Koalisi Masyarakat Sipil: Bebaskan Pembela Lingkungan Vietnam

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Jumat, 30 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Koalisi masyarakat sipil Indonesia desak pembebasan pengacara lingkungan Vietnam, Dang Dinh Bach.  Ia diduga dikriminalisasi dengan menggunakan pasal penghindaran pajak dan dijatuhi penjara 5 tahun di karena mengkampanyekan pengurangan penggunaan batu bara di negaranya.. 

Bach merupakan Direktur Law and Policy of Sustainable Development Research Centre. Ia melakukan aksi protes terhadap kriminalisasi atas dirinya dengan melakukan mogok makan sejak 24 Mei 2023. Aksi ini akan dilakukan hingga bebas dari kriminalisasi.

“Bach mengadvokasi ketergantungan Vietnam terhadap batubara. Ia melakukan 17 hari penolakan, sampai pada tahun 2021, sebelum akhirnya Ia ditangkap,” ujar Asep Komarudin dari South East Asia Public Interest Lawyer (SEAPIL), seperti dikutip dari rilis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Kriminalisasi terhadap Bach merupakan bentuk ancaman terhadap kebebasan masyarakat sipil yang semakin meningkat di Asia Tenggara, tak terkecuali di Indonesia. Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, Zainal Arifin berpendapat solidaritas antar masyarakat sipil di berbagai negara harus diperkuat. Kasus dugaan kriminalisasi Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, misalnya, menunjukkan ancaman ini. 

Poster kampanye hentikan kriminalisasi masyarakat sipil Indonesia. Foto: LBH Pers

Keduanya pimpinan lembaga yang fokus pada isu HAM, dan pada hari ini. Kalau dulu ancaman kriminalisasi itu terjadi pada warga di tapak, kata dia, hari ini ancaman itu juga menyerang para pendamping warga. Orang-orang yang kerap menjadi pendamping hukum dari masyarakat di ruang persidangan.

“Polanya meningkat, dengan varian ancaman yang makin beragam, seperti UU ITE, atau kriminalisasi Budi Pego yang menggunakan pasal penyebaran komunisme,” ujar Zainal.

Pengkampanye Human Rights Working Group (HRWG), Jesse Adam Halim, menyebutkan kriminalisasi Bach di Vietnam sama dengan kriminalisasi Haris-Fatia di Indonesia dan sama dengan kematian misterius aktivis Bounsouan Kitiyano di Laos. Semuanya merupakan upaya pemberangusan terhadap kebebasan sipil terutama kepada pengkritik kekuasaan. 

Menurutnya Indonesia sebagai negara di kawasan ASEAN yang sering disebut sebagai the most democratic country in the region, juga tidak lebih baik. Kriminalisasi juga terjadi  di Labuan Bajo, saat gelar ASEAN Summit lalu. 

“Saat itu ada dua masyarakat sipil yang dikriminalisasi karena memprotes perampasan lahan terkait penyelenggaraan ASEAN Summit tersebut. Ini terjadi dalam rangka perhelatan akbar ASEAN, sebuah lembaga yang secara resmi di ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint-nya  mengakui partisipasi masyarakat sipil,” ucapnya.

Bach bukan satu-satunya aktivis di Vietnam yang dikriminalisasi menggunakan pasal penghindaran pajak. Nguy Thi Khanh, penerima penghargaan Goldman Environmental Prize yang juga ditangkap dengan tuduhan yang sama namun telah dibebaskan setelah dipenjara 16 bulan. Mirisnya, pemenjaraan aktivis lingkungan oleh pemerintah Vietnam dilakukan setelah Vietnam menyampaikan komitmen untuk mencapai target net zero emission pada tahun 2050 dan mendapat bantuan skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai 15,5 miliar dolar AS.

Direktur Program Trend Asia. Ahmad Ashov Birry, mengatakan Indonesia juga mendapat bantuan skema JETP namun juga memendam ironi dengan adanya kriminalisasi terhadap warga yang menolak tambang. Misalnya saja, warga Halmahera Timur yang menolak tambang mineral dan warga Kalimantan Timur yang menolak pertambangan batubara.

“Indonesia mendapat komitmen bantuan pendanaan skema JETP sebesar US$20 miliar. Penahanan sewenang-wenang ini mengganggu prinsip partisipasi publik yang seharusnya dijamin untuk mencapai transisi berkeadilan. Di Indonesia, pelibatan masyarakat sipil secara luas dan bermakna dalam skema pendanaan transisi seperti JETP masih minim, terutama bagi warga yang terdampak langsung,” ujar juru bicara #BersihkanIndonesia ini. 

Ade Wahyudin dari LBH Pers mengatakan pemerintah, khususnya di negara-negara Asia Tenggara, harus menghentikan kriminalisasi terhadap para pejuang HAM. Ia mengungkapkan pola kriminalisasi di negara-negara tersebut sama, ketika yang dilaporkan aktivis, masyarakat, atau jurnalis, aparat penegak hukum dengan cepat memproses. Ini terbalik ketika aktivis, pengacara publik, masyarakat, atau jurnalis yang melapor, tapi prosesnya lambat. 

“Di Indonesia, di Makassar misalnya, ada jurnalis yang melapor, tersangkanya sudah ada, tapi tidak ada progres,” ujar Ade Wahyudin. 

Kriminalisasi semacam ini, semakin mempersempit ruang partisipasi masyarakat sipil dan bentuk pemberangusan di Asia Tenggara. Yuyun Wahyuningrum dari AICHR mengatakan bahwa sudah waktunya negara-negara di Asia Tenggara memiliki Undang-Undang yang melindungi para pegiat HAM. Ia mengaku menerima banyak aduan harassment terhadap human rights defender.