Bangka Belitung Dalam Ancaman PP Pengelolaan Sedimentasi Laut

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Selasa, 04 Juli 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Walhi Kepulauan Bangka Belitung khawatir PP No.26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimen Pasir Laut bakal kian memperparah kondisi Kepulauan Bangka Belitung. Sebelum adanya peraturan ini saja, perairan kepulauan itu sudah terkoyak oleh tambang laut. 

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kepulauan Bangka Belitung, Jessix Amundian, mengungkapkan penambangan di perairan Bangka Belitung dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari kapal keruk, kapal isap, ponton isap, hingga rajuk. 

Data Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2013, terdapat 68 kapal isap produksi (KIP) milik PT. Timah dan 6 milik swasta, serta ribuan tambang apung yang mengelilingi Pulau Bangka.

“Aktivitas penambangan timah di perairan ini menyisakan tailing. Diperkirakan jutaan ton tailing yang mengendap di daratan dan dasar perairan Kepulauan Bangka Belitung,” ungkapnya melalui pernyataan pers.

Operasi kapal isap produksi berinisial P dan S di Bangka dihentikan oleh KKP lantaran diduga melakukan pelanggaran zona penambangan. Foto: KKP

Beberapa tahun terakhir, kata dia, muncul informasi jika tailing penambangan timah terdapat mineral ikutan yang disebut rare earth, yang selama ini belum termanfaatkan. Mineral ini berguna bagi teknologi komunikasi, penerbangan, energi, otomotif, kesehatan, hingga pertahanan. Diduga pada jutaan ton tailing yang mengendap di dasar perairan terdapat rare earth.

Selain itu, pasir yang berada di dasar perairan di Kepulauan Bangka Belitung, belum semuanya dieksplorasi timahnya. Pasir ini diduga mengandung timah dan rare earth.

Ia khawatir jika PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimen Pasir Laut ini hanya menjadi kedok bagi pemerintah untuk mengeruk mineral ikutan ini serta melanjutkan eksplorasi timah. Karena pada meski memakai judul ‘Pengelolaan Sedimen Laut’ namun aktivitas di lapangannya sama, yakni pengerukan.   

“Berdasarkan kajian kami, PP tersebut justru mendorong kian maraknya aktivitas penambangan di perairan Kepulauan Bangka Belitung. Dapat dibayangkan hadirnya ratusan hingga ribuan kapal isap di perairan Kepulauan Bangka Belitung,” ucapnya. 

Kepulauan Bangka Belitung sendiri terbentuk dari batuan granit yang berusia ratusan juta tahun. Batuan granit ini mengalami pelapukan selama ribuan tahun, yang menghasilkan beragam mineral (non logam dan logam). Timah merupakan salah satu mineral dari pelapukan ini, secara alami hasil pelapukan mengalir ke wilayah rendah, seperti sungai dan rawa, termasuk ke wilayah pesisir dan laut.

Kepulauan Bangka Belitung yang luasnya mencapai 8,1 juta hektar, sekitar 6,5 juta hektar merupakan perairan. Kepulauan yang berusia sekitar 250 juta tahun yang terdiri 948 pulau kecil, dan dua pulau besar, merupakan bagian tin belt Asia Tenggara.Daratan dan perairan di Kepulauan Bangka Belitung kaya dengan timah.

Selama ini enambangan timah di perairan telah menyebabkan berbagai kerusakan lingkungan hidup dan sosial. Pertama, meningkatnya konflik antara penambang timah dengan masyarakat adat. Sekitar 480 ribu masyarakat adat di wilayah pesisir, kehilangan atau menurun pendapatannya dari hasil tangkapan perairan.

Kedua, kerusakan terumbu Karang. Analisis citra tahun 2017, terumbu karang yang sebelumnya seluas 82.259,84 hektar (2015), tersisa 12.474,54 hektar. Sekitar 5.720,31 hektar terumbu karang mati. 

Ketiga, selama 20 tahun terakhir, sekitar 240.467,98 hektar mangrove di Kepulauan Bangka Belitung mengalami kerusakan, tersisa 33.224,83 hektar. Tahun 1993, luas mangrove di Kepulauan Bangka Belitung 273.692,81 hektar.

Keempat, dampak buruk sosial dan budaya, misalnya rusaknya lokasi ritual sedekah laut suku melayu di Tempilang, Kabupaten Bangka Barat. Selain itu muncul fenomena ngereman (meminta jatah pasir timah dari penambang) yang dilakukan perempuan dan anak-anak.  

Ribuan anak usia sekolah pun putus sekolah karena terlibat aktivitas pertambangan timah. Misalnya, tahun 2020 (61 anak sekolah dasar), tahun 2021 (193 anak sekolah dasar), sementara anak SMP atau sederajat yang putus sekolah sebanyak 37 (2020), 197 (2021), serta serangan penyakit kulit , malaria, dan krisis air bersih.

Kelima, kerusakan benteng daratan, yakni mangrove dan terumbu karang, maka bencana alam pun hadir.  Kajian Bencana Kepulauan Bangka Belitung 2016-2020 oleh BNPB menyebutkan potensi luas bahaya gelombang ekstrim dan abrasi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan total luas bahaya mencapai 42.245 hektar. Potensi kerugian fisik mencapai 2,6 miliar rupiah; kerugian ekonomi 8,31 miliar rupiah; kerusakan lingkungan mencapai 13.477,00 hektar; serta 53.663 jiwa berpotensi terpapar bahaya gelombang ekstrim dan abrasi.

Keenam, korban jiwa aktivitas tambang laut. Pada tahun 2022 dan 2023, tiga penambang tewas di perairan Bangka Selatan dan Perairan Matras.

“Beranjak dari hal itu, kami dari Walhi Kepulauan Bangka Belitung menilai PP Pengelolaan Sedimentasi Laut merupakan ancaman baru bagi bencana ekologis, sehingga kami  menyatakan menolak dan menuntut pencabutan PP Nomor 26 Tahun 2023,” pungkas Jessix.