Sulit Beri Keadilan: Harus Ada Tiga Elemen Dalam Proyek JETP

Penulis : Gilang Helindro

Energi

Kamis, 03 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Perjanjian pendanaan transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP) yang disepakati pemimpin negara di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali tahun 2022 lalu, dinilai sulit untuk memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Ahmad Ashov Birry, Koordinator Gerakan #BersihkanIndonesia mengatakan, untuk mewujudkan keadilan dalam perjanjian pendanaan terbilang rumit. “Ada tiga elemen keadilan yang harus dipenuhi dalam setiap proyek,” katanya  Rabu, 2 Agustus 2023. Dalam diskusi publik Transisi: Energi JETP: Apa dan Bagaimana Dia Bekerja?.

Ashov menjelaskan, elemem pertama adalah keadilan prosedural, yang mana proyek pembangunan harus melibatkan masyarakat. Menurutnya pada proyek pendanaan JETP, partisipasi masyarakat terdampak kurang dilibatkan.

Keadilan sendiri kalau kita mau ambil konsep umumnya kan ada tiga elemen. Dia harus adil secara prosedural, jadi bagaimana berbagai proyek pembangunan secara prosedur harus melibatkan masyarakat, dan itu juga menyangkut keterbukaan informasi. Secara prosedural, (proyek pendanaan ini) ya akan sulit juga karena trennya begitu dalam proses legislasi dengan berbagai pembenaran, partisipasi masyarakat di by pass gitu,” jelasnya.

Penampakan PLTU Suralaya di Cilegon, Banten dari udara. Sektor energi, seperti industri kelistrikan yang menggunakan batu bara serta pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (FOLU) merupakan sektor penyumbang emisi terbesar Indonesia. Dok Kasan Kurdi/Greenpeace

Kedua, keadilan distributif, di mana selain mendapatkan beban, proyek juga harus memberikan benefit yang signifikan kepada masyarakat. Sementara proyek pendanaan transisi ini, justru terlihat tingkat ketimpangan pendapatan akan semakin besar.

Kemudian ada keadilan distributif kata Ashov, jadi bukan hanya bebannya dibagikan ke masyarakat, tapi benefitnya juga. Sementara sejauh ini, jujur kalau distribusi timpang. Ketimpangan pendapatan semakin besar. “Soal royalti nol persen itu kan jelas nanti secara distribusi dia tidak akan adil, atau kemudian bahaya dari dana besar masuk ke Indonesia dalam kondisi penegakan korupsi yang lemah. Dia akan sangat mengganggu keadilan distributif,” katanya.

Ketiga, keadilan restoratif terkait dengan dampak-dampak yang akan ditimbulkan dari proyek transisi energi JETP. Ashov mengatakan, penghapusan nikel dari daftar limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) menunjukkan biaya operator akan dikurangi dan bebannya akan dialihkan ke penerima dampak. Hal tersebut membuat keadilan restoratif makin sulit diwujudkan.

“Ada juga keadilan restoratif, dengan bicara soal pemulihan dampak-dampak yang terjadi karena percepatan ini. Berkaitan dengan transisi dan berkaitan dengan energi terbarukan, limbah nikel dari smelter dikeluarkan dari daftar limbah B3. Dia tidak akan dikelola sebagaimana mestinya limbah B3. Itu kan kurang lebih maknanya adalah ongkosnya dipindahkan ke penerima dampaklah. Potret keadilannya akan suram,” tutupnya.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR, menyayangkan progres skema JETP yang berjalan lamban.

Deon menjelaskan, pada 16 Agustus sekretariat baru akan mengeluarkan context, input, process dan product (CIPP). Lambatnya pergerakan sekretariat mengakibatkan banyak proses yang belum terlaksana. Padahal prosesnya sendiri telah mulai sejak November 2022. 

Namun hingga Februari 2023 tidak menghasilkan kemajuan berarti. Baru pada April 2023, terobosan terjadi ketika pemerintah secara resmi membentuk Sekretariat JETP. "Targetnya 16 Agustus keluar CIPP. Bukannya optimistis, tapi masih banyak proses yang belum terlaksana," tutupnya.