Adaro dan Sinarmas: Si Peraup Untung Revisi RTRW Kaltim

Penulis : Aryo Bahwono

Deforestasi

Kamis, 13 Juli 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kalimantan Timur mengubah status lahan seluas 736.055 hektar, diantaranya seluas 612.366 ha atau 83,19 persen berupa pelepasan kawasan hutan, 101.788 ha atau 13,38 persen akan mengalami penurunan status kawasan hutan. Setidaknya hutan alam seluas 408.225 ha akan terdegradasi.

Koalisi ini terdiri dari berbagai NGO, yakni Auriga Nusantara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Forest Watch Indonesia (FWI), dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). 

Analisis data spasial oleh Koalisi Indonesia Memantau menyebutkan terdapat empat  perusahaan yang meraup pelepasan dan penurunan status kawasan hutan. Pada sektor tambang empat besar korporasi diantaranya adalah Adaro seluas 58.000 ha (35 persen), Bayan Resources (13 persen),  BBE Mining seluas 8.543 ha (5 persen), dan LX International seluas 4.200 ha (3 persen). 

Sisanya seluas 47.898 ha (29 persen) didapatkan oleh 53 perusahaan pertambangan.

Tampak dari ketinggian hutan alam di Kalimantan Timur dibabat untuk perkebunan kayu. Foto: Auriga Nusantara.

Sedangkan empat perusahaan kayu yang meraup pelepasan dan penurunan status kawasan hutan adalah Sinarmas seluas 48.861 ha (35 persen), Salim Group seluas 24.140 ha (18 persen), BUMN seluas 8.529 ha (6 persen), dan Harita seluas 8.248 ha (6 persen). 

Sedangkan sisanya 51.585 ha (38 persen) didapatkan oleh 15 perusahaan lain. 

Kepala Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Roni Septian, mengungkap perda RTRW Kaltim ini rentan menimbulkan konflik masyarakat. Pasalnya korporasi mendapat porsi paling besar namun justru hak kelola masyarakat seperti tak mendapat tempat dan mendapat porsi yang kecil.

Ia mengingatkan Catatan Akhir Tahun KPA (2018-2022) menuliskan terdapat 40 letusan konflik agraria di Kalimantan Timur. Jumlah ini mendudukkan provinsi itu sebagai 5 besar penyumbang letusan konflik agraria (2021) dan luasan konflik agraria (2019)  

“Kaltim merupakan penyumbang letusan konflik agraria dan lahan konfliknya selalu besar. dengan ketimpangan dan keberpihakan Perda RTRW Kaltim ini maka peluang konflik akan semakin besar,” ucap dia. 

Ketua Yayasan Auriga Nusantara, Timer Manurung menyebutkan pelepasan dan penurunan kawasan ini mengancam hutan di Kalimantan Timur sekaligus memperburuk citra Indonesia di mata internasional. Ia menyebutkan pemerintah kini tengah menggemborkan publikasi keberhasilan menurunkan angka deforestasi namun Perda RTRW Kaltim justru menunjukkan niat melakukan deforestasi. 

Apalagi provinsi itu masuk dalam prioritas Perjanjian Pembayaran Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (Emission Reduction Payment Agreement/ERPA) dari Bank Dunia. Provinsi Kalimantan Timur, untuk memperoleh hingga 110 juta dolar AS dari Carbon Fund sebagai insentif untuk mengurangi 22 juta ton emisi karbon di Kalimantan Timur pada periode Juni 2019 sampai 2024.

Revisi ini sama juga uang itu tidak dapat lagi dan citra indonesia akan terpuruk,” ucapnya dalam rapat dengar pendapat antara koalisi dengan Komisi IV DPR pada Selasa (12/7/2023).

Ia mengingatkan saat ini setidaknya sampai akhir tahun 2023 ada sekitar 10 provinsi yang mendapat fasilitas ‘jalan tol’ revisi RTRW. Artinya dari seluruh provinsi tersebut harus dilihat kekayaan hutannya. Ia curiga revisi RTRW di provinsi tersebut memiliki pola sama untuk melakukan pelepasan dan penurunan status kawasan.

“Maka harus dilihat mana provinsi yang kaya hutan. Kita bisa bayangkan ancaman deforestasi yang ada,” ucap dia. 

Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Bambang Purwanto, mengungkapkan permasalahan ini juga terjadi di daerah pemilihannya, Kalimantan Tengah. Ia menyebutkan RTRW Provinsi sebenarnya memiliki tujuan baik, menjadi saran untuk kepentingan masyarakat terkait status lahannya. 

