Warga Wawonii Ajukan Diri Jadi Pihak Terkait Uji Materiil PT GKP
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Senin, 28 Agustus 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Warga Pulau Wawonii dan koalisi masyarakat sipil mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai pihak terkait dalam permohonan uji materiil yang diajukan PT Gema Kreasi Perdana (GKP) terhadap Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k), dalam Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K).
Permohonan warga Pulau Wawonii ini merupakan upaya agar MK tidak memenangkan permohonan judicial review PT GKP yang ingin melegalkan pertambangan di pulau-pulau kecil.
Juru Kampanye Trend Asia Arko Tarigan mengatakan, sejak 8 Agustus 2023 koalisi masyarakat sipil telah mengajukan permohonan informasi perkembangan pemeriksaan perkara dan/atau tahapan perkara Nomor: 35/PUU-XXI/2023 ke MK. Namun, hingga saat ini belum ada respons terkait permohonan informasi tersebut.
Sebelumnya, koalisi masyarakat sipil memantau perkembangan perkara melalui situs resmi MK dan menemukan informasi bahwa pada 9 Mei 2023 pukul 13.30 WIB terdapat agenda perbaikan permohonan kedua untuk pemohon (PT GKP). Namun, sampai 24 Agustus 2023 koalisi masyarakat sipil tidak mendapatkan jawaban perkembangan perkara oleh MK.
Arko mengatakan, pada 30 Agustus 2023 atau 4 bulan setelah pemohon diminta untuk melakukan perbaikan, MK tetap akan melanjutkan persidangan. Padahal perbaikan permohonan hanya diberikan waktu 14 hari kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
"Ini menjadi suatu hal yang janggal, seharusnya Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan terkait uji materiil yang diajukan oleh PT GKP," katanya, dalam keterangan tertulis, Kamis (24/8/2023) pekan lalu.
Sebelumnya, PT GKP mengajukan uji materiil untuk beberapa pasal dalam UU PWP3K. Sebab anak perusahaan Harita Group tersebut tak terima dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan judicial review warga Pulau Wawonii atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2021 tentang RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan yang menetapkan alokasi ruang untuk kegiatan pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan.
Dalam permohonan uji materiil tersebut, warga Wawonii berargumen bahwa Perda No 2/2021 bertentangan dengan UU PWP3K yang melindungi pulau-pulau kecil dari aktivitas pertambangan. MA mengabulkan permohonan warga dan membatalkan beberapa pasal yang mengatur alokasi ruang untuk kegiatan pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan.
Putusan MA tersebut menguatkan bahwa PT GKP tidak memiliki legitimasi untuk melakukan aktivitas pertambangan nikel di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan. Alasannya, karena pulau itu masuk dalam kategori pulau kecil karena memiliki luas hanya 706 km persegi. Sesuai dengan UU No.27/2007, pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km persegi.
Dalam permohonan judicial review-nya, PT GKP melayangkan pengubahan pada Pasal 35 huruf (k), yang berbunyi, "Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya."
Kata "apabila" dalam pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang berdampak pada kerugian warga. Permohonan uji materiil tersebut merupakan upaya perusahaan melegalkan aktivitas tambang di Pulau Wawonii, walaupun secara hukum pertambangan dilarang di pulau-pulau kecil.
“Pasal 35 dalam UU PWP3K memuat larangan atas kegiatan penambangan pasir, minyak gas, dan mineral karena kerentanan yang dimiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Aktivitas pertambangan di Pulau Wawonii dan pulau-pulau kecil lainnya sudah seharusnya tidak dilakukan mengingat pulau-pulau kecil termasuk dalam wilayah yang rentan untuk kegiatan ekstraktif dan eksploitatif,” ujar Wildan Siregar, Juru Kampanye Trend Asia.
Bila permohonan PT GKP dikabulkan oleh MK, maka aktivitas tambang tak hanya dilegalkan di Pulau Wawonii, tetapi seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Dengan demikian, kerusakan ekologis hingga konflik sosial akibat perusahaan tambang yang tidak menaati UU No 27/2007 akan semakin masif.
