Nasib Pulau-Pulau Kecil di Tangan Mahkamah Konstitusi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Senin, 14 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Nasib keselamatan pulau-pulau kecil kini ada di tangan Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah PT Gema Kreasi Perdana (GKP) mengajukan permohonan judicial review terhadap Pasal 35 huruf k dalam Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) ke MK.

Judicial review (peninjauan kembali) yang diajukan perusahaan tambang nikel di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, itu muncul setelah judicial review yang diajukan warga Wawonii terhadap Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Konawe Kepulauan No. 2 Tahun 2021 yang bertentangan dengan UU Nomor 27 Tahun 2007, dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA).

Desember 2022 lalu MA membatalkan beberapa pasal dalam Perda No. 2 Tahun 2021 yang mengatur alokasi ruang untuk kegiatan pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan. Putusan MA itu secara tidak langsung mengganggu aktivitas pertambangan PT GKP, dan perusahaan itu mengajukan permohonan judicial review terhadap Pasal 35 huruf k dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 ke MK.

Pasal yang dimohonkan untuk ditinjau kembali tersebut berbunyi, "Dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.”

Puluhan warga yang tergabung dalam Front Rakyat Sultra Bela Wawonii (FSBW) melakukan aksi di Kantor DPRD Konawe Kepulauan, Rabu (7/6/2023). Foto: Istimewa

Masyarakat sipil menilai, kata "apabila" dalam pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang berdampak pada kerugian warga. Permohonan judicial review oleh PT GKP merupakan upaya perusahaan untuk melegalkan kegiatan pertambangan di Pulau Wawonii.

Asas dari UU Nomor 27 Tahun 2007 sendiri sebagai perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari kerentanan konflik sosial maupun perusakan lingkungan. Pokok dari Pasal 35 UU Nomor 27 Tahun 2007 juga memuat larangan terhadap kegiatan penambangan pasir, minyak gas, dan mineral karena berdasar pada aspek kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Jika permohonan PT GKP itu dikabulkan oleh MK, maka aktivitas tambang tak hanya dilegalkan di Pulau Wawonii, tetapi seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Dengan demikian, kerusakan ekologis dan konflik sosial akibat perusahaan tambang yang tidak menaati UU Nomor 27 tahun 2007 akan semakin masif.

Teo Reffelsen dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, mengatakan, Indonesia sebagai negara kepulauan telah berkomitmen untuk melindungi keberlanjutan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Implikasi secara ekologis dan sosial akibat aktivitas pertambangan ini harus diprioritaskan dan menjadi pertimbangan besar oleh Mahkamah Konstitusi dalam membuat keputusan terkait judicial review yang diajukan PT GKP.

"Perspektif keadilan dan keberlanjutan ekologis untuk mencegah timbulnya potensi kerugian bagi warga yang selama ini mengelola pulau-pulau kecil harus dipertimbangkan," ujar Teo, dalam sebuah diskusi Tolak Uji Materiil PT GKP, Keselamatan Pulau-pulau Kecil di Tangan MK, Kamis (10/8/2023) kemarin.

Tambang Nikel di Pulau Wawonii dan Dampaknya

Untuk diketahui, berdasarkan ketentuan UU No. 27 Tahun 2007, Pulau Wawonii masuk dalam kategori pulau kecil. Pulau tersebut hanya memiliki luas 706 km persegi. Sedangkan dalam UU No. 27 Tahun 2007, pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km persegi. Dengan demikian, Kabupaten Konawe Kepulauan--dalam hal ini Pulau Wawonii, masuk dalam kategori pulau kecil yang dikecualikan untuk kegiatan pertambangan.

Aktivitas PT GKP di Pulau Wawonii ini telah mendapat perhatian banyak organisasi masyarakat sipil. Sebab anak usaha Harita Group itu dituding telah melakukan aktivitas pertambangan yang mengakibatkan pencemaran sumber air warga Pulau Wawonii.

Padahal dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2014 tentang RTRW Provinsi Sulawesi Tenggara tidak terdapat alokasi ruang untuk kegiatan pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan. Namun, Perda Nomor 2 Tahun 2021 tentang RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan menetapkan alokasi ruang untuk kegiatan pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan.

Berdasarkan data dan informasi yang dihimpun sejumlah organisasi masyarakat sipil, aktivitas PT GKP telah membuat Desa Sukarela Jaya, Dompo-dompo, Roko-roko, Bahaba, dan Teporoko di Kecamatan Wawonii Tenggara mengalami krisis air bersih. Ada total 2.214 jiwa penduduk yang tinggal dalam lima desa itu. Tiga sumber mata air yang digunakan warga kini keruh akibat bercampur dengan material lumpur.

