. Dari status lahan saja sudah tidak dapat dibenarkan. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.62/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2019 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri, Pasal 3 menyebutkan bahwa persyaratan areal dalam IUPHHK-HTI (saat ini menjadi PBPH-HT) adalah merupakan kawasan Hutan Produksi Terbatas dan kawasan Hutan Produksi Biasa yang tidak dibebani izin atau hak pengelolaan dan berada pada kawasan hutan yang tidak produktif.
Bukannya melakukan perencanaan penggunaan lahan APL untuk mendukung kegiatan masyarakat, Pemprov Kaltara justru berupaya menembus batas dengan menyurati pemerintah pusat. Narasi peningkatan kesejahteraan masyarakat rasa-rasanya tidaklah pas.
Terlebih, pembangunan kebun kayu energi akan diserahkan sepenuhnya kepada korporasi. Penggunaan lahan APL untuk korporasi hanya akan memperparah perebutan ruang hidup masyarakat. Maka, lagi dan lagi, masyarakat selalu menjadi subjek yang dirugikan.
Pemerintah daerah seharusnya tidak terburu-buru melakukan pengusulan kepada pemerintah pusat. Apalagi lahan yang tersedia masih bertutupan hutan alam. Laporan Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) 2022 telah memberi peringatan, bila produksi biomassa dilakukan secara serampangan, terutama dalam skala besar di atas lahan yang perlindungan kepemilikannya tidak kuat, hanya akan memberi dampak buruk seperti kerusakan ekosistem, pangan dan air, serta kehidupan lokal dan hak masyarakat adat. Sehingga, penulis berpendapat, perlu penelitian mendalam menyoal kebutuhan pembangunan kebun kayu energi sebagai pendukung ekosistem transisi energi ini.