Juru Kampanye Seknas Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Fikerman Saragih, menyebutkan, seharusnya MK menolak judicial review terhadap UU WP3K yang diajukan oleh PT GKP, untuk menyelamatkan pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia dari cengkraman industri pertambangan. Dengan demikian, ada sinkronisasi produk hukum yang dihasilkan oleh MK dan MA untuk melindungi pulau-pulau kecil dari ancaman pertambangan.
Menurut Fikerman, MK seharusnya mengikuti langkah MA dalam menyelamatkan pulau-pulau kecil dari ancaman industri pertambangan. MA dalam putusan No. 57P/HUM/2022 telah menyebutkan bahwa secara filosofis, Pulau Wawonii merupakan pulau yang rentan sehingga membutuhkan perlindungan khusus.
"Serta kegiatan pertambangan dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity yang harus dilarang dilakukan karena akan mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup yang ada di Pulau Wawonii,” tutur Fikerman.
Fikerman melanjutkan, bahkan jika dilihat dari respons masyarakat Wawonii, mereka menolak masuknya PT GKP dalam ruang hidup mereka karena pertambangan mengancam keberlanjutan sumber-sumber penghidupan masyarakat maupun lingkungan. Kehidupan masyarakat Wawonii sudah sejahtera dan tidak ada konflik horizontal di internal masyarakat.
"Pertambangan di Pulau Wawonii tidak sesuai dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat untuk mensejahterakan mereka, karena mereka telah sejahtera dari hasil bertani/berkebun dan lautnya,” imbuhnya.
Aktivitas Tambang Diduga Cemari Lingkungan
Kegiatan pertambangan yang dilakukan PT GKP diduga telah mencemari lingkungan Pulau Wawonii. Tiga sumber mata air yang digunakan warga kini keruh bercampur dengan lumpur. Imbasnya warga tak lagi memiliki akses air bersih untuk aktivitas sehari-hari, seperti mandi, mencuci, hingga untuk dikonsumsi.
Lebih parahnya lagi, keragaman flora dan fauna di Pulau Wawonii juga terancam keberadaannya. Sungai Roko-Roko yang dulu jernih kini menjadi kemerahan. Akibatnya ikan lompamea yang dijadikan cadangan protein oleh warga Wawonii bahkan bahan pangan untuk pesta atau ritual adat, tak lagi ditemukan di sungai tersebut akibat sudah tercemar. Burung maleo bahkan penyu yang bertelur di daerah pesisir juga terancam hilang akibat perusahaan yang membangun jetty di habitat mereka.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat ada sekitar 1.000 jenis tumbuhan di Pulau Wawonii. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ada sekitar 200 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pangan, papan, obat, hingga kosmetika. Beberapa di antaranya berupa, kepala, cokelat, cengkih, dan jambu mete.
Tetapi, PT GKP melakukan penyerobotan lahan, seperti yang terjadi 9 Agustus 2023 lalu. PT GKP dilaporkan merangsek lahan tanaman cengkeh milik warga Wawonii menggunakan alat berat. Kerusakan yang diakibatkan oleh perusahaan tentunya berpengaruh pada sumber ekonomi warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani dan nelayan.
Uji materiil yang dilakukan oleh PT GKP tidak hanya untuk kepentingan perusahaan di Pulau Wawonii saja. Celakanya, jika uji materiil tersebut dikabulkan oleh MK, maka seluruh pulau-pulau kecil yang ada di seluruh indonesia dapat ditambang.
PT GKP Tampik Tuduhan Perusakan Lingkungan
Terpisah, dalam keterangan tertulisnya, GM External Relations PT GKP, Bambang Murtiyoso menyebut klaim perusakan lingkungan di Wawonii yang diuraikan koalisi masyarakat sipil tidak terbukti benar. Perusahaan ini, katanya, memegang teguh prinsip good mining practice dalam setiap tahapan pengelolaan pertambangan.
