Usulan Revisi RTRW Kaltim Sarat Kepentingan Korporasi

Penulis : Aryo Bhawono

Hutan

Senin, 10 Juli 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur merencanakan pelepasan dan penurunan status kawasan hutan seluas 612.355 hektar melalui revisi RTRW. Koalisi Indonesia Memantau menganggap revisi ini sarat kepentingan korporasi dan mengorbankan masyarakat serta lingkungan.

Rencana pelepasan dan penurunan status kawasan hutan Kaltim ini terungkap dalam peta usulan revisi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kaltim yang diperoleh oleh Koalisi Indonesia Memantau.

Total terdapat  lahan seluas 736.055 hektar yang diusulkan dalam revisi RTRW. Seluas 612.366 ha atau 83,19 persen berupa pelepasan kawasan hutan. Seluas 101.788 ha atau 13,38 persen akan mengalami penurunan status kawasan hutan.

Hanya seluas 19.858 ha atau 2,7 persen mendapat peningkatan status kawasan hutan. Dan sisanya, seluas 2.054 ha atau 2,7 persen tidak berubah statusnya. 

Tampak dari ketinggian tutupan hutan alam yang hilang di konsesi PT WKL di Kaltim./Foto: Auriga Nusantara

Juru Kampanye Auriga Nusantara, Hilman Afif, menyebutkan revisi RTRW Kaltim justru akan mendegradasi lingkungan melalui potensi deforestasi. Artinya 97 persen dari peta usulan ini, pelepasan hutan dan penurunan status kawasan hutan, berdampak pada kawasan hutan. 

Analisis data spasial yang dilakukan menyebutkan setidaknya hutan alam seluas 408.225 ha akan terdegradasi.

“Analisis spasial yang dilakukan, terdapat ancaman terhadap hutan alam seluas 408.225 ha atau 55,46% dari total luas lahan dalam usulan revisi RTRW,” ucapnya dalam konferensi pers. 

Auriga sendiri merupakan bagian dari Koalisi Indonesia Memantau bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Forest Watch Indonesia (FWI), WALHI Kalimantan Timur, dan Aliansi MAsyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur. 

Pada kawasan hutan yang akan dilepaskan telah terdapat 156 izin konsesi perusahaan, baik pertambangan, monokultur sawit skala besar, dan kebun kayu. Izin konsesi ini diantaranya seluas 138.021 ha yang masuk dalam usulan pelepasan adalah lahan dengan izin IUPHHK-HT (saat ini PBPH-HT). Korporasi yang terdeteksi dalam Kawasan tersebut sejumlah 39 perusahaan. 

Sebesar 98 persen dari total luasan tersebut berupa pelepasan kawasan hutan. Selain itu, seluas 25.684 ha masih berupa tutupan hutan alam.

Seluas 164.429 ha telah dibebani oleh 101 IUP Pertambangan. Lebih rinci, 106.782 hektar (65 persen) diusulkan untuk pelepasan status kawasan hutan dan 56.395 ha (34 persen) merupakan penurunan status kawasan dari Hutan Lindung menjadi Hutan Produksi Terbatas. 

Seluas 100.323 ha masih berupa tutupan hutan alam. Selain itu, seluas 3.824 ha telah dibebani 16 izin perkebunan kelapa sawit dan seluruhnya berupa penurunan status Kawasan hutan menjadi APL.

Badak dan orang utan terancam revisi RTRW 

Revisi RTRW ini juga mengancam spesies kunci, yakni orang utan dan badak Kalimantan. Seluas 467.792 ha atau 64 persen kawasan itu merupakan habitat orang utan yang turut diusulkan dalam pelepasan dan penurunan status kawasan hutan. 

Rinciannya seluas 361.839 ha diusulkan untuk pelepasan kawasan hutan dan 101.788 ha diusulkan untuk penurunan status kawasan hutan. Padahal seluas 78.507 ha masih berupa tutupan hutan alam. 

“Analisa lebih lanjut, seluas 233.517 ha adalah pelepasan kawasan hutan telah dibebani izin PBPH-HT dan IUP Tambang,” ungkap Hilman.

Habitat badak seluas 78.712 ha juga masuk dalam revisi RTRW Kaltim. Seluas 77.806 ha diantaranya yang masih berupa tutupan hutan alam diusulkan untuk penurunan status kawasan dari hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas. Analisa lebih lanjut, seluas 51.057 ha telah dibebani izin 5 perusahaan tambang yaitu PT Ratah Coal, PT Pari Coal, PT Maruwai Coal, PT Lahai Coal dan PT Energi Persada Khatulistiwa. 

“Seluruh habitat badak yang diinterseksi dengan perusahaan tersebut merupakan 100% hutan alam,” jelasnya. 

Sarat Kepentingan Korporasi

Analisa revisi RTRW Kalimantan Timur ini dianggap sarat kepentingan korporasi. Manajer Kampanye Hutan Walhi, Uli Arta Siagian mengungkap akses masyarakat untuk sumber-sumber agrarianya justru diabaikan. Ia mewanti-wanti pengabaian ini tentunya akan memperpanjang malapetaka krisis agraria di Kalimantan Timur.

Catatan Akhir Tahun KPA (2018-2022) menuliskan terdapat 40 letusan konflik agraria di Kalimantan Timur. Jumlah ini mendudukkan provinsi itu sebagai 5 besar penyumbang letusan konflik agraria (2021) dan luasan konflik agraria (2019). 

“Masyarakat sekitar kehilangan tanah dan kekayaan alam sebagai sandaran untuk kelangsungan hidup, yang berujung pada pemiskinan dan semakin berlapisnya kerentanan yang dialami perempuan,” ucap Uli. 

Ia pun beranggapan revisi RTRW Kaltim ini anti reforma agraria dan kian menunjukkan diskriminasi kebijakan pemerintah terhadap masyarakat. Saat ini penguasaan tanah petani kecil (luas lahan 0,5 hektar-2,9 hektar), hanya mencapai kurang lebih 180 ribu hektar. Angka ini berbanding terbalik dengan penguasaan perusahaan dengan luasan mencapai 11,6 juta hektar (Sensus Pertanian 2018).

“Tingkat ketimpangan penguasaan tanah di Kaltim sudah mencapai level kronis. Belum lagi 8 tahun lebih janji 4,1 juta hektar pelepasan klaim-klaim kawasan hutan dan/atau perubahan kawasan hutan untuk kepentingan penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah bagi rakyat tidak ada kejelasan dan gagal. Pemerintah justru semakin membuka peluang letusan konflik dan jurang ketimpangan penguasaan tanah yang semakin memiskinkan masyarakat,” cetusnya. 

Koalisi ini pun mendesak pemerintah Provinsi Kaltim dan KLHK menghentikan revisi RTRW dan membuka ruang partisipasi masyarakat, menghentikan penerbitan izin usaha, serta menindak perusahaan yang beroperasi secara ilegal.