Perbankan Nasional Terus Danai Proyek PLTU Batu Bara Baru

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Senin, 10 Juli 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Perbankan nasional masih menyalurkan dana untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru. Ini terjadi di tengah upaya transisi ke energi bersih di dalam negeri, untuk menghindari dampak terburuk krisis iklim yang tengah terjadi di seluruh dunia. 

Pada 12 Mei 2023, PT Adaro Energy Indonesia Tbk mendapatkan suntikan dana sebesar US$ 1,75 miliar melalui skema pinjaman sindikasi dari lima bank swasta dan badan usaha milik negara (BUMN). Kelima bank – Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Central Asia (BCA), dan Bank Permata – akan membiayai pembangunan PLTU batu bara berkapasitas total 1,1 gigawatt untuk melistriki smelter aluminum milik Adaro di Kawasan Industri Hijau Kalimantan Utara. 

“Tren yang ada saat ini bank-bank di seluruh dunia mulai meninggalkan batu bara. Beberapa bank di dalam negeri mulai menyatakan komitmen, seperti BNI dan BRI, tetapi malah bergabung dalam sindikasi pembiayaan PLTU batu bara milik Adaro,” kata Nabila kepada wartawan di Jakarta, Kamis, 6 Juli 2023. 

"Jika diteliti, empat bank BUMN besar ini tidak memiliki kebijakan pembatasan pendanaan untuk PLTU batu bara. Di sektor pertambangan, tidak sejalan dengan kebijakan bank atau penyandang dana internasional," tambah Nabila. 

Anak muda dari berbagai kampus dan komunitas gerakan perubahan iklim kembali menggela aksi di depan kantor BNI Jakarta, dengan desakan penyetopan pendanaan batu bara. Foto: Istimewa

Berdasarkan data Market Forces, Bank Mandiri mengucurkan kredit sebesar US$ 585 juta, BRI US$ 450 juta, BNI US$ 350 juta, BCA US$ 270 juta, dan Bank Permata US$ 100 juta untuk Adaro. Perusahaan tersebut berencana membangun smelter dalam tiga tahap, dengan kapasitas 500 ribu ton per tahun.  

Di kawasan hijau tersebut, Adaro rencananya masih menggunakan batu bara sebagai sumber energi utama pada dua fase pertama. Baru pada fase ketiga Adaro beralih ke pembangkit listrik tenaga air yang sedang dibangun. 

Nabila memperkirakan proyek tersebut akan menghasilkan emisi karbon sebesar 5,2 juta ton CO2 ekuivalen per tahun. “Pertanyaannya, rata-rata masa operasi PLTU batu bara itu 20-30 tahun. Jadi apakah benar akan diganti atau diteruskan penggunaannya?” kata Nabila. 

Direktur Center for Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, keputusan pendanaan PLTU batu bara kelima bank tersebut berlawanan dengan tren internasional saat ini. Sebagai contoh, penyandang dana untuk Adaro sebelumnya, termasuk Bank CIMB Niaga, Standard Chartered, Bank Mizuho, dan Bank HSBC, kini menarik diri dari pembiayaan perusahaan tersebut setelah membuat komitmen beralih dari bisnis batu bara. 

Pembiayaan tersebut juga bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk mencapai net zero pada 2050. Pemerintah juga memiliki program penutupan PLTU batu bara untuk memenuhi target iklim Enhanced NDC, sesuai dengan Perjanjian Paris. 

Tahun lalu, pemerintah juga telah menerima komitmen pendanaan transisi energi dari negara-negara kaya, melalui mekanisme Just Energy Transition Partnership (JETP), sebesar US$ 20 miliar atau sekitar Rp 294,3 triliun (asumsi kurs Rp 14.718 per dolar Amerika). 

Bhima mengatakan, pendanaan perbankan nasional yang tidak selaras dengan komitmen transisi energi itu akan berpengaruh negatif pada upaya pemerintah saat ini. 

“Ada kemungkinan reputasi bisa menurun. Tren global saat ini menunjukkan bahwa deposan dan investor internasional bisa meninggalkan bank tertentu, kemudian memindahkan aset dan dananya ke ke bank yang menjauhi portofolio pembiayaan batu bara,” kata Bhima. 

“Ini menjadi pertanyaan, karena upaya transisi pemerintah dan bank BUMN seolah saling meniadakan,” tambah Bhima. 

Bhima memaparkan, pembiayaan PLTU batu bara ini dikhawatirkan akan berisiko negatif pada bank dalam jangka panjang. Selain risiko penurunan reputasi, proyek ini juga dapat menjadi stranded asset ketika kebijakan mengarah pada pensiun batu bara. 

Sepanjang periode 2015-2021, total pinjaman langsung yang diberikan empat bank ini mencapai US$ 3,5 miliar. 

Berdasarkan penelitian Celios, bisnis pembiayaan PLTU batu bara tidak feasible atau layak secara ekonomi. Proyek ini justru berpotensi merugikan investor, termasuk kreditor dan pemegang obligasi. Kemudian masih banyak risiko lainnya, termasuk peningkatan pajak karbon dan kemungkinan batu bara ditinggalkan ketika dunia beralih ke sumber energi bersih seperti tenaga surya dan angin. 

“Ada risiko bom waktu kredit macet karena ekonomi yang tidak feasible di mana tren di seluruh dunia mulai meninggalkan batu bara, dan efeknya akan sistemik. Hanya bank nekat yang masih mau membiayai batu bara,” pungkas Bhima.