Butuh Langkah Efektif Selamatkan MHA dari Dampak Krisis Iklim

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Kamis, 17 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Dampak perubahan iklim kini dirasakan oleh masyarakat dunia. Cuaca dingin dan curah hujan yang ekstrim, cuaca panas dan kekeringan, disertai bencana ekologi, banjir, tanah longsor, serangan hama dan sebagainya, silih berganti melanda kehidupan manusia.

Krisis iklim juga menimbulkan permasalahan ekonomi, gagal panen, kebakaran hutan dan lahan, permasalahan kesehatan bertambah, kelaparan dan gizi buruk, kerusakan ekosistem, penderitaan dan kematian. Hal tersebut juga terjadi di Tanah Papua.

Pada Juli 2023, warga di Distrik Agandungume, Lembewi dan Oneri, Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah, mengalami kesulitan mendapatkan dan memperoleh pangan. Lahan, dusun dan tanaman pangan di kampung mengalami kekeringan dan gagal panen, tanpa hujan dan temperatur suhu rendah. Mereka terpaksa pergi mengungsi dan berjalan kaki dalam keadaan payah untuk mendapatkan bantuan makanan.

Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, mengatakan, pihaknya bersama FIAN Indonesia, Greenpeace Indonesia dan Perkumpulan Petrus Vertenten MSC Papua, Perkumpulan Harmoni Alam Papuana, LBH Papua Pos Merauke, SKP Keuskupuan Agats-Asmat, telah bertemu dan mendengarkan keluhan terkait situasi buruk, kesulitan dan rawan pangan dan air bersih, yang terjadi dan dialami masyarakat adat di sejumah daerah.

Masyarakat Adat Marind di Kampung Buepe, Distrik Kaptel, Kabupaten Merauke, yang mengeluhkan kesulitan air bersih, kekeringan lahan dan sulit pangan, Agustus 2023. Foto: Istimewa

Terutama di wilayah Provinsi Papua selatan, yakni Distrik Malind, Kaptel dan Eligobel, Kabupaten Merauke; masyarakat adat di wilayah Kepi, Obaa dan Manjemur, Kabupaten Mappi; dan Distrik Fayit di Kabupaten Asmat, seluruhnya berada di Provinsi Papua Selatan.

Menurut penuturan masyarakat adat di daerah-daerah itu, lanjut Franky, mereka kesulitan memperoleh air bersih dan mahal, lahan dan tanaman pangan mengalami kekeringan, hasil panen di luar target dan tidak mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Aktifitas menokok sagu di dusun berhenti karena kekeringan dan hewan buruan semakin jauh ke dalam hutan.

"Masyarakat kesulitan mengusahakan pemenuhan pangan dan air dari dusun dan hutan yang jauh dari kampung. Air sungai kering dan tidak bisa dilalui. Rawa dan sungai juga kondisi buruk, tidak sehat dan diduga tercemar, sehingga masyarakat menghindari dan tidak dapat mengkonsumsi air sungai," kata Franky, Sabtu (12/8/2023) kemarin dalam keterangan tertulis.

Selain itu, masyarakat sipil juga memantau dan menemukan adanya titik panas yang berpotensi dan/atau telah menimbulkan kebakaran hutan dan lahan di wilayah Papua. Berdasarkan pemantauan melalui citra satelit Modis dan Viirs pada website https://map.nusantara-atlas.org, sepanjang 14 hari terakhir (23 Juli-11 Agustus 2023), ditemukan titik panas sebanyak 2.270 titik panas di seluruh Tanah Papua dan terbanyak di Provinsi Papua Selatan sebanyak 1.910 titik panas.

Jumlah hotspot per kabupaten terbanyak berada di Kabupaten Merauke sebanyak 1.576 titik panas dan Mappi sebanyak 302 titik panas. Daerah tingkat distrik dengan titik panas tertinggi di atas 100 hotspot berada di Distrik Okaba, Sota, Naukenjerai, Kimaam, Tabonji, Waan, Tanah Miring, Kabupaten Merauke, dan di Distrik Obaa, Kabupaten Mappi.

"Terdapat juga hotspot berada di areal konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Agriprima Cipta Persada, PT Internusa Jaya Sejahtera dan PT Hardaya Sawit Plantation, di Kabupaten Merauke, dan konsesi perusahaan Hutan Tanaman Industri PT Selaras Inti Semesta dan PT Plasma Nutfah Marind Papua di Kabupaten Merauke," ungkap Iqbal Damanik, Juru Kampanye dari Greenpeace Indonesia.

Kejadian kekeringan, rawan pangan dan kebakaran hutan, menurut Frangky, akan mendatangkan kesulitan hidup, konflik, kerusakan lingkungan dan bencana ekologi, bahkan kematian, yang dapat berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM). Ketentuan peraturan mengatur setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan aman, hal ini merupakan prasyarat utama pemenuhan hak atas hidup, hak atas pangan, dan sejumlah hak dasar di dalam HAM sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Betty Nababan, dari FIAN Indonesia menyebut, sesuai amanat UU tersebut, Negara memikul kewajiban memastikan setiap warga negara dan semua organisasi dan lembaga di Indonesia melindungi lingkungan hidup. Negara juga berkewajiban mendorong penanggulangan kerusakan dan ancaman terhadap lingkungan hidup sebagai bagian dari kewajiban negara melindungi, menghormati dan memenuhi hak asasi manusia warga negaranya.

"Wujud dari pemenuhan kewajiban negara adalah tanggung jawab negara berperan aktif untuk menangani, merehabilitasi dan memulihkan korban terdampak kerusakan hutan, lahan, perairan dan udara serta melakukan penegakan hukum terhadap aktor perusak lingkungan hidup," hemat Betty.

Dalam keterangan tertulis, para pimpinan dan perwakilan organisasi masyarakat sipil itu mendesak dan meminta pemerintah nasional, Pemerintah Papua Selatan dan pemerintah kabupaten di wilayah Papua Selatan, segera mengambil langkah efektif, cepat tanggap dan tindakan darurat untuk menyelamatkan dan memenuhi hak masyarakat adat yang terdampak krisis iklim dan kesulitan pangan.

Caranya, dengan penyediaan program bantuan pangan layak dan mudah diakses, serta pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat berdasarkan inovasi pengetahuan pangan masyarakat adat, secara teratur dan berkelanjutan.

Mereka juga mendesak pemerintah daerah kabupaten di wilayah Provinsi Papua Selatan, pemerintah distrik dan pemerintah kampung, bekerja sama dengan pemimpin organisasi keagamaan tingkat distrik, paroki, stasi dan dewan gereja, untuk melindungi hutan yang kaya dan menyimpan beranekaragam pangan, dan segera mengantisipasi darurat pangan dan kebakaran hutan dan lahan yang melanda wilayah terdampak, dengan membuka pos pelayanan dan tanggap darurat pangan, sebagai saluran berbagi informasi dan pemberian bantuan pangan yang layak dan sehat.

Tak hanya itu, sejumlah masyarakat sipil itu juga mendesak pemerintah nasional dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten di Tanah Papua, untuk menghormati, melindungi dan memajukan pengetahuan dan sistem pangan masyarakat adat, mengamankan lahan dan hutan sumber pangan masyarakat, melakukan perlindungan dan pemberdayaan usaha pangan masyarakat adat, organisasi usaha, inovasi teknologi, pemberian modal dan pasar, secara berkelanjutan.

Terakhir, sejumlah masyarakat sipil tersebut mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan kebakaran lahan dan hutan yang terjadi pada areal konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri di Kabupaten Merauke, serta mengupayakan penertiban dan penegakan hukum.