Walhi: Pemutihan Sawit adalah Ketundukan Pemerintah ke Korporasi

Penulis : Aryo Bhawono

Sawit

Jumat, 30 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan, mengatakan pemerintah akan memutihkan 3,3 juta hektar kebun sawit dalam kawasan hutan. Walhi menganggap langkah itu adalah tunduknya pemerintah kepada korporasi sawit dan rentan jadi ruang transaksional di tahun politik.

Luhut menyebutkan pemerintah terpaksa akan memutihkan 3,3 juta ha kebun dalam kawasan hutan karena Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).  UU itu menyebutkan dalam Pasal 110 A dan 110 B bahwa  kegiatan usahanya sudah terbangun di wilayah hutan produksi, bisa mengajukan pelepasan atau pemutihan.

"Ya mau kita apakan lagi, masa mau kita copot ya kan nggak, logika kamu saja, ya kita putihkan. Terpaksa," kata Luhut saat konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/6).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) beranggapan pengampunan kejahatan kehutanan oleh pengurus negara kepada korporasi-korporasi sawit ilegal dalam kawasan hutan adalah bentuk lemahnya penegakan hukum. Bahkan, deadline 2 November 2023 untuk mekanisme pengampunan kejahatan kehutanan melalui pasal 110 A dan 110 B undang-undang Cipta Kerja sangat rentan menjadi ruang transaksional di tahun politik. 

Deforestasi di konsesi perkebunan PT Sawit Mandiri Lestari, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Foto: Betahita/Ario Tanoto

Luhut sendiri saat ini juga menjabat sebagai Ketua Pengarah Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara. 

“Pernyataannya untuk melakukan pemutihan karena tidak mungkin untuk mencopot sawitnya adalah bentuk ketundukan negara terhadap korporasi sekaligus pembiaran terhadap kejahatan lingkungan,” tulis keterangan pers tersebut.

Sejak 13 tahun yang lalu, pemerintah telah memberikan ruang pengampunan untuk korporasi yang melakukan kejahatan kehutanan, melalui PP Nomor 60 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta PP Nomor 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan. 

Kedua peraturan ini memberikan waktu kepada korporasi yang beraktivitas dalam kawasan hutan untuk mengurus kelengkapan administrasi paling lama enam bulan sesuai  PP No 60 Tahun 2012 dan 3 tahun untuk PP 104 Tahun 2015. Korporasi-korporasi yang beraktivitas ilegal dalam kawasan hutan dapat beraktivitas secara legal dengan mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan jika mengurus seluruh administrasi yang ditentukan. 

Kini setelah kedua peraturan itu berlalu, pemerintah justru  memberikan kembali ruang pengampunan kejahatan melalui pasal 110 A dan 110 B Undang-undang Cipta Kerja.. Menurut Walhi ribuan entitas hukum perusahaan sawit,sebanyak 90 persen adalah korporasi sawit. 

Analisa data yang dilakukan oleh WALHI, dari korporasi-korporasi yang diidentifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagian besarnya tergabung dalam grup besar sawit di Indonesia. Bahkan, selain beraktivitas illegal dalam kawasan hutan, sebagian besar korporasi tersebut melakukan pelanggaran lainnya, seperti kebakaran hutan dan lahan serta perampasan tanah yang menyebabkan konflik dengan masyarakat. 

“Salah satu contohnya, PT Bumitama Gunajaya Agro (PT BGA) yang mengajukan keterlanjuran melalui pasal 110 A dan 110 B hingga saat ini berkonflik dengan masyarakat di Kinjil, Kalimantan Tengah, bahkan melakukan kriminalisasi terhadap 3 orang masyarakat,” tulis mereka

Selain itu, kerugian perekonomian negara dari praktik kejahatan tersebut seperti banjir, longsor, kekeringan, kebakaran, juga harus ditanggung oleh rakyat dan negara. Jika diakumulasikan semua kerugian negara dan kerugian perekonomian negara jauh lebih besar dari denda yang diperoleh negara. 

Selain itu ada kasus Surya Darmadi yang diputus bersalah karena telah melakukan korupsi perizinan dan pencucian uang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,2 triliun dan kerugian perekonomian negara sebesar Rp 39,7 triliun. Beberapa perusahaan Surya Darmadi yang menjadi objek kasus juga mengajukan pengampunan melalui pasal 110 A dan 110 B undang-undang Cipta Kerja. 

Kerugian dari kebakaran hutan dan lahan juga sangat besar. Kerugian dari kebakaran hutan 2015 sebesar Rp 220 triliun dan pada 2019 sebesar Rp 75 triliun. 

Artinya, fakta-fakta ini cukup kuat untuk melakukan penegakan hukum terhadap korporasi-korporasi yang sekian lama telah meraup keuntungan dari hasil kejahatan, bukan malah bertindak seperti konsultan korporasi yang tertutup dalam proses 110 A dan 110 B, namun hadir di publik dengan narasi ketidakmungkinan penegakan hukum dari pada pemutihan pelanggaran. 

“Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) sekaligus Ketua Pengarah Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara harus menjelaskan siapa sebenarnya yang memaksa pemerintah untuk memutihkan 3,3 juta hektar sawit dalam kawasan hutan ini,” lanjut rilis tersebut.

Walhi beranggapan seharusnya pemerintah membuat regulasi mekanisme tagihan tanggung gugat ke korporasi, sebab dibalik aktivitas illegal selama belasan tahun ini terindikasi adanya korupsi dan pencucian uang. Selain itu, jika pengurus negara tidak berani untuk melakukan penegakan hukum terhadap korporasi-korporasi yang telah melakukan kejahatan kehutanan, maka sudah seharusnya melakukan blacklist terhadap korporasi ini.