Perlunya Mendorong Perlindungan bagi Pulau-Pulau Kecil di Jatim

Penulis : Wahyu Eka Styawan, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jatim

Opini

Rabu, 16 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Pesisir dan pulau-pulau kecil di Jawa Timur memiliki biodiversitas ekosistem laut yang masih terjaga, aneka jenis terumbu karang seperti fringing reef serta rumah jenis ikan karang populer seperti kerapu. Dua pulau yang akan menjadi tapak penelitian yakni, Masalembu yang terletak di Kabupaten Sumenep dan Bawean Kabupaten Gresik. 

Penampakan Pulau Masalembu terletak di koordinat -5.077614,114.601613. Secara geografis kedudukan Pulau Masalembu mendekati posisi ekuatorial (garis khatulistiwa), di dalam peta posisinya berada di dekat Pulau Kalimantan. Sementara Bawean terletak pada koordinat -5.766667,112.666667 berada di titik tengah Laut Jawa yang menghubungkan Jawa dan Kalimantan.

Karena letaknya yang unik, Pulau Masalembu dan Pulau Bawean memiliki biodiversitas habitat yang kaya, seperti keberadaan aneka jenis terumbu karang, mangrove, pesisir litoral, rumput algae/seaweed dan daerah umbalan (upwelling area) yang menjadi penopang ikan dan non-ikan yang selama ini menjadi tumpuan kehidupan warga. Karena memang hampir mayoritas warga di dua pulau ini berprofesi sebagai nelayan tradisional.

Yang mana mereka masih menggunakan alat tangkap sederhana seperti jaring, pancing dan metode membuat rumah ikan atau disebut rumpon. Selain sebagai nelayan ada sebagian kecil juga menjadi petani rumput laut dan pencari kerang di pinggiran pantai.

Penampakan Pulau Bawean di Provinsi Jawa Timur. Peneliti beranggapan pulau-pulau kecil di Jawa Timur butuh perlindungan. Foto: Google Earth.

Tetapi seiring waktu berjalan warga di dua pulau ini hampir setiap tahun hasil lautnya mengalami penurunan yang cukup signifikan. Seperti yang terjadi pada kelompok nelayan dari yang dahulunya bisa mendapatkan ikan rata-rata 1 ton, kini menyusut hingga 600-500 Kg. 

Kemudian untuk rumput laut dan jenis kerang-kerangan, warga di sana juga mulai kesusahan mencarinya. Kondisi tersebut mulai mendorong banyak warga yang beralih profesi, bahkan kebanyakan dari mereka mulai pergi ke luar pulau untuk ke kota-kota besar untuk mencari penghidupan lainnya.

Faktor-faktor yang Mendorong Kerentanan

Penyebab penurunan tangkapan nelayan ini dipengaruhi empat faktor. Pertama, kerusakan ekosistem laut Masalembu dan Bawean yang diakibatkan oleh keberadaan kapal cantrang dan bom ikan. Keberadaan kapal cantrang dan bom ikan ini menjadi ancaman bagi nelayan Masalembu yang notabene adalah nelayan tradisional, maka tak heran konflik antar nelayan intensitasnya begitu tinggi. 

Kedua, faktor keberadaan lalu lalang kapal besar yang tidak mematuhi prosedur, serta tidak jelasnya zonasi membuat keberadaan ekosistem laut Masalembu terancam. Pada 2022 silam kapal bermuatan batu bara pernah tumpah di Masalembu sehingga mencemari perairan sekitar. Sementara di Bawean kapal pengangkut barang dan batu bara juga merusak terumbu karang, padang lamun serta mencemari perairan sekitar.

Faktor Ketiga adalah perubahan iklim, yang kini menjadi ancaman tersendiri bagi nelayan. Sebab dampak perubahan iklim begitu nyata bagi nelayan dan ekosistem laut Masalembu dan Bawean. Peningkatan suhu laut telah mengakibatkan pemutihan terumbu karang dan menyebabkan terganggunya reproduksi ikan.

