Aksi Damai Warga di Jambi Berujung Kekerasan dari Polisi
Penulis : Kennial Laia
Agraria
Senin, 24 Juli 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Tujuh belas hari setelah memulai protes damai, aksi pemblokiran jalan perusahaan oleh warga Dusun Pematang Bedaro, Desa Teluk Rasa, Kumpeh Mulu, Muaro Jambi, Jambi, dibubarkan paksa oleh ratusan polisi, Kamis, 20 Juli 2023. Sebanyak 29 warga, termasuk dua anak-anak berusia enam tahun ditangkap dan dibawa ke Polda Jambi.
Aksi protes tersebut bermula saat terjadi penangkapan lima warga Dusun Pematang Bedaro pada awal Juli lalu. Mereka dituduh mencuri buah sawit dari lahan sengketa antara masyarakat dan PT FPIL. Warga Dusun Pematang Bedaro menuntut agar kelimanya dibebaskan, dengan memblokir jalan utama perusahaan. Namun warga mengalami kekerasan dan intimidasi.
“Tangan saya diborgol tali grip, dan polisi membanting saya,” kata Nunung Sugianto, salah satu korban yang dilarikan ke rumah sakit dan dirawat di unit perawatan intensif (ICU). Korban lain bernama Angga, berusia 18 tahun, mengalami pukulan dan tendangan hingga luka di bagian bibir dan bawah muka.
Dari dokumentasi video dan foto yang diperoleh Betahita, tampak aparat kepolisian menarik dan menyeret paksa warga. Sejumlah video yang beredar di media sosial memperlihatkan hal serupa. Salah satu video memperlihatkan polisi merobohkan tenda yang didirikan oleh warga untuk yasinan di depan jalan utama perusahaan.
Aksi terakhir warga pada Kamis, 20 Juli 2023, tersebut adalah melakukan doa bersama untuk memperingati hari tahun baru Islam. Karena sedang melakukan protes, maka acara doa bersama tersebut dilakukan di jalan PT FPIL.
Menurut Edy Kurniawan Wahid, peneliti dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), kekerasan dan intimidasi masih terjadi saat warga dimintai keterangan untuk BAP di kantor polisi, kecuali dua anak. Salah seorang warga bernama Yusuf mengaku ditampar dan dipukul dengan benda tumpul, dengan luka di bagian hidung dan bibir atas pecah.
“Tanggal 21 Juli dini harga, 29 warga dibebaskan. Namun dengan syarat wajib lapor. Jika tidak melapor, ada kemungkinan ditangkap. Selain itu, delapan unit handphone milik warga masih disita oleh polisi,” kata Edy kepada Betahita, Jumat, 21 Juli 2023.
“Anak-anak yang ditangkap juga mengalami trauma psikis. Mereka bilang tidak mau ke sekolah karena trauma dengan penangkapan polisi tersebut,” tambah Edy.
Edy mengatakan, warga juga tidak didampingi penasihat hukum saat menjalani pemeriksaan, sehingga tidak bebas memberikan keterangan. Edy menilai status wajib lapor tersebut tidak masuk akal. Pasalnya, secara hukum status wajib lapor hanya berlaku dalam penyidikan atau ketika seseorang sudah ditetapkan tersangka, seperti tahanan kota atau rumah.
“Tidak ada istilah wajib lapor jika bukan saksi atau tersangka. Karena itu kami menilai ini sebagai bentuk intimidasi lanjutan pada masyarakat. Dampaknya masyarakat tidak berani lagi untuk memperjuangkan hak-haknya,” kata Edy.
Edy mengatakan, YLBHI juga menyayangkan penggunaan kekerasan dan kriminalisasi yang dilakukan aparat kepolisian dalam menangani konflik agraria tersebut.
“Masyarakat tidak berbuat kejahatan, tidak merusak. Mereka hanya duduk dan berdoa. Rata-rata yang ikut perempuan, yang notabene kelompok rentan. Sehingga kami menyayangkan dan mengecam pembubaran paksa ini,” kata Edy.
Frandody dari Sekretariat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Jambi mengatakan, konflik antara masyarakat Dusun Pematang Bedaro dan PT FPIL telah berlangsung selama 25 tahun. Menurutnya, konflik pertama meletus ketika perusahaan menyerobot lahan warga seluas 400 hektare dan 340 hektare (Desa Sumber Jaya).
“Selama 25 tahun warga tidak pernah menerima ganti rugi dari lahan yang dirampas itu. Sebaliknya mereka mengalami ketidakadilan dan intimidasi,” kata Frandody.
Menurut Frandody, Komnas HAM pernah melakukan investigasi atas kasus tersebut dan memberikan rekomendasi untuk ganti rugi atas lahan masyarakat. Namun ini tidak dilakukan. Sejumlah dialog yang difasilitasi, termasuk dalam Pansus DPRD Jambi, juga tidak dihadiri oleh perusahaan.
“Konflik agraria ini dibiarkan berkepanjangan. Sementara masyarakat kehilangan penghidupannya. Ini juga yang mendorong perlawanan dari masyarakat,” kata Frandody.
“Kami sangat menyayangkan tindakan semena-mena dari kepolisian. Seharusnya mereka mengawal masyarakat yang berdemonstrasi, bukan berpihak kepada perusahaan,” pungkasnya.