Walhi Sulbar Minta Gakkum Tindak Tambang Batu Gajah di Majene
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Kamis, 13 Juli 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Operasi pertambangan batu gajah PT PBM di desa Banua Sendana, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat (Sulbar) dinilai ilegal, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulbar. Kelompok masyarakat sipil tersebut mendesak Direktorat Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) ambil tindakan.
"Berdasarkan hasil analisis hukum dan dokumen yang telah dilakukan, kami menyimpulkan bahwa operasi produksi tambang batu gajah PT Putra Bonde Mahatidana yang terletak di Desa Banua Sendana adalah operasi produksi pertambangan yang ilegal, cacat prosedural dan tidak mematuhi aturan hukum yang berlaku," kata Alfarhat Kasman Juru Kampanye Walhi Sulbar, melalui rilis resminya, dikutip dari Tribun Sulbar.
Alfarhat bilang, penilaian tersebut berdasarkan beberapa temuan. Pertama, berdasarkan aturan hukum yang berlaku dalam ketentuan Undang-undang No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dalam Pasal 1 ayat 13 a, terdapat perubahan nomeklatur khusus untuk pertambangan kategori batuan dari yang sebelumnya disebut sebagai Izin Usaha Pertambangan (IUP) menjadi Surat Izin Usaha Pertambangan Batuan (SIPB).
Kedua, pada Pasal 86 A ayat 4, ditegaskan bahwa penerbitan izin (SIPB) hanya dapat diberikan oleh pemerintah pusat dalam hal ini kementerian. Di sisi lain, pengembalian kewenangan pemerintah provinsi dalam rangka menerbitkan izin usaha pertambangan itu terjadi setelah presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang telah disahkan pada 11 April 2022.
Oleh karenanya, Walhi Sulbar menyimpulkan, sejak UU Minerba, diundangkan pada 10 Juni 2020, penerbitan SIPB telah diambil alih oleh pemerintah pusat. Dengan begitu, kembali diserahkan ke pemerintah provinsi setelah presiden mengesahkan Perpres No 55 Tahun 2022.
"Itu artinya, dalam kurung waktu 2 tahun, pemerintah provinsi tidak memiliki kewenangan dalam menerbitkan izin usaha pertambangan," ungkapnya.
Sementara itu, berdasarkan dokumen perizinan yang dimiliki oleh PT PBM, mereka masih menggunakan istilah IUP dan proses penerbitannya ditandatangani oleh Gubernur Sulawesi Barat pada 15 Oktober 2020.
Temuan ketiga, dengan tidak ditemukannya data wilayah konsesi dari PT PBM dalam peta spasial yang disediakan oleh pemerintah, semakin menguatkan bahwa pertambangan yang dilakukan oleh PBM ilegal dan melanggar ketentuan aturan perundang-undangan yang berlaku.
"Makanya, kami menuntut agar Gakkum dan pihak yang berwajib agar segera melakukan penindakan atas dugaan operasi pertambangan illegal yang dilakukan oleh PT Putra Bonde Mahatidana," tandasnya.
Pada publikasi sebelumnya, Walhi Sulbar menengarai wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) PT PBM mengakibatkan beberapa lahan warga tercaplok. Selain itu, warga berpendapat pertambangan itu berpotensi mengakibatkan bencana ekologis.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari tapak, lanjut Walhi Sulbar, komoditas tambang yang nantinya akan diproduksi oleh PT PBM, akan dikirim ke Kawasan Ibu Kota Negara (IKN) melalui Pelabuhan Perikanan Nusantara yang terletak di wilayah Palipi.
Seperti sejak awal, lanjut Walhi, pemindahan IKN tidak hanya akan menjadi program yang merusak wilayah yang akan menjadi tempat berdirinya IKN baru, tetapi wilayah yang dianggap atau ditetapkan menjadi penyangga IKN, juga secara perlahan akan dirusak dan dihancurkan.
Menurut Walhi Sulbar, PT PBM sekalipun tidak pernah secara jujur untuk menyampaikan dampak dari daya rusak yang akan dihasilkan dari eksploitasi pertambangan tersebut. Padahal, warga selama ini menuntut agar dokumen UKL-UPL dari operasi produksi diperlihatkan kepada warga, tetapi hingga saat ini, perusahaan serta pemerintah masih menyembunyikan dokumen tersebut.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan untuk memuluskan rencana tersebut, di antaranya adalah, dengan mengerahkan Oknum yang diduga aparat keamanan setempat untuk mengintimidasi warga, agar warga menandatangani surat perjanjian penyerahan lahan mereka.
Selain itu, untuk lahan yang akan menjadi akses jalan tambang, PT PBM, berniat untuk menyewa lahan tersebut dengan biaya 500 ribu untuk waktu 6 bulan. Sementara, lahan tersebut merupakan lahan produktif, terdapat tanaman pohon kelapa yang notabenenya menjadi sumber penghidupan warga.
Jika lahan tersebut diserahkan, secara otomatis warga akan kehilangan sumber penghidupannya, dan jika warga menolak untuk menyerahkan lahan, maka warga akan dilaporkan ke pihak yang berwajib.