Bukan hanya itu, tak jauh dari sumber mata air itu terdapat jalan tambang yang dilalui truk bermuatan ore nikel dari area penambangan di atas bukit ke dermaga pemuatan. Imbasnya warga tak lagi memiliki akses air bersih untuk aktivitas sehari-hari, seperti mandi, mencuci, hingga air untuk dikonsumsi.

PT GKP juga diduga melakukan penyerobotan lahan tanaman cengkeh pada 9 Agustus 2023 kemarin. Akibatnya tanaman milik warga hancur karena digusur alat berat milik perusahaan. Sejak pagi hari ini warga bersama-sama melindungi kebun cengkeh yang telah dirangsek dan memaksa alat perusahaan untuk segera keluar dari lahan milik mereka.

"Kami kesulitan air bersih. Pemerintah dan perusahaan menggalikan sumur, tetapi sumur itu tidak bisa dikonsumsi karena airnya asin. Jadi ada pengeluaran khusus lagi untuk membeli air bersih. Lahan kebun cengkeh kami juga diterobos oleh perusahaan. Karena itu semua jenis tambang di Wawonii harus angkat kaki," kata Amlia, seorang petani cengkeh dari Wawonii.

Pencemaran lingkungan itulah yang kemudian mendorong warga Wawonii menyuarakan protes atas aktivitas tambang PT GKP, salah satunya dengan mengajukan permohonan judivial review kepada MA.

Agenda Penciptaan Kemiskinan Sistematis

Kehadiran tambang dianggap telah merampas ruang hidup warga Pulau Wawonii dengan menyerobot dan merusak perkebunan warga. Warga Pulau Wawonii secara turun-temurun menggantungkan hidup dari bertani, berkebun, dan melaut.

Kegiatan pertambangan yang dilakukan PT GKP merampas sumber kehidupan warga, menimbulkan kerusakan sumber mata air, dan menghilangkan lahan perkebunan jambu mete, pala, cengkeh hingga kelapa milik warga. Pulau-pulau kecil yang mengandung keindahan pesisir Indonesia penting untuk mendapatkan perlindungan lingkungan maupun sosial.

Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Muhammad Jamil, menjelaskan, maraknya kehadiran tambang nikel di Indonesia adalah dampak gencarannya transisi energi (elektrifikasi berbasis baterai nikel) yang tengah dilakukan oleh pemerintah. Jamil menganggap hal tersebut sebagai agenda penciptaan kemiskinan sistematis dan jelas merupakan pelanggaran konstitusi.

"Sebab harusnya fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara Pasal 34 UUD 1945, bukan justru diproduksi. Kehadiran tambang umumnya menghilangkan pekerjaan penduduk di sekitar lokasi tambang yang sejak lama berprofesi sebagai petani kebun dan nelayan," kata Jamil.

Di daratan, lanjut Jamil, lahan-lahan pertanian dan perkebunan dirusak, pohon-pohon hutan ditebang diubah menjadi lubang tambang beracun dan mematikan. Sementara itu, di pesisir-laut penduduk yang bergantung kehidupan dengan mencari ikan turut dikorbankan. Sebab, limbah tambang itu mengalir ke sungai, pesisir hingga laut.

“Kalau sudah begitu, bagaimana nelayan dan masyarakat asli mau hidup?" ucap Jamil.

Tak hanya mengakibatkan hilangnya ruang hidup masyarakat saja. Keberadaan tambang di Wawonii ini juga telah mengakibatkan terjadinya kriminalisasi warga. Tercatat lebih dari 30 orang dikriminalisasi karena mempertahankan kebunnya. Enam di antaranya ditangkap dan dipenjarakan.

Awal Agustus ini Aliansi Mahasiswa Peduli Wawonii (AMPW), Sulawesi Tenggara, melakukan aksi untuk menuntut PT GKP menghentikan aktivitas pertambangan di Pulau Wawonii. Namun, AMPW menerima aksi kekerasan dari pihak kepolisian.

Aan dari Aliansi Mahasiswa Peduli Wawonii mengatakan, mahasiswa akan selalu beraliansi menyuarakan hal-hal yang jadi kekhawatiran warga Wawonii. Sejak tambang masuk, warga banyak merasakan kerugian lingkungan, sosial, dan ekonomi.

"Ketika kami, mahasiswa, pulang ke Wawonii kami melihat orang tua kami berhadapan dengan perusahaan untuk memperjuangkan ruang hidup mereka. Sumber air yang jernih bahkan sudah tidak bisa kami manfaatkan lagi akibat aktivitas pertambangan selama kurang lebih satu tahun," ujar Aan.