60 Persen Hutan NTB Rusak akibat Tambang dan Alih Fungsi Lahan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Rabu, 30 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sebesar 60 persen hutan di Nusa Tenggara Barat (NTB) rusak akibat tambang hingga alih fungsi lahan, menurut hasil investigasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB.

"Laju kerusakan disebabkan oleh aktivitas pertambangan, perambahan hutan dan alih fungsi lahan untuk kepentingan pembangunan pariwisata," kata Amry Nuryadin, Direktur Eksekutif Daerah Walhi NTB, Senin (28/8/2023) kemarin, dikutip dari Detik.com.

Amry melanjutkan, tim investigasi Walhi NTB juga mencatat beberapa pembangunan yang dilakukan di NTB mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, ekologi dan kerusakan ekosistem.

Walhi mencatat, imbuh Amry, ada beberapa aktivitas pertambangan yang dinilai merusak lingkungan, seperti PT AMNT yang berada di kawasan hutan Sumbawa Barat, dengan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH)--sekarang disebut Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH)--seluas 7 ribu hektare. Kemudian ada pula pertambangan PT STM yang memegang PPKH di Hu'u Dompu dengan luas 19.260 hektare, juga di kawasan hutan.

Ilustrasi lubang tambang. Foto: Dok. Jatam.org

"Ada juga pertambangan PT AMG di pesisir Dedalpak Lombok Timur seluas 1.348 hektare. Secara umum jumlah IUP di NTB sebanyak 355 dengan total luasan sebesar 136.642 hektar. Belum lagi maraknya penambangan illegal di Pulau Lombok dan Sumbawa," katanya.

Sementara itu di sektor pariwisata, lanjut Amry, di kawasan pesisir salah satunya di KEK Mandalika seluas 1.250 hektare juga ikut menyumbang laju kerusakan hutan di NTB.

"Ada juga rencana pembangunan Global Hub Bandar Kayangan di Kabupaten Lombok Utara seluas 7.030 hektare juga akan mengancam terjadinya kerusakan ekologi pesisir Lombok Utara dan rencana pembangunan kereta gantung di kawasan Hutan Rinjani seluas 500 hektare," ujar Amry.

Menurut Amry, dengan kondisi ini, NTB dihadapi oleh dua ancaman nyata yaitu dampak dari energi kotor (PLTU) dan perubahan iklim.

"Tentu perempuan dan anak akan menjadi kelompok yang rentan akan dampak dari dua ancaman tersebut," ucap Amry.

Amry bilang Pemprov NTB dalam menjaga kelestarian lingkungan dan mengantisipasi dampak dari resiko perubahan iklim yang menggaungkan program Net Zero Emission (NZE) 2050 patut dipertanyakan. Tentu langkah yang diambil oleh Pemprov NTB itu merupakan hal yang tepat melihat ancaman dampak perubahan iklim sangat nyata bagi masyarakat NTB, terutama yang bermukim di daerah pesisir maupun pulau-pulau kecil.

Tapi langkah yang dapat dilakukan oleh Pemprov NTB dalam menekan emisi karbon untuk melawan perubahan iklim dengan mengurangi penggunaan energi kotor bisa segera mengganti energi kotor dapat memanfaatkan potensi energi baru terbarukan (EBT) yang melimpah.

"Namun, sampai hari ini, pemanfaatan EBT sebagai sumber energi sangat minim. Kami mencatat potensi EBT di NTB yang meliputi, tenaga air sebesar 197 MW, tenaga surya sebesar 6.190 MW, dan tenaga angin sebesar 1.867 MW," katanya.

Amry menyebut, sejak program NZE 2050 digaungkan, Pemprov NTB belum serius dalam melakukan transisi energi. Itu dapat dilihat dari Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang dimana terdapat delapan rencana proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di NTB.

"Ini semua diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika dan Smelter di Pulau Sumbawa," imbuhnya

Masifnya rencana pembangunan PLTU sangat kontradiktif dengan tujuan yang ingin dicapai program NZE 2050. Selain itu juga mengancam pemenuhan hak warga negara untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.

"Catatan kami, satu PLTU saja dengan kapasitas 3x25 MW di Desa Taman Ayu Lombok Barat mengoperasikan tiga unit pembangkit dengan kebutuhan batubara sebanyak 500 ton per hari per unit. Tentunya akan berdampak serius terhadap kesehatan dan lingkungan," tegasnya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTB Julmansyah mengatakan, data hasil investigasi Walhi NTB itu banyak berfokus pada EBT, PLTU batubara dan lain-lain yang menjadi ranah Dinas Energi Sumber Daya Mineral bukan DLHK.

Tetapi, saat disinggung terkait laju kerusakan hutan tersebab beberapa pembangunan strategis di NTB, Julmansyah enggan berkomentar lebih banyak.

"Soal itu nanti kami respons, ya," ujarnya singkat.