"Sehingga, kehadiran kami wajib membawa dampak positif yang signifikan pada segala aspek, baik itu sosial, ekonomi, budaya, serta pengembangan lingkungan secara berkelanjutan, karena keberadaan tambang jika pengelolaan lingkungannya benar, maka bisa mengembalikan bentang alam dengan jauh lebih baik,” kata Bambang dalam keterangan tertulisnya, Jumat (25/8/2023) pekan lalu.
Bambang melanjutkan, melalui Departemen Environment, PT GKP telah melakukan berbagai inisiatif program terkait pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Pihaknya telah mengimplementasikan program seperti pembibitan, pemantauan dan pengelolaan kualitas udara, pemantauan kebisingan dan emisi, pemantauan dan pengelolaan kualitas air limbah tambang, pemantauan dan pengelolaan kualitas air sungai dan laut, pemantauan dan pengelolaan limbah B3, serta program reklamasi dan revegetasi.
Di samping program-program tersebut, lanjut Bambang, sampai akhir 2023, PT GKP juga akan mulai merintis program pemantauan dan pengelolaan biodiversity, baik di darat, sungai, dan laut, serta pengembangan program pendidikan masyarakat yang akan bermanfaat dalam memberikan edukasi dan pandangan baru seperti apa pengelolaan lingkungan di area tambang pada publik.
"Kami juga telah memiliki area nursery yang menjadi langkah pertama dari reklamasi. Harapannya ini juga bisa menjadi destinasi edukasi agar masyarakat setempat dapat memahami bagaimana pengelolaan lingkungan di area tambang. Berbagai program ini diharapkan bisa mendorong kesadaran atas keberadaan tambang yang berwawasan lingkungan ke publik,” urai Bambang.
Tak hanya itu saja, Bambang juga membantah tuduhan perusahaannya sebagai penyebab air keruh. Menurutnya, penyebab utama air menjadi keruh pada beberapa bulan yang lalu adalah tingginya curah hujan yang melanda Pulau Wawonii.
"Keruhnya air di Pulau Wawonii pada saat musim hujan tiba ini menjadi permasalahan menahun di sana. Oleh karena itu, kami sebagai perusahaan yang juga telah menjadi bagian dari Pulau Wawonii turut hadir memberikan solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut,” ucap Bambang.
“Melalui distribusi air bersih ke warga desa yg terdampak, pembersihan bak penampung air warga, menurunkan tim untuk mencari sumber mata air baru sebagai alternatif, dan bersama warga membuat sumur bor dan cincin sebagai alternatif sumber air bersih yang bisa dikonsumsi warga,” imbuhnya.
Soal permohonan uji materiil (judicial review) ke MK, Manager Strategic Communication PT GKP, Alexander Lieman mengatakan, latar belakang pengajuan permohonan ini didasari atas kebutuhan kepastian hukum bagi investasi di Pulau Wawonii. Menurut Alexander, ada multitafsir atas Pasal 35 huruf K Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).
“Sebagaimana komitmen kami sebagai sebuah perusahaan, tentu kami ingin berkontribusi sebanyak dan selama mungkin bagi masyarakat setempat di area kami beroperasi dan tentu secara nasional. Hal ini membutuhkan satu kepastian hukum sebagai acuan bersama dalam beraktivitas,” ujar Alexande, dikutip dari Liputan 6.
PT GKP, lanjut Alexander, sebagaimana perusahan-perusahaan lainnya yang selama ini melakukan kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil, telah memiliki aspek legalitas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dilindungi secara hukum.
Hingga kemudian, kepastian hukum ini dipermasalahkan dan menyebabkan munculnya hambatan besar dalam kelangsungan operasional perusahaan, serta investasi PT GKP di Kabupaten Konawe Kepulauan. Permasalahan inilah yang menurut perusahaan itu dirasa penting untuk segera diberikan kejelasan agar tidak menimbulkan pasal-pasal multitafsir, yang berujung menimbulkan kegaduhan di masyarakat.