Spanduk Penolakan di Tengah Sosialisasi PP Sedimentasi Laut
Penulis : Aryo Bhawono
Kelautan
Rabu, 12 Juli 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Nelayan dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung bentangkan spanduk penolakan Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2023 Tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut saat sosialisasi beleid itu. Pengelolaan sedimentasi laut ini sama saja dengan tambang pasir karena memiliki aktivitas sama, mengeruk pasir laut dan merugikan nelayan seerta merusak ekosistem laut.
Spanduk bertuliskan ‘Cabut PP 26 Tahun 2023 Tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut’ membentang di ruang pertemuan Swiss-Belhotel Lampung pada Kamis lalu (6/7/2023). Sekitar 20-an orang membawa beberapa spanduk sama di tengah sosialisasi peraturan itu yang digelar Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Mereka adalah masyarakat nelayan Kabupaten Lampung Timur dan Kabupaten Tulang Bawang, bersama Walhi Lampung, LBH Bandar Lampung, serta Mitra Bentala menuntut dicabutnya peraturan itu.
Ubay, perwakilan nelayan pesisir timur Lampung, menyebutkan mitra seprofesinya pernah melakukan pemetaan gosongan (sedimentasi). Hasilnya, gusungan itu justru bermanfaat bagi nelayan, yaitu sebagai penahan abrasi hutan mangrove, pemecah ombak, pengembang biakan habitat laut, serta kawasan tangkap nelayan.
“Gosongan merupakan habitat andalan Perairan Pesisir Timur Lampung. Lokasi itu adalah tempat hidup rajungan dan ikan. PP 26 Tahun 2023 tersebut justru mengancamnya,” ucapnya.
Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri, menyebutkan PP 26 Tahun 2023 akan menimbulkan konflik antara nelayan dengan usaha tambang. Selama ini keberpihakan pemerintah dan aparat penegak hukum justru menyasar nelayan sebagai obyek kriminalisasi.
Selama ini Walhi Lampung kerap menjadi pendamping bagi nelayan tersebut. Misalnya saja aktivitas penambangan pasir laut di sekitar Pulau Sekopong, Lampung Timur. Penolakan tambang yang dilakukan oleh nelayan Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Timur berujung penangkapan nelayan bernama Sjafrijal.
“Kemudian muncul kebijakan ini, pemerintah tak pernah mendengar nelayan sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis wilayah pesisir serta memperparah dampak perubahan iklim dan menghilangkan potensi blue carbon,” ucapnya.
Menurutnya sosialisasi PP nomor 26 tahun 2023 ini hanya orientasinya pada sektor ekonomi semata dan menargetkan untuk pengambilan pasir laut.
Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi, menganggap PP 26 tahun 2023 memperparah perampasan ruang hidup dan penghidupan nelayan kecil terutama yang hari ini mencari nafkah di pesisir timur laut Lampung. Konflik yang terjadi sudah berlangsung sejak tahun 2016 sudah banyak memakan korban nelayan dengan kriminalisasi.
“PP ini diduga sebagai aturan yang terselubung untuk memudahkan pengusaha untuk mengeruk pasir laut dengan dalih pengelolaan hasil sedimentasi laut yang hasilnya digunakan untuk melakukan reklamasi dan ekspor ke luar negeri,” keluhnya.
Mashabi dari Mitra Bentala, mengungkap perairan Pesisir Timur yang menjadi lumbung perikanan kian terancam dengan aturan ini. Provinsi Lampung merupakan salah satu penghasil rajungan utama di Indonesia. Secara nasional pada tahun 2019-2020 Lampung menduduki urutan ketiga di bawah Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk dengan kontribusi sekitar 10-12 persen total ekspor Indonesia
Daerah penghasil utama rajungan Lampung terletak di pesisir timur Lampung meliputi 3 kabupaten yaitu Lampung Timur, Lampung Tengah dan Tulang Bawang dengan nilai ekspor rajungan dari Pesisir Timur Lampung sejumlah Rp 500 miliar.