Limbah Nikel Paksa Warga Tiga Desa di Kolaka Utara Mengungsi

Penulis : Aryo Bhawono

Tambang

Kamis, 06 Juli 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Limbah tambang nikel PT Kasmar Tiar Raya memaksa warga di tiga desa di Kecamatan Batuputih, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara mengungsi. Tanaman sagu mereka sudah banyak yang mati akibat lumpur tebal limbah tambang.

Menurut warga, pencemaran pengelolaan tambang oleh PT Kasmar Tiar Raya sudah berlangsung lama. Dampak pencemaran lingkungan ini terjadi di Desa Lelewawo, Mosiku dan Tetebo. 

"Kalau di Desa Lelewawo sudah tercemar sampai ke permukiman. Kami hanya minta permukiman kami kembali bersih seperti sebelum adanya tambang," kata salah seorang warga, Busra Yunus. 

Tanaman sagu milik warga sudah banyak yang mati akibat lumpur tebal limbah tambang. Padahal tanaman sagu tersebut merupakan sumber penghidupan warga di desanya. 

Sisi telaga Legaelol yang berubah warna sejak aktivitas tambang nikel di perkampungan Sagea. Dok Koalisi SEKA

"Sudah sering kami protes, tapi diabaikan. Bahkan sudah ada tiga kepala keluarga yang mengungsi karena rumah mereka terancam longsor bekas tambang," ujarnya.

Nirwan, warga lainnya menimpali. pengelolaan tambang nikel secara serampangan, warga di tiga desa di Kecamatan Batuputih, mengalami kerugian materil miliaran rupiah.

"Sama sekali tidak ada tanggung jawab dari perusahaan, kami dibiarkan menderita. Permukiman dan kebun kami sudah tertimbun lumpur tebal," kata Nirwan.

Mereka berharap, pemerintah dan aparat penegak hukum tegas dan menghentikan segala aktifitas tambang nikel tersebut. 

Sementara itu dikutip dari lentera sultra, Kepala Bidang Penataan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), Ukkas menegaskan, diketahui titik ketinggian dan kemiringan lereng dari aktifitas perusahaan menyebabkan limpasan air lumpur mengalir ke sebelah timur wilayah IUP dan mengarah pada pemukiman, perkebunan dan persawahan.

“Tidak bisa seluruhnya lahan terdampak kami bisa jangkau karena lumpurnya semakin dalam,” bebernya dalam RDP bersama masyarakat terdampak, pihak PT KTR dan instansi terkait.

Bukaan lahan dari aktifitas PT KTR mengakibatkan bila terjadi hujan maka akan membawa sediment padat berupa lumpur ke dataran rendah. Akibatnya, dua sungai kecil di Desa Lelewawo dan Mosiku mendangkal dan airnya berwarna merah kecoklatan. “Sedimen mengalir hingga ke laut,” ujarnya.

Fakta di lapangan juga menunjukkan jika limpasan air berlumpur itu juga meluber masuk ke lahan perkebunan dan persawahan masyarakat. Beberapa diantara pemilik lahan pasrah karena tanaman jadi kerdil, mati hingga tanahnya tidak bisa ditanami lagi.

Fakta lain dikemukakan DLH yakni saluran dan sediment pond PT KTR tidak efektif. Akibatnya, lumpur akan melumuri jalan, lahan pertanian hingga sungai saat hujan lantaran penampungan itu meluap.

Tidak hanya itu, PT KTR sejak beroperasi hingga kini juga disebut belum pernah melaporkan pelaksanaan RKL-RPL secara periodik. Padahal, hal itu tertuang dalam surat kelayakan keputusan lingkungan nomor 660.1/223/2011 tentang kelayakan lingkungan hidup.

Masyarakat Lelewawo dan Mosiku mendesak PT KTR melakukan ganti rugi akibat lumpur yang melumuri lahan pertanian mereka. PT KTR juga diminta berhenti beroperasi untuk sementara waktu sebelum ada solusi yang ditawarkan.