Selain itu peningkatan permukaan air laut juga mengancam daratan pulau, menyebabkan terkikisnya daratan atau dikenal abrasi sampai ancaman rob yang menjadikan hidup nelayan menjadi semakin rentan. Begitu pula cuaca yang tidak menentu, menjadikan nelayan tidak bisa memprediksi musim tangkap serta meningkatkan resiko kecelakaan.

Keempat, faktor kebijakan, yang mana dari nasional hingga daerah belum ada upaya signifikan untuk melindungi biodiversitas ekosistem laut kedua pulau tersebut, serta penetapan zona lindung sampai zona tangkap nelayan tradisional belum ada. Malahan pemerintah membuat kebijakan baru berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 yang dipadukan dengan integrasi Rencana Tata Ruang dan Wilayah daerah dan Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara terbuka menghidupkan kembali eksploitasi pertambangan baik mineral maupun minyak dan gas. Perlu diketahui, hampir seluruh perairan pantai utara Jawa dan Madura sudah dikapling-kapling oleh konsesi migas dan yang terbaru muncul konsesi tambang pasir laut.

Berangkat dari keempat faktor tersebut, maka penulis berpendapat, sudah seharusnya ada perubahan tata kelola laut serta bagaimana upaya untuk menjaga ekosistem laut Masalembu dan Bawean saat ini menjadi ruang tersisa biodiversitas laut, khususnya di Jawa Timur. Karena hampir ruang pesisir sudah mengalami degradasi perlahan, dari jenis terumbu karang sampai ikan sudah mulai mengalami penurunan tajam.

Perlu Ada Kebijakan yang Berpihak

Beberapa hal yang dapat dilakukan saat ini untuk melindungi keberadaan dua pulau tersebut yakni, pertama adalah melakukan upaya dan tindakan tegas kepada kapal cantrang atau aktivitas penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan. Selain pelarangan juga perlu mendorong perbaikan regulasi mengenai penangkapan ikan serta sosialisasi ke pelaku usaha untuk menggunakan alat tangkap yang tidak merusak.

Kedua, penting kiranya mulai ada regulasi yang mendorong perlindungan kawasan Masalembu dan Bawean. Seperti penetapan dua kawasan sebagai zona tangkap nelayan tradisional agar ada perlindungan atas nelayan tradisional. 

Ketiga, penting kiranya untuk segera tetapkan kawasan laut Masalembu dan Bawean sebagai kawasan ekosistem esensial atau lindung. Hal ini akan memberikan perlindungan bagi biodiversitas laut di kedua pulau tersebut. Penetapan ini pun akan memaksa sebuah aturan baru mengenai zona rute kapal pengangkut batu bara dan barang, supaya tidak sembarangan melintasi zona tangkap nelayan tradisional dan kawasan lindung sehingga bisa meminimalisir kerusakan.

Keempat, meninjau ulang dan mencabut PP No. 26 Tahun 2023 terkait tambang dan ekspor pasir laut. Sebab keberadaan aturan tersebut dapat semakin memperparah kondisi ekosistem laut Masalembu dan Bawean yang saat ini sudah menurun kondisinya. Penurunan ekosistem tentu juga menjadi ancaman bagi masa depan nelayan tradisional di kedua pulau kecil tersebut.

Terakhir, masa depan ekosistem pulau-pulau kecil menjadi tanggung jawab bersama, di tengah situasi yang semakin tidak menentu ini dibutuhkan sebuah kebijakan yang benar-benar berpangkal pada kondisi nyata di lapangan serta berorientasi keberlanjutan ekosistem. Kedua pulau tersebut adalah benteng terakhir biodiversitas laut di Jawa Timur, tempat yang menyimpan aset terbesar peradaban maritim, maka sudah seharusnya menjadi perhatian dan benar-benar diupayakan untuk dijaga keberlanjutannya.