Namun faktanya penyusupan oleh kepentingan lain justru mengemuka. Tak ayal jika kemudian tiba-tiba masyarakat kaget karena lahan yang mereka miliki secara turun temurun tiba-tiba dimiliki oleh satu perusahaan.  

Ini sering juga terjadi sewaktu kami di eksekutif. Kami sampaikan di KLHK, jadi sebenarnya KLHK tidak konsisten membantu masyarakat. Jangan sampai kepentingan yang disampaikan pemerhati lingkungan itu menjadi prioritas dalam RTRWP. Ini celaka betul,” ungkapnya. 

DPR akan cegat pelepasan dan penurunan status kawasan hutan dalam revisi RTRW.  Keterlanjuran pemanfaatan kawasan hutan seharusnya ditindaklanjuti dengan pengembalian kelestarian, bukan dengan pemutihan.

Wakil Ketua Komisi IV dari Fraksi Partai Gerindra, Budi Budisatrio Djiwandono, menyebutkan  akan mencegat keputusan pelepasan dan penurunan status dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah. 

“Kita cegah ini bagaimana caranya,” ucapnya ketika menutup rapat.

Badak dan Orang utan terancam revisi RTRW

Revisi RTRW ini juga mengancam spesies kunci, yakni orang utan dan badak Kalimantan. Seluas 467.792 ha atau 64 persen kawasan itu merupakan habitat orang utan yang turut diusulkan dalam pelepasan dan penurunan status kawasan hutan.

Rinciannya seluas 361.839 ha diusulkan untuk pelepasan kawasan hutan dan 101.788 ha diusulkan untuk penurunan status kawasan hutan. Padahal seluas 78.507 ha masih berupa tutupan hutan alam.


“Analisa lebih lanjut, seluas 233.517 ha adalah pelepasan kawasan hutan telah dibebani izin PBPH-HT dan IUP Tambang,” ungkap Hilman.

Habitat badak seluas 78.712 ha juga masuk dalam revisi RTRW Kaltim. Seluas 77.806 ha diantaranya yang masih berupa tutupan hutan alam diusulkan untuk penurunan status kawasan dari hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas. Analisa lebih lanjut, seluas 51.057 ha telah dibebani izin 5 perusahaan tambang yaitu PT Ratah Coal, PT Pari Coal, PT Maruwai Coal, PT Lahai Coal dan PT Energi Persada Khatulistiwa.

“Seluruh habitat badak yang diinterseksi dengan perusahaan tersebut merupakan 100% hutan alam,” jelasnya.

Sarat Kepentingan Korporasi

Analisa revisi RTRW Kalimantan Timur ini dianggap sarat kepentingan korporasi. Manajer Kampanye Hutan Walhi, Uli Arta Siagian mengungkap akses masyarakat untuk sumber-sumber agrarianya justru diabaikan. Ia mewanti-wanti pengabaian ini tentunya akan memperpanjang malapetaka krisis agraria di Kalimantan Timur.

Catatan Akhir Tahun KPA (2018-2022) menuliskan terdapat 40 letusan konflik agraria di Kalimantan Timur. Jumlah ini mendudukkan provinsi itu sebagai 5 besar penyumbang letusan konflik agraria (2021) dan luasan konflik agraria (2019).


“Masyarakat sekitar kehilangan tanah dan kekayaan alam sebagai sandaran untuk kelangsungan hidup, yang berujung pada pemiskinan dan semakin berlapisnya kerentanan yang dialami perempuan,” ucap Uli.

Ia pun beranggapan revisi RTRW Kaltim ini anti reforma agraria dan kian menunjukkan diskriminasi kebijakan pemerintah terhadap masyarakat. Saat ini penguasaan tanah petani kecil (luas lahan 0,5 hektar-2,9 hektar), hanya mencapai kurang lebih 180 ribu hektar. Angka ini berbanding terbalik dengan penguasaan perusahaan dengan luasan mencapai 11,6 juta hektar (Sensus Pertanian 2018).

“Tingkat ketimpangan penguasaan tanah di Kaltim sudah mencapai level kronis. Belum lagi 8 tahun lebih janji 4,1 juta hektar pelepasan klaim-klaim kawasan hutan dan/atau perubahan kawasan hutan untuk kepentingan penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah bagi rakyat tidak ada kejelasan dan gagal. Pemerintah justru semakin membuka peluang letusan konflik dan jurang ketimpangan penguasaan tanah yang semakin memiskinkan masyarakat,” cetusnya.

Koalisi ini pun mendesak pemerintah Provinsi Kaltim dan KLHK menghentikan revisi RTRW dan membuka ruang partisipasi masyarakat, menghentikan penerbitan izin usaha, serta menindak perusahaan yang beroperasi secara ilegal.