Kepulauan Mentawai Bakal Tergerus Izin Konsesi Selama 30 Tahun

Penulis : Gilang Helindro

Deforestasi

Senin, 14 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) menyebut ada izin penebangan baru diberikan pemerintah Indonesia di kepulauan Mentawai. Ini tersebut akan beroperasi selama 30 tahun. 

Rifai Lubis, Direktur YCMM menjelaskan luas izin yang diberikan diklasifikasikan sebagai kawasan hutan mencakup 20.706 hektar, sedangkan Pulau Mentawai hanya memiliki permukaan 61.518 hektar.

Badan Koordinasi Penanaman Modal atas nama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BKPM atas nama KLHK) memberi izin kepada PT Sumber Permata Sipora (PT SPS), 28 Maret 2023 lalu, namun baru empat bulan kemudian, pada Juli 2023 informasi tersebut diumumkan kepada masyarakat yang tinggal di Sipora dan masyarakat sipil. 

Izin tersebut kata Rifai, mencakup lebih dari sepertiga permukaan pulau kecil yang terletak 150 km di lepas pantai Sumatera. Hal itu masih bisa dibatalkan sebelum 4 September 2023, jika sudah mendapatkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dibutuhkan perusahaan untuk memulai kegiatan pembalakannya.

Tumpukan kayu bulat milik perusahaan pemegang izin akses SIPUHH di Pulau Sipora, Mentawai. Foto: Rus/YCMM

Rifai mengatakan, hutan dan sumber daya alam kepulauan Mentawai terus menjadi sasaran eksploitasi dan deforestasi oleh pemerintah Indonesia, meskipun izin tersebut melanggar komitmen iklim yang disepakati, serta undang-undang Indonesia sendiri untuk melindungi pulau-pulau kecil dari eksploitasi sumber daya alam. 

Deforestasi pada sepertiga permukaan pulau sekecil itu akan menjadi bencana, hilangnya keanekaragaman hayati dan akan sangat mempengaruhi mata pencaharian masyarakat adat Mentawai yang bergantung pada hutan ini untuk hidup.  

“Nantinya, penebangan di Sipora selama lebih dari 30 tahun juga akan melepaskan karbon dalam jumlah besar, mempersulit pemerintah Indonesia untuk mencapai tujuan iklimnya untuk tahun 2030. Kami meminta pemerintah Indonesia untuk membatalkan izin ini” katanya saat dihubungi, 11 Agustus 2023.

Padahal, kata Rifai, bulan April 2023 lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia merilis road map dengan aksi iklimnya menuju tahun 2030. Net Sink FOLU, bertujuan untuk mencapai kondisi net sink pada tahun 2030 dengan mengurangi emisi dari sektor lahan dan hutan serta mencapai tingkat emisi sebesar hingga minus 140 Mt emisi karbon pada tahun 2030, dan minus 304 Mt emisi karbon pada tahun 2050.

Persediaan karbon di hutan ini sangat besar karena tidak pernah ditebang secara industri, ungkap Rifai. Namun, dalam konsesi seperti itu, biasanya tebang habis. Hal ini akan meningkatkan emisi dari penggunaan hutan dan lahan untuk Indonesia. “Indonesia membuat komitmen iklim hanya beberapa minggu setelah izin ini diberikan dengan jaring FOLU. Pemberian izin ini jelas bertentangan dengan komitmen ini,” katanya.

Laporan IPCC tahun 2022 menegaskan bahwa pulau-pulau kecil semakin terpengaruh bahkan terancam oleh perubahan iklim. UNEP mengatakan bahwa adaptasi dan mitigasi iklim sangat penting di pulau-pulau kecil untuk melawan hilangnya alam dan perubahan iklim. 

Menurut Rafai, Indonesia melanggar hukumnya sendiri ketika memberikan izin penebangan di Sipora ini. Hutan dan sumber daya alam di sebuah pulau kecil dilindungi secara hukum berdasarkan hukum Indonesia. Kita tahu betapa rentannya pulau-pulau kecil terhadap erosi, naiknya permukaan laut, dan perubahan iklim.

“Tsunami yang melanda Indonesia pada tahun 2004 juga mengajarkan kepada kami bahwa penting untuk menjaga tutupan hutan dan bakau di pulau-pulau kami untuk melindungi populasi dan lanskap,” katanya.

Pulau-pulau kecil dilindungi dalam hukum Indonesia. UU No.7 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (2007) dan perubahannya dalam UU No.1 Tahun 2014, tidak mengizinkan pemanfaatan sumber daya alam di pulau-pulau kecil. Sipora diklasifikasikan sebagai pulau kecil menurut undang-undang ini, dan karenanya harus dilindungi dari izin tersebut terutama di kawasan yang diklasifikasikan sebagai “Kawasan hutan” atau kawasan hutan negara.

Wilayah izin sebenarnya adalah wilayah adat, kata Rifai, di mana orang Mentawai mempraktikkan sistem agroforestri tradisional yang disebut pumonean . Masyarakat adat bergantung pada wilayah pulau mereka yang luas ini untuk mendapatkan akses ke air, makanan, dan obat-obatan tradisional. “Menebang sepertiga pulau akan mempengaruhi penghidupan mereka secara signifikan dan pada dasarnya mengambil alih tanah leluhur mereka,” katanya.

Menurut salah satu masyarakat Mentawai di Sipora mengatakan, hutan memiliki manfaat untuk mendapatkan rotan dan cengkih yang kemudian kami jual di pasar dan digunakan untuk membayar biaya sekolah anak-anak kami. Kami juga menanam nilam, mengambil air dari sungai dan memastikannya terlindungi dengan baik. “Dengan izin ini saya tidak tahu apa yang akan terjadi,” katanya.

Konstitusi Indonesia, budaya adat dilindungi, dan oleh karena itu pemerintah melanggar hak-hak masyarakat adat Mentawai dengan memberikan izin tersebut dan mengeksploitasi sumber daya tanpa persetujuan mereka. Belum ada proses persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan di sini, dan masyarakat hanya menonton pihak berwenang memutuskan nasib tanah mereka dan sarana untuk bertahan hidup.

“Analisis dampak lingkungan masih perlu disetujui untuk PT.SPS untuk memulai kegiatan, tetapi menurut aturan, perusahaan hanya membutuhkan "masukan" dan bukan persetujuan untuk disetujui AMDAL,” kata Rifai.

Deforestasi juga akan mempengaruhi keanekaragaman hayati. Dr Wilson Novarino, ahli biologi dari Universitas Andalas menyebut, ada spesies endemik di hutan Sipora, seperti empat jenis primata yang akan terancam oleh kegiatan penebangan skala besar. “Habitat dan jangkauan mereka akan semakin sempit, karena hutan akan terfragmentasi,” katanya dalam keterangan resmi YCMM.

Dalam penilaian dampak lingkungan, PT.SPS harus mendokumentasikan potensi dampak kegiatan penebangan terhadap lingkungan tetapi informasi tersebut biasanya hanya formalitas untuk mendapatkan persetujuan.

Sebelum memulai kegiatan penebangannya, PT SPS perlu mendapatkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam waktu 160 hari sejak izin diberikan, mulai tanggal 28 Maret 2023.

“Artinya batas waktu adalah 4 September 2023 . Setelah mengetahui tentang izin ini hanya beberapa minggu, sebagian besar waktu masyarakat sipil dan komunitas mencoba untuk bekerja melawan izin ini sekarang hilang,” ungkap Rifai.

YCMM meminta: Pertama, PT SPS menghentikan rencananya untuk secara aktif menggunakan konsesi penebangan di Sipora. Kedua, pemerintah pusat Indonesia membatalkan izin tersebut. Ketiga, pemerintah daerah Mentawai mempercepat proses pengakuan masyarakat adat dan haknya atas tanah di wilayah terdampak di Pulau Sipora. Keempat, badan pemerintah yang menerima penilaian lingkungan PT SPS menolak berdasarkan dampak terhadap iklim, keanekaragaman hayati, lingkungan dan hak-hak masyarakat adat.