Konflik Proyek PLTP di Poco Leok, Jatam: KfW Wajib Tanggung Jawab

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Energi

Kamis, 03 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) dianggap ikut bertanggung jawab atas terjadinya konflik lahan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) atau geothermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Mely Nahar mengapresiasi respon KfW atau Bank Pembangunan Jerman terkait surat pengaduan warga Poco Leok. Namun, klaim KfW yang menyebut tidak memiliki keterlibatan langsung dalam proyek geothermal di Poco Leok, lantas menyerahkan tanggung jawab atas perencanaan, pelaksanaan, dan pengoperasian proyek kepada PLN, tidak bisa dibenarkan.

Bank KfW, lanjut Melky, dengan pembiayaan yang diberikan, justru wajib bertanggung jawab penuh atas potensi-potensi risiko yang terjadi di tengah upaya paksa pemerintah dan perusahaan untuk mengembangkan geothermal Ulumbu ke wilayah Poco Leok.

"Bentuk tanggung jawab itu bisa dilakukan dengan mulai mengevaluasi skema pembiayaan transisi energi pihak KfW ke pemerintah Indonesia, lalu ditindak-lanjuti dengan melakukan penghentian pembiayaan," kata Melky, Selasa (1/8/2023).

Warga Poco Leok yang terdiri dari utusan warga adat gendang Lungar, Tere, Jong, Rebak, Cako, Nderu, dan tiga kampung yang paling jauh, yaitu Mori, Mocok dan Mucu bersiap-siap di lokasi, tempat dimana rencana perluasan pengeboran geothermal dilakukan, Selasa (1/8/2023). Foto: Istimewa.

Melky berpendapat, jika konflik Poco Leok terus dibiarkan, apalagi dengan model upaya paksa pemerintah dan PLN yang melakukan mobilisasi aparat keamanan, membangun konflik sosial, hingga menerobos paksa lahan warga, maka, KfW harus bertanggung jawab.

Dengan demikian, Jatam mendesak KfW untuk segera turun langsung ke Poco Leok, bertemu dengan warga. Sehingga mendapat informasi yang utuh, tidak menerima informasi searah dari pemerintah dan PLN yang sarat manipulatif.

"Kami juga menginformasikan, bahwa sepekan setelah surat dari KfW keluar dan diterima warga Poco Leok, pihak pemerintah dan PLN yang dikawal aparat kepolisian, justru kembali ke lokasi, diduga datang bersama tim peneliti untuk mengukur suhu, tanah, udara di tanah ulayat warga adat Rebak, Poco Leok," ungkap Melky.

Kedatangan rombongan ini, imbuh Melky, kembali dihadang warga Poco Leok, mulai dari warga adat gendang Lungar, Tere, Jong, Rebak, Cako, Nderu, dan tiga kampung yang paling jauh, yaitu Mori, Mocok dan Mucu.

Langkah penghadangan ini adalah upaya nyata warga untuk menuntut pemerintah dan PLN agar segera hentikan rencana perluasan pengeboran geothermal Ulumbu ke wilayah Poco Leok.

Kurang lebih sepekan lalu, 25 Juli 2023 lalu, pihak KfW memberikan respon atas surat pengaduan warga Poco Leok, terkait konflik lahan yang terjadi akibat pengembangan proyek geothermal Ulumbu. Respon tersebut disampaikan melalui pihak PLN Unit Induk Pembangunan (UIP) Nusa Tenggara.

Dalam surat yang ditandatangani oleh Herald Gerding sebagai Kepala Divisi, Asia Tenggara dan Timur, dan Andre Degenkolb sebagai Manajer Portofolio Senior Asia Tenggara dan Asia Timur itu, pihak KfW menyatakan "menanggapi dengan serius keluhan yang disampaikan dan mendukung niat untuk menindaklanjuti berbagai hal yang disebutkan dalam surat (pengaduan warga) tersebut".

"Mohon diperhatikan bahwa PT PLN bertanggung jawab atas perencanaan, pelaksanaan, dan pengoperasian proyek. KfW Development Bank tidak memiliki keterlibatan langsung dalam kegiatan tersebut. Anda dapat yakin bahwa proyek yang didanai oleh KfW selalu dikembangkan sesuai dengan standar lingkungan dan sosial internasional," kata pihak KfW dalam suratnya.

"KfW telah menghubungi PLN untuk memberikan informasi terkini yang komprehensif mengenai situasi yang terjadi dan tuduhan yang Anda sampaikan dalam surat Anda," lanjut surat KfW.

Sebelumnya pada 5 Juli 2023 lalu, warga Poco Leok mengirim surat kepada bank tersebut. Surat dimaksud berisi argumen-argumen penolakan terhadap proyek geothermal, di antaranya menolak eksploitasi atas ruang hidup, proses-proses proyek yang tidak melibatkan warga dan adanya represi oleh aparat keamanan.

Surat pengaduan ini merupakan salah satu upaya warga melakukan perlawanan. Selain bersurat kepada KfW, warga juga menulis dan menyampaikan surat penolakan pengembangan proyek geothermal kepada pemerintah dan ATR/BPN Manggarai, dan melakukan berbagai aksi penghadangan terhadap aktivitas perusahaan di lokasi-lokasi pengeboran geothermal.

Lokasi pengembangan geothermal yang menyasar sekitar 60 titik pengeboran, mencakup 13 kampung di tiga desa di Kecamatan Satar Mese, yakni Desa Lungar, Mocok dan Golo Muntas.

"Kami minta Bank KfW datang langsung untuk bertemu dengan warga, sebab argumentasi penolakan sudah kami sampaikan semuanya. Kami tidak akan menerima kehadiran PT PLN dan pemerintah di Poco Leok. Karena sejak awal aktivitas mereka sudah tidak sesuai standar sosial dan lingkungan yang berlaku," ujar Tadeus Sukardin, warga Poco Leok, dalam keterangan tertulis.

Melky, menguraikan, proyek geothermal ini merupakan perluasan PLTP Ulumbu Unit 5-6, bagian dari proyek strategis nasional yang menargetkan energi listrik 2×20 megawatt, meningkat dari 10 megawatt yang dihasilkan PLTP Ulumbu saat ini. Proyek yang dikerjakan PLN dan didanai oleh KfW.

Perluasan proyek Geothermal Ulumbu ke wilayah Poco Leok ini sejak awal ditentang warga, karena melihat daya rusak tambang panas bumi yang terjadi di Mataloko dan Sorik Marapi, Mandailing Natal yang menyebabkan semburan lumpur panas dan menelan korban jiwa akibat terpapar H2S. Namun, PT PLN yang dikawal aparat kepolisian bersenjata lengkap dan tentara memaksakan, dengan melakukan kekerasan terhadap warga Poco Leok, termasuk perempuan